Saat membaca tagar #STMmelawan melalui keriuhan twitter, bulu kuduk saya seketika berdiri. Merinding. Terharu. Hati saya benar-benar basah.
Beberapa hari terakhir, nama STM muncul sebagai sosok pahlawan yang sangat menggemaskan sekaligus dirindukan dan disayangi. Tentu, bagi saya secara pribadi, ini sangat mengagumkan.
Sejak zaman saya masih sekolah, STM selalu identik perusuh dan hobi tawuran. Tak ada drama percintaan. Yang ada hanya teorema perkelahian. STM dan tawuran serupa pasangan ngantuk dan kopi.
Jarang saya mendengar anak STM ikut Olimpiade Sains. Sebaliknya, saya sangat sering mendengar anak STM berkelahi. Tawuran. Atau melakukan giat-giat kontra prestasi. Saya tahu karena saya pernah jadi anak STM.
Selain punya keberanian di atas rata-rata, anak STM punya ikatan solidaritas cukup tinggi. Keberanian itu, kau tahu, terbentuk secara organik dari kedekatan mereka akan bising suara mesin.
Sedang ikatan solidaritas, lahir dari kebosanan pada suasana kelas. Sehingga sering mbolos rame-rame. Kondisi ini dipertegas dengan identitas mereka yang suka berkelahi.
Tapi, identitas buruk itu, terbilas sudah dengan aksi-aksi heroik anak STM di momen demonstrasi #ReformasiDikorupsi dan #MosiTidakPercaya selama beberapa hari ini. Anak STM yang biasanya saling kelahi antar sekolah, tiba-tiba bersatu demi tujuan yang sama.
“Kite yang bolos, die yang bego” dan “mahasiswa orasi, pelajar eksekusi”; menjadi jargon yang amat lucu sekaligus garang; kacau dan elegan. Sengau dan penuh keberanian.
Tak hanya bersatu-padu, mereka juga membela kakak-kakak mahasiswa yang tampak kelelahan melawan elit politik yang semena-mena pada rakyat. Anak STM tak lagi tawuran dan mementingkan kelompok. Tapi bersatu melawan penguasa jahat.
Anak STM Demonstrasi, dilempar gas air mata bukannya lari, malah diambil dan dilempar balik ke polisi.
Mobil TNI dirazia anak STM. Mereka mencari anak Brimob, siapa tahu bersembunyi di dalamnya.
Anak STM membajak mobil tronton pengangkut mobil untuk mengantar mereka ke lokasi demonstrasi.
Saya tak tahu harus menangis atau tertawa membaca kalimat-kalimat itu. Yang jelas, saya hanya percaya jika perkara-perkara seperti itu, hanya mampu diselesaikan anak-anak STM. Hati saya benar-benar basah menyaksikannya.
Keberanian dan kebebalan dan kekacauan sekaligus ikatan solidaritas yang teramat kuat, menjadikan anak STM sebagai sosok Man of The Match dalam giat-giat aksi demonstrasi beberapa hari ini.
Saat mahasiswa sedang lelah-lelahnya, tiba-tiba dari belakang anak-anak STM datang dengan kekuatan dan kekacauan baru yang lebih menyusahkan. Mereka tak ingin kakak-kakaknya berjuang sendirian.
“Di belakang dlu mundur bang, kita mau pke taktik “kata anak STMnya, mahasiswa mecahin batu, siswa stm yang naik ke atas nyerang polisi. Yg bawah mahasiswa. Polisi trkepung di terowongan, sempat ditutup terowongannya pke api haha, fakk lah kepkiran bner nih anak STM #TolakRUUKUHP,” cuit akun @kvnavsl.
Lihatlah, betapa sikap solidaritas anak-anak STM teramat kuat. Mereka tak mau membiarkan kakak-kakak mahasiswanya tercabik sendirian. “Maap bang telat tadi sekolah dulu. Abang istirahat dulu, sekarang giliran kami melawan.”
Saat membaca itu, nuansa yang saya rasakan serupa melihat bagaimana Monkey D. Luffy melindungi Portgas D. Ace atau merasakan kehadiran Thor di Wakana, kala para Avengers kelelahan melawan anak-anak Thanos.
Anak-anak STM yang terkenal brutal dan tak suka diatur, justru tahu apa yang harus dilakukan di saat-saat seperti ini. Bukan karena ingin tawuran. Tapi kehendak membela dan menuntut keadilan. Keberpihakan mereka adalah keberpihakan yang amat murni.
Tahun 2019 menjadi tahun “balik nama” dan “pemutihan” dan keseimbangan bagi anak-anak STM. Imbang karena mereka tak hanya suka tawuran. Tapi tahu bagaimana mengaplikasikan kemampuan tawuran dengan baik.
Dan yang jelas, anak STM punya jasa besar memperkuat perjuangan mahasiswa merebut kembali reformasi.