Seorang perempuan datang ke rumah Syekh Hatim untuk curhat dan menanyakan sejumlah permasalahan. Perempuan itu bercerita tentang perkara yang ia hadapi, sekaligus meminta pendapat Syekh Hatim.
Tak dinyana, ketika melontarkan pertanyaannya di hadapan Syekh Hatim, perempuan tadi tak kuasa menahan angin hangat yang ingin keluar dari perut. Iya, perempuan itu ingin kentut.
Dengan kemampuan mengelola pernafasan dan kemampuan mengendalikan tekanan udara dalam tubuh, perempuan itu berupaya menyamarkan suara kentut di sela-sela suara pertanyaan yang terucap dari mulutnya.
Perempuan itu bersyukur karena kentut yang keluar dari tubuhnya, bisa tersamarkan secara rapi di sela-sela riuh suara perbincangannya bersama Syekh Hatim. Namun, keadaan itu tak berlangsung lama. Kentut susulan tiba-tiba datang begitu saja.
Dan sialnya, kentut kedua itu meloloskan diri secara tidak kondusif. Ia keluar saat pertanyaan telah usai diucapkan — kondisi sedang hening-heningnya — karena tinggal menunggu jawaban.
Alhasil, kentut pun terdengar jelas. Hingga membuatnya salah tingkah dan terdiam. Di tengah rasa malu luar biasa itu, tiba-tiba Syekh Hatim berkata dengan suara cukup keras.
“Mbak, tolong kalau bicara yang keras nggih, saya tuli,”
Namun, perempuan itu justru kebingungan. Malu dan bingung lebih tepatnya. Malu karena suara kentutnya didengar orang lain. Dan bingung karena dia tidak tahu harus berbuat apa. Dalam kebingungannya, ia kembali dikagetkan dengan suara Syekh Hatim yang lebih keras lagi.
“Mbak, keraskanlah suaramu, aku benar-benar tidak mendengar apa yang kamu bicarakan,” teriak Syekh Hatim sambil menampakkan mimik bingung.
Perempuan tadi menduga sekaligus memastikan, Syekh Hatim seorang yang tuli. Perempuan itu pun merasa plong dan sedikit lega karena suara kentutnya tidak didengar Syekh Hatim. Suasana kembali menjadi cair. Perempuan itu kembali mengulang pertanyaannya.
Sejak saat itu, Syekh Hatim mendadak “menjadi tuli”. Bahkan, Syekh Hatim menjadi tuli selama perempuan itu masih hidup. Ya, demi menjaga perasaan dan kehormatan perempuan itu, Syekh Hatim terus berpura-pura tuli selama 15 tahun.
Kisah populer dan melegenda ini diceritakan oleh Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq yang dikutip oleh Syekh M Nawawi Banten dalam kitab Qomi`al-Thughyan.
Dalam kisah tersebut, menunjukkan betapa semangat menutupi keburukan orang lain, harusnya sama dengan semangat menunjukkan kebenaran pada orang lain.
————————————————
Selama Ramadhan ini, redaksi Jurnaba.co berupaya menghadirkan kisah-kisah pendek bermuatan hikmah. Semoga bisa jadi kisah yang asyik dibaca sambil menunggu waktu berbuka.