Ketika dekat terasa jauh. Ketika berjauhan serasa berdekatan tanpa sekat. Itulah kamu, yang abadi dalam naskah kuno terjemahan.
Di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi. Di tempat pemberhentian sementara kendaraan baja bak ular. Sebelum berpisah, aku menikmati secangkir kopi bersama kakak. Momen yang amat sangat langka.
Karena aku dan kakak bukan bak pinang dibelah dua. Perbedaan itu niscaya, namun itulah yang mempercantik dinamika kehidupan. Terngiang dalam ingatan, bagaimana remot televisi melayang di udara, bola kecil menjadi bak martir yang memecahkan kaca, sehingga menarik perhatian jamaah yang lekas sembahyang di musala.
Ah, ketika mengingat masa itu, tidak ada jawaban lain selain senyum yang terkembang di raut muka aku dan kakak. Secangkir kopi yang diminum berdua, menjadi saksi bisu perpisahan di malam itu.
“Mas…aku pamit, ape balik ndek rantau”, celotehku. “Yo..ati-ati, ojo lali, kabar-kabar, barangem ojo nganti ilang maneh”. Dua kata dalam satu hembusan nafas menjadi saksi bisu perpisahan di malam itu keluar dari mulutku, “Nggeh, Mas.”
Bel stasiun menunjukkan kereta akan tiba. Aku bergegas menuju gerbong kereta dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan karcis. Duduk di dekat jendela, tiba-tiba terbayang wajahmu, asem og. Dalam sanubari, aku ingin segera melupakannya. Dan abadi dalam memorabilia kota jer karta raharja mawa karya.
Gelapnya kaca jendela kereta, tiba-tiba muncul wajahmu. Penyebab kemunculannya, karena kamu banyak membantuku. Kamu dengan rela dan ikhlas, telah membantuku menerjemahkan naskah kuno yang amat sangat penting dan tidak sedikit. Di tengah kesibukanmu, menarikan jari-jemari di atas kaca, kamu masih sudi membantuku menerjemahkan karya. Terjemahanmu, apabila dirupiahkan, mencapai angka jutaan. Hanya dengan senyuman, buku, dan cinderamata, kamu rela menerjemahkan teks kuno dengan cuma-cuma, matur suksma.
Kereta terus melaju. Memorabilia ihwal kamu, datang tak menentu. Namun, Tuhan memberikan obat agar senantiasa mensyukuri nikmatnya, apapun yang terjadi, tetaplah berjalan dengan santai. Ketika kamu hanya memandangku dengan sinis di taman kota dengan buku-buku, aku hanya bersyukur, dan memberikan bisikan melalui udara untukmu, “Syukurlah, ada yang mengawalmu dan menjagamu, lebih gagah dariku, dan tentunya itu baik menurutmu namun biasa saja bagiku”.
Aksara telah menyatukan dua sanubari. Namun tidaK ada deklarasi. Mari, bersama-sama meminta maaf pada diri sendiri. Kereta semakin kencang melaju, meningglakan kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi. Dengan kalimat, “Sudah, sudahlah, sudah, jangan ke kota, sudah ada yang merawat dan membantu tumbuh plus kembangnya. Mari dan mari berkelana ke desa-desa, menyaksikan pengejawantahan syukur yang sesungguhnya”.
Setelah menuliskan kalimat tersebut pada buku catatan berwarna merah, tiba-tiba terdengar suara jeritan di dalam gerbong kereta. Percik api muncul di sekitar gerbong, isak tangis suara bayi terdengar. Gemuruh suara “tolong…tolong”, menggema di gerbong. Aku tak tahu, apa yang harus aku lakukan, ketika memegang kepalaku, ada darah segar mengucur. Kepala pusing tujuh keliling, dan pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa, mulut komat-kamit melantunkan istighfar dan innalillahi wa innailaihi roji’un.