“Apa yang sedang kau cari, Nak?” seorang pria tua, tiba-tiba menanyakan pertanyaan itu padanya. Dia yang sedang tidak mencari apa-apa, bergegas bertanya kembali padanya, “Maksudnya, Pak?”
“Iya, apa yang sedang kau cari?”
Dia melempar pandang ke atas meja. Terlihat kunci motor. Ponsel. Dan sebungkus rokok beserta koreknya. Dia meraba saku celana bagian belakang: tebal. Ada dompet. Praktis, tak ada yang hilang. Tak ada yang sedang dia cari. “Saya sedang tidak mencari apa-apa, Pak”
Bapak itu diam. Lalu mengulum senyum kecil. Dia mentaksir, usianya hampir 70. Rambutnya pendek, dengan warna putih mendominasi rambut di kepalanya. Dia berupaya mengingat, apakah sebelumnya pernah menemuinya? Ternyata tidak. Dia tak pernah menemuinya.
Tapi, bapak itu mengaku mengenal dia. Mengenal bapaknya. Dan mengenal kakeknya. Katanya, saat dia disunat puluhan tahun lalu, bapak itu hadir dalam acara walimatul khitan yang diadakan di rumahnya. Dan mengingat siapa saja tokoh yang hadir kala itu. Dia kaget. Dan berupaya mengingat-ingat kembali.
Belum juga dia selesai mengingat, seorang kondektur berteriak jika terminal Purbaya, Madiun, sudah dekat. Dia terbangun sebelum menemukan siapa sebenarnya bapak tua yang hadir di dalam mimpinya itu. Dan masih tidak paham dengan pertanyaan “apa yang sedang kau cari?”
**
Dia pulang ke rumah. Mencari momen untuk menyelesaikan sejumlah tenggat kerja. Di rumah yang beberapa tahun ini kosong tanpa penghuni itu, dia sering menemukan momentum kreatif untuk menulis hasil riset. Mungkin karena tenang. Atau mungkin karena suasananya sangat nyaman.
Dia sempat berpikir jika seharusnya rumah tak boleh kosong. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Pesan orang tua agar dia menempatinya pun, hingga kini belum juga terlaksana. Padahal, baginya, melihat rumah tak berpenghuni sangat menyayat hati. Terlebih jika banyak kenangan tertempel di tiap dinding-dindingnya.
Dia menganggap, rumah yang kosong seperti sebuah ide yang tak tereksekusi menjadi tulisan. Hakikat rumah dilahirkan untuk ditempati. Seperti halnya ide yang dimunculkan untuk ditulis dan dieksekusi. Bukan untuk dibiarkan mengawang di kepala, lalu hilang ditelan lupa.
Dia punya kebiasaan menyelesaikan tenggat tugas apapun mepet deadline. Dia percaya jika kian mepet deadline, dia lebih maksimal menempa tubuh bekerja optimal. Dia sangat betah duduk di dalam kamar berhari-hari hanya untuk menyelesaikan satu pekerjaan, kala mendekati deadline.
Dia mendengar Charles Dickens berkata: matahari sangat lemah ketika pertama kali terbit, ia mengumpulkan kekuatan dan keberanian saat hari sudah mulai berjalan. Soal kerja kreatif, dia memegang prinsip itu selama bertahun-tahun.
Dan dia lupa jika prinsip itu tak bisa dipegang dalam segala hal. Sebab segala hal butuh kunci yang juga segala. Kunci yang beda-beda. Satu kunci tak bisa digunakan untuk 15 lubang pintu yang berbeda.
Dia tentu ingat pesan Imam Syafi’i, waktu serupa pedang. Jika tak digunakan, ia akan menebas leher. Sialnya, sudah berulangkali tubuhnya ditebas, tapi seolah tak belajar dari tebasan demi tebasan itu.
Dia sering berurusan dengan waktu. Tak terhitung, berapakali dia berkelahi mati-matian melawan waktu. Namun, sering sekali gagal menaklukkannya. Yang ada, dia terjerembab dalam ruang sia-sia, tanpa kepastian.
**
Waktu tentu menjadi makhluk hidup yang amat kejam. Ia tampak diam, tapi sesungguhnya terus merangsek dan menerobos bermacam kenyamanan. Tanpa disadari, waktu banyak membunuh mereka yang tak sempat menyadari kekejamannya.
Hari ini tertawa, entah berapa detik lagi akan bersedih. Hari ini tak sadar memicu luka, entah berapa detik lagi, akan terkapar akibat terluka. Hari ini menyemai kecewa, entah berapa detik lagi, akan mengunduh kecewa yang sama.
Hari ini bersedih, entah berapa detik lagi akan tersenyum. Hari ini tak sadar memicu senyum orang lain, entah berapa detik lagi akan tertabrak senyuman orang lain. Hari ini dikecewakan, entah berapa detik lagi, akan menyaksikan orang lain kecewa dan justru kasihan padanya.
Dan semuanya melintas melalui waktu yang justru tak pernah disadari kehadirannya.
Tak pernah ada yang mampu memeluk waktu. Tak pernah ada yang mampu mengembalikan waktu. Tapi, waktu memeluk erat apa yang pernah terjadi di dalamnya. Ia menghimpun riwayat, nasib dan takdir siapapun yang melintas di dalamnya.
**
Waktu menunjuk pukul satu dini hari. Dia tak mau minum kopi. Dan tak mau mengerjakan pekerjaannya. Dia ingin membiarkan kantuk menyergap matanya. Dia ingin segera tidur. Menemui bapak tua yang sebelumnya menghampirinya. Dia sudah mempersiapkan jawaban: “Pak Tua, saya sedang mencari waktu yang hilang.”