Pukul 10.00 matahari mulai menyeruak masuk ke ventilasi kamarmu. Benteng pertahananmu, berupa dua lembar kain yang disematkan jadi gorden tak lagi mampu melindungimu. Terpaksa agenda mbangkong alias bangun siang gagal begitu saja.
Dengan gontai, kau pun berjalan keluar. Sembari menyambar botol air mineral 1,5 liter menuju dapur kost. Kau tuangkan air yang cukup untuk membuat secangkir kopi itu ke panci.
Kau buka toples berisi bubuk kopi yang racikannya kau percayakan pada nenek-nenek penjaja kopi giling di pasar tradisional. Kau biarkan aroma kopi yang jadi salah satu adiksi paling menyenangkan bagimu melakukan keajaibannya.
Kau menikmati beberapa menit surgawi kala indra penciumanmu beradu dengan aroma bubuk kopi. Lamunan dan momentum surgawimu terusik oleh suara air yang bergejolak sebab telah mencapai titik didih 100°C.
Kau tersenyum. Bersiap menikmati sebentuk momentum surgawi lain. Yakni aroma kopi yang tersiram oleh air yang baru mendidih.
Tak berlangsung lama. Momen intim dengan kopi kembali terusik oleh suara telpon dari dalam kamar. Dengar tergesa-gesa, kau memindahkan cangkir itu ke dalam kamar.
“Halo, Mas Anca, hari ini klien mau ketemu dadakan. Urgent nih. Mau bahas desain rumah dan taman yang kamu kirim kemarin. Dia kayaknya tertarik sama desainmu,” cerocos perempuan di seberang telpon.
“Oh, gitu? Wah, proyek gede nih, Yas. Jam berapa klien ngajak ketemu?” jawabmu bersemangat. Sebab ini suatu bayaran yang sepadan untuk dua hari tanpa tidurmu.
Perempuan dengan nama kontak Tyas di hapemu tak kalah bersemangat. Ternyata ia sudah tentukan jadwal dan waktu untuk bertemu klien. Seorang pengusaha senior yang barusaja membeli tanah di kotamu. Kota yang sering dijujuki para pensiunan dari kota besar.
Satu seruput kopi menendang adrenalinmu. Kemudian kau berjalan cepat menuju kamar mandi. Melupakan rasa kantuk dan lelah yang menguap bersama secangkir kopi panasmu.
Empat puluh tujuh menit kemudian kau telah sampai di sebuah rumah makan yang cukup ternama di kotamu. Tyas sudah datang terlebih dahulu.
Tak mengejutkan, ia nampak cantik dengan rambut hitam sebahu. Lipstiknya hari ini, tidak semerah biasanya. Ia memilih memoleskan lipstik oranye kecoklatan. Membuat raut mukanya lebih kalem dari biasanya.
Sudah hampir satu tahun berkolaborasi dengannya untuk mengerjakan beberapa proyek arsitektur. Tapi debaran jantungmu tetap gagal kau kontrol tiap kali bersama dengannya.
Namun, atas nama profesionalitas. Kau selalu bisa menyembunyikan perasaanmu yang kian mendalam.
“Mas Anca cepet banget nyampenya. Bukannya semalam bilang mau bangun siang hari ?” tanya Tyas dengan tersenyum. Membuat tangan dinginmu yang mampu membuat garis lurus tanpa penggaris kala menggambar sketsa bangunan itu bergetar tak karuan.
“Hehe, iya kan proyek gede harus gerak cepat dong. Biar bisa segera gambar rumah sendiri. Nggak gambar rumah orang mulu,” jawabmu mencoba mencairkan kegugupan dalam batin.
Kau mengeluarkan rokok Marlboro Black Menthol milikmu. Sembari merogoh saku untuk mencari korek, kau mengayunkan tangan memanggil pelayan rumah makan.
Kau memesan es kopi. Sebab tadi kau belum sempat menghabiskan kopimu. Dan kau masih butuh asupan kafein. Meskipun kau merasa, Tyas punya aroma parfum yang bisa menyandingi daya magis kafein.
“Mas Anca, pagi ini ada yang ngirimin aku pot bunga lagi lho. Udah enam bulan ini, tiap tanggal 10 pasti ada kiriman tanaman,” ujar Tyas sembari mengamatimu menyalakan rokok.
Kau hampir terbatuk kala isapan rokok pertamamu. Untungnya, kau bisa menahan sesak karena kaget sekaligus tersedak asap.
Kau membatukkan dengan ringan sisa-sisa asap yang tersendat di tenggorokan. Kemudian mengatur sikap supaya tak terlihat kikuk di depan Tyas.
“Ohya, bunga apa kali ini? Haha sekarang tamanmu makin rame dong,” jawabmu sambil melirik mata Tyas. Sambil berpura-pura menghempaskan abu rokok ke asbak.
“Sekarang ada beberapa bunga anggrek yang dikirim ke rumah. Kemarenan kan udah ada kiriman bunga mawar, lily, adenium, sansevieira, banyak deh,” jawabnya cepat. Matanya semakin lebar dan bulat kala menceritakan detail tanaman yang ia terima secara misterius.
“Akan kau apakan tumbuhan-tumbuhan itu?” tanyamu penasaran. Sembari mempersiapkan diri terhadap pertanyaan dan pernyataan mengagetkan yang biasa ia ucapkan.
“Tentu akan aku rawat jadi koleksi di taman kecilku, Mas. Kamu tahu kan, aku dari dulu pengen banget punya taman kecil. Kurang bikin kolam kecil deh. Buat pelihara koi,” ia makin bersemangat.
“Tapi Mas, aku tuh seneng, ada yang ngirimin aku tetumbuhan kayak gitu. Tapi aku makin penasaran dan mulai takut juga,” imbuhnya lagi.
“Apa yang kau takutkan, Yas?” jawabmu khawatir. Dimulailah serentetan teror pertanyaan dan pertanyaan yang menerkam darinya.
“Sudah enam bulan lho, Mas. Kirimannya makin banyak. Dan selalu di tanggal yang sama. Jangan-jangan ada orang psiko yang stalking aku,” jawab Tyas sambil nampak bergidik ngeri.
“Jangan khawatir. Bilang saja padaku kalau terjadi sesuatu,” jawabmu pura-pura tidak tahu.
Kau tentu tahu, siapa orang yang mengiriminya bunga setiap bulan di tanggal 10. Kau juga tahu, tetanaman apa yang membuatnya senang. Tapi kau tak tahu cara untuk memberitahukan semua pada Tyas.
Beberapa menit kemudian. Klien datang. Pria paruh baya itu membawa satu pot anggrek cattleya yang telah berbunga. Warnanya ungu kemerahan. Persis seperti warna buah naga. Buah kesukaan Tyas.
Kening Tyas berdenyit keheranan. Dengan cepat kau menengok untuk memperhatikan raut mukanya. Jantungmu berdebar karena cemas.
“Hai, Mas Anca, Mbak Tyas. Akhirnya kita ketemu juga. Setelah tujuh bulan hanya berkomunikasi via gadget,” sapa klien itu sembari menaruh bunga di meja. Mendekat ke arah Tyas. Sedang kau dan Tyas masih saja membeku, sembari memasang senyum dingin.
Satu jam berlalu, menghasilkan satu kontrak kerjasama yang bernilai besar. Klien itu meminta mereka untuk melengkapi detail desain rumah sekaligus interior dan tamannya.
Tyas tak lagi bersemangat. Mungkin ada pertanyaan-pertanyaan besar dalam batinnya. Kau. Lebih kebingungan lagi. Kau ambil secarik kertas dari dalam tas.
Kau gambar sebentuk taman. Lengkap dengan kolam ikan koi. Tyas hanya memperhatikan dalam diam. Ia lebih sering meneguk coffee lattenya. Sesapan-sesapan kecil, seperti sengaja menyibukkan diri.
Kau menyerahkan kertas dengan sketsa serampangan itu pada Tyas. Sembari menarasikan apa yang akan kau katakan padanya.
“Sketsa ini sudah lama terbenam dalam imaji saja. Hari ini, adalah tanggal 10. Tanggal yang sama seperti pertama kali kau memintaku untuk menjadi supervisor desain-desain interiormu,” ucapmu sambil menghela napas sejenak.
“Kau mungkin belum tahu, aku tak pernah ahli dalam desain interior. Satu-satunya alasanku untuk menyetujui tawaranmu adalah… karena aku telah lama menganggapmu istimewa,” terbata-bata kau menjelaskan. Sedang Tyas hanya terpaku pada cangkir kopinya.
“Aku juga tak pernah bisa mendesain taman. Tapi, bersamamu, entah mengapa, perihal taman selalu menjadi menyenangkan,” kau kembali memegang kertas dengan sketsa taman.
“Aku ingin membuat tamanku bersamamu. Itulah mengapa aku selalu memesan bebungaan untuk dikirim ke rumahmu. Berharap suatu hari nanti, aku akan bisa melihat bunganya bermekaran. Sekaligus menyaksikan senyummu mekar bersamaan.”
Sambil mengatakan itu, kau memandang mata Tyas dengan tegas untuk pertama kalinya. Sedang perempuan bermata bulat dan berambut hitam sebahu itu tersenyum. Sembari meraih pensil dan melanjutkan detail gambar taman.