Dalam kaidah sederhana, Transisi Energi adalah proses perubahan dari satu jenis sumber energi, menuju energi yang lain.
Saat ini, sedang didorong proses transisi. Dari energi fosil (Minyak dan Gas), menuju energi berkelanjutan. Transisi ini dilakukan untuk membatasi ekstremnya perubahan iklim akibat penggunaan energi fosil (Migas).
Transisi energi (perubahan sumber energi), merupakan sesuatu yang lumrah dan wajar dilakukan di dunia. Bahkan, cukup wajar pula dilakukan di Indonesia. Untuk diketahui, Indonesia sudah pernah melakukan proses Transisi Energi.
Riwayat Transisi Energi
Sebelum masa Revolusi Industri yang terjadi di Inggris (1760 – 1850), manusia lebih banyak menggunakan sumber-sumber energi tradisional dalam beraktivitas seperti kayu bakar, arang, tenaga manusia, maupun tenaga hewan.
Namun, industri yang semakin berkembang menuntut adanya sumber-sumber energi yang lebih besar. Nabs, hal inilah yang memicu munculnya berbagai inovasi di bidang sumber energi.
Penggunaan energi fosil terutama batubara mulai masif digunakan ketika terjadi Revolusi Industri. Pada saat itu, batubara merupakan energi modern yang mulai menggantikan kayu bakar dan arang.
Melihat sejarahnya, beberapa hal yang mendasari terjadinya transisi energi antara lain: (a) semakin berkembangnya inovasi teknologi; (b) tingkat upah pekerja dan, (c) ketersediaan sumber energi dan kemudahan untuk mendapatkannya.
Sejarah mengenai transisi energi yang terjadi di dunia, dapat dapat kita lihat pada studi berjudul “Energy Transition in History: Global Cases of Continuity and Change” yang dikembangkan oleh Rachel Carson Center pada 2013.
Di Indonesia, transisi energi bukan hal baru. Pada 2006, pemerintah menerapkan Program Konversi Minyak Tanah ke Liquid Petroleum Gas (LPG). Pada saat itu, program transisi ini ditujukan untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) diversifikasi pasokan energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM, khususnya minyak tanah.
Selama 2007 – 2014, konversi minyak tanah ke LPG telah menghemat subsidi energi sebesar 112 Triliun Rupiah. Di masa saat ini, Transisi Energi diartikan sebagai prsoses perubahan menuju transformasi sektor energi. Dari energi berbasis fosil dan tinggi karbon, menuju energi rendah karbon atau nol karbon pada 2050. Berbagai skenario transisi energi, baik di tingkat global maupun nasional, telah dikembangkan.
Ada 3 (tiga) hal menjadi fokus dalam bertransisi energi. Di antaranya; yaitu (1) peningkatan upaya konservasi dan efisiensi energi; (2) pengembangan energi terbarukan secara masif dengan memperhatikan aspek-aspek berkelanjutan; (3) menghentikan pengembangan energi fosil secara bertahap. Ketiga hal itu harus direncanakan dan dilakukan secara bersamaan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) cukup concern membahas transisi energi di Indonesia. Pada laporan IESR bertajuk “Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024″, IESR menemukan, walau terdapat target dan komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi dengan tujuan untuk mitigasi emisi gas rumah kaca, nyatanya, di Indonesia, pasokan energi fossil (Migas) masih mendominasi.
Di sektor ketenagalistrikan misalnya, pada 2024 ini, jumlah total kapasitas PLTU Batubara on grid dan captive coal plant sekitar 44 GW dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 73 GW pada 2030 nanti. Hal ini, tentu akan meningkatkan emisi GRK menjadi sekitar 414 juta ton setara karbondioksida (MtCO2e) pada 2030.