Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan surat telegram. Bukan surat biasa, melainkan surat cinta. Surat cinta perihal tindakan kepolisian dalam penanganan pandemi Virus Corona. Terutama yang berkaitan dengan dunia siber.
Polri perlu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kejahatan siber. Misalnya penyebaran berita hoax dan ketahanan data akses internet. Karena itu, monitoring situasi perlu dilakukan.
Melansir Tirto, surat tersebut berseri ST/1098/IV/HUK.7.1/2020. Surat sudah ditandatangani Kabareskrim Polri Irjen Listyo Sigit, atas nama Kapolri Jenderal Idham Aziz pada Sabtu (4/4).
“Laksanakan patroli siber untuk monitoring perkembangan situasi serta opini di ruang siber,” bunyi isi surat tersebut, dikutip dari Tirto.
Selain itu, ada tindak kejahatan yang menjadi fokus. Baik pihak kepolisian maupun masyarakat. Tindakan itu ialah penghinaan kepada penguasa. Dalam hal ini presiden dan pejabat pemerintahan.
Melansir Republika, Direktur Amnesty Internasional Indonesia (AII), Usman Hamid mengecam aturan tersebut. Aturan itu dinilai sebagai kebijakan sepihak Polri. Kebijakan yang mengancam hak dan kebebasan sipil di tengah kondisi wabah.
“Aturan (telegram) tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan Polri dan penegak hukum untuk bersikap represif terhadap masyarakat,” kata Usman dalam siaran pers pada Senin (6/4), dikutip dari Republika.
Potensi penyalahgunaan aturan akan semakin tebal. Jelas ini melanggar kemerdekaan berpendapat. Secara sepihak, aparat berwenang bisa menangkap pihak yang tingkah omongnya ngeselin, dianggap menghina presiden.
Indikator hinaan pun susah disepakati. Banyak varian kultur di Indonesia. Setiap daerah punya gaya khas sendiri. Tentu semakin susah. Kecuali dengan adanya delik aduan.
Jika dilakukan tanpa delik aduan, maka berbahaya. Aparat bisa asal main ciduk orang. Bahkan cukup dengan nilai suka atau tidak suka atas sebuah opini. Lha kalau pemimpinnya tidak merasa terhina, mengapa harus diciduk?
“Pelaksaan telegram itu akan membuat banyak orang yang semula berniat memberikan pendapat, ataupun kritik, justru takut untuk bersuara karena diancam hukuman,” terang Usman.
Pemerintah semestinya menjadikan respons warga sebagai kritik dan saran. Tanpa saran dan kritik, pemerintah tentunya akan semakin kesulitan. Mana yang perlu dibutuhkan masyarakat dan mana yang perlu diperbaiki lagi.
Kondisi seperti ini tidak berbeda dengan punya pacar over-protective. Mau gini dilarang, mau gitu tidak boleh. Kalau ga diturutin, ngambeknya minta ampun. Langsung ngediemin yang rasanya amat dingin seperti jeruji bui.
AII menegaskan, Indonesia terikat dengan Pasal 19 Konvenan Internasional tentag Hak-hak Sipil dan Politik Internasional (ICC-PR). Mahkamah Konstitusi (MK) pun telah menghapuskan delik penghinaan terhadap presiden dan penguasa negara pada 2006.
Delik yang dihapus itu sebagaimana dalam Pasal 207 KUHP. Itu karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
Pasal tersebut berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.