Wawancara asyik bersama Septian Nurafan atau Stepen, ketua umum SASB Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Dari pengalaman hingga sejarah dualisme organisasi.
Tak banyak yang tahu. Ketua umum SASB 2020 mirip dengan orang-orang hebat lainnya, salah satu di antaranya memiliki nama beken yakni Stepen.
Sebuah kesenangan tersendiri bisa wawancara eksklusif dengannya dan berkenan untuk diunggah di kanal yang selalu mengabarkan degup kebahagiaan, Jurnaba.co
Akhir-akhir ini saya sering kali menghabiskan waktu dengan arsip-arsip yang berdebu plus memiliki aroma khas. Selain itu juga menulis, menjadi akademisi (mahasiswa) yang biasa-biasa saja, ngopi, silaturahim, dan sebagainya.
Kemudian beberapa waktu lalu, Stepen mengirim WA ke saya, “Bos, posisi?”. Hingga beberapa kali pesan itu belum saya lihat. Perlu diketahui panggilan “Bos” disini bukan bermakna sebagai pertanda antara kaum borjuis dan proletar, wqwqwq.
Melainkan hanya sebuah panggilan akrab yang berkembang ketika duduk di bangku putih abu-abu. Mengingat saya dan Stepen duduk di madrasah dan kelas yang sama.
Selain itu ada kawan-kawan (satu kelas) yang memiliki panggilan unik seperti Komandan (Faiz). Kemudian ada Trio punggawa “The Linger Band” yakni Noto (Bagus), Cak Darmanto (Wahyu), Che alias Kepot alias Ahmad Taufiq.
Pendekar dari Bumi Dander: Sogol (Sandi). Punggawa pesantren madrasah (pesmad): Bos Firman. Ada juga Pak Milioner (Ardi), Imam Jam’iyyah Sosialiah Isnainiah (Pak Anwar), dan saya memperoleh nama Cak Gofur, yang pertama kali dideklarasikan oleh Che.
Berawal dari chat itu, saya beberapa kali belum bisa menjawab. Karena beberapa alasan seperti sedang berkelana, nulis, sinau daring, chat tertimbun oleh chat-chat yang lain, dan adakalanya sedang tidur. Maklum, anggota Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah wqwqwq.
Ketika saya buka WA, ternyata sudah beberapa kali Stepen mengirim pesan.
Baik, sebagai wujud memenuhi panggilan dan apresiasi sederhana karena saya dan Stepen ingin bersua. Maka dari itu saya putuskan untuk bersilaturahim ke rumahnya yang berada di Kedungadem. Pada hari itu, setelah dari Tuban, saya langsung berlayar menuju tempat Stepen.
**
Sore itu cuaca mendukung. Hamparan luas areal persawahan, jalan dengan mode getar yang sedang diperbaiki, dan lalu-lalang kendaraan menyertai perjalananku ke rumah laki-laki kelahiran 1999 itu.
Kemudian saya mengabarinya melalui WA. Kebetulan Stepen alias Septian Nurafan yang akrab dipanggil Affan sedang di rumah. Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai di lokasi. Sebelumnya agak bingung. Tercatat terakhir kali kawan-kawan satu kelas berkunjung ke rumahnya kalau tidak salah ketika kelas satu MA.
Mahasiswa manajemen UINSA itu memberi informasi tentang rute jalan menuju rumahnya. Tak jauh dari tempat saya berada yakni sekitar Balai Desa. Kemudian lurus dan ada pertigaan, arah menuju sebuah langgar. Di sanalah sekitar rumahnya. Dan benar, laki-laki berkaos hijau dan bersarung dengan senyuman yang khas sudah stay di depan rumah bersama neneknya.
Mengingat Stepen seorang santri dan Syekhermania, dimanapun ia melangkah dan sejauh apapun ia berkelana ketika kembali ke kampung halaman, ya tetap sarungan.
Sepeda motor saya parkir, kemudian menyalami Stepen dan neneknya. Mengingat saya belum menunaikan shalat maghrib, kemudian saya diantar Stepen ke belakang rumah untuk mengambil air wudhu kemudian menunaikan shalat. Sebelum itu, tak lupa saya menyalami bapak dan ibunya. Saya ingat betul siapa nama bapaknya, yaitu Pak Da’in.
Setelah shalat kemudian duduk di ruang tamu. Gaya arsitektur Rumah Stepen mengingatkan saya pada rumah Joglo. Rumahnya memang khas dan tiada dua. Kemudian obrloan gayeng dalam rangka wawancara eksklusif dengan Bos Affan dimulai.
Yaopo Bos, kabare? Lagi sibuk opo ki?
Alhamdulillah apik Bos, hehehe. Yo wes ngene ki Bos. Enek agenda KKN ndek Kepohbaru.
Wih..mantap..iku. Ki rencana obrolan malam ini, tak gae artikel yaopo? Wabilkhusus tentang ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan wawasane sampeyan tentang SASB, Bojonegoro, dan lain-lain.
Oh…tentang iku. Monggo Bos, nek arep sampeyan tulis.
Iki enek pertanyaan urgent Bos. Beberapa waktu yang lalu aku nulis tentang daftar Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada) ndek Bojonegoro. Lhadalah enek bocah takon, intine mengapa Ormada Bojonegoro di UINSA ada dua yakni FKMB dan SASB?
Oalah..iku to Bos. Yo iku podo-podo dulur Bos. Bedane, Forum Komunikasi Mahasiswa Bojonegoro (FKMB) UINSA lebih awal berdiri yaitu tahun 2000. Dan pada tahun 2010 Sunan Ampel Students from Bojonegoro (SASB) berdiri. Bedane mung nama organisasi, tapi kene tetep sak dulur. Biasane yo ngopi bareng masio ndek Surabaya. Nek Bojonegoro bereng yo biasane ngopi bareng, hehehe. Oh yo, karo kalimat keramate bedo nek FKMB, “FKMB jaya, Bojonegoro berdaya”. SASB iku, “sak ati sak bakti.”
Matoh..matoh ngunu slogane. Podo matohe wes. Biasane kegiatane SASB opo ae Bos?
Enek Training Organization (TO) tahun dek nane diadakan di Malang. Nok kono situasi dan kondisine mendukung, hehe. Selain untuk mempererat seduluran antar anggota, juga membahas tentang organisasi. Satu hari kita bahas urusan agak serius, satu harinya lagi kita bersenang-senang. Ada yang renang, nyani, dan sebagainya. Karena di SASB itu rasa seduluran nomor satu. Selain itu kegiatan SASB ada briefing ke sekolah-sekolah, seminar, pengabdian kepada masyarakat yang tahun lalu diadakan di Napis (Tambakrejo), bakti sosial, dan sebagainya.
Tahun kemarin SASB memiliki agenda yang bisa dibilang jadi “inovator” ketika mengadakan agenda pulang kampung (pulkam) yaitu Festival Kreasi Tari Tradisional di daerah Trucuk. Dekat dengan Jembatan Sosrodilogo. Nah, bagaimana Bos, bisa memperoleh ide menyelenggarakan kegiatan itu?
Oalah…iku berkat kerjasama keluarga besar SASB. Juga ada salah seorang punggawa SASB yang menempuh jalan sunyi untuk mengadakan festival tersebut yaitu Syahril. Dia melakukan laku khusus untuk memperoleh ide acara itu. Kemudian yang bagian menulis di media ada Rengga, Hidayah, dan kawan-kawan. Namun kesuksesan acara merupakan kesuksesan bersama, bukan hanya bergantung pada individu. Mengingat kalimat keramat yang sudah tertanam di punggawa SASB yakni, “sak ati sak bakti”.
Di jeda obrolan. Kita isi dengan minum kopi, makan buah, melihat gawai, dan sebagainya. Tak lupa memorabilia ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah sembari mengingat kawan-kawan yang berproses bersama. Ketika jam di rumah Stepen menunjukkan waktu tertentu mengeluarkan bunyi dan menjadi irama pengisi ruang obrolan. Juga menjadi saksi bisu obrolan malam itu bersama dengan meja, kursi, piring, dan lain-lain.
Kira-kira pandangamu ke depan tentang SASB yaopo Bos?
Sementara ingin membuat website SASB. Agar orang lain wabilkhusus adik-adik kelas yang ingin melanjutkan studi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) bisa memperoleh informasi. Baik tentang SASB, dunia kuliah, dan sebagainya. Hingga saat ini, SASB memiliki beberapa akun sosial media seperti instagram (@sasb_uinsa) dan Fecbook (SASB UIN Sunan Ampel Surabaya). Kita tidak ingin, emm…istilahnya membuat adik-adik kita (khususnya) dari Bojonegoro itu terlantar ketika berada di Surabaya. Misalnya, belum dapat tempat menginap, bingung cari kos, warung kopi, dan lain-lain. Intinya, SASB ingin bermanfaat untuk sesama. Dan apabila ada anak dari Tuban atau daerah lain namun pernah sekolah di Bojonegoro (ketika SMA), kalau gabung ikut SASB ya tidak apa-apa. Intinya kami tidak memaksa untuk ikut SASB, namun situasi dan kondisilah yang menjadi daya tarik maba untuk bergabung bersama keluarga besar SASB UINSA.
Oke…..Hmm. Pandanganmu ke depan tentang karir? Apakah ingin menjadi bagian dari pemerintah desa? Atau pripun?
Wqwqw…nek bagian pemerintah desa belum tertarik Bos. Wes..pokoke tak lakoni sek lah.
Emm..apakah ada pesan dan kesan untuk Jurnaba Bos?
Semoga Jurnaba kedepannya bisa menjadi wasilah yang aktif dan terus memberi informasi alternatif bagi masyarakat planet bumi, khususnya pulau Jawa.
Oke..oke..terakhir Bos. Apa harapan untuk Bojonegoro ke depannya?
Tentu semoga lebih baik. Khususnya bagi teman-teman Ormada yang lain juga. Semoga ke depannya ormada bisa memberikan sumbangsih kepada daerah.
Jam menujukkan sekitar pukul 20.15 WIB. Saya memutuskan untuk pulang. Tak lupa memberi buah tangan berupa buku antologi bertema pendidikan kepada Stepen. Saya juga mengucapkan matur sembah nuwun dan tak lupa minta pangestu kepdanya. Juga mengucapkan mohon maaf apabila ada salah kata, tindakan, dan sebagainya. Kemudian pamit kepada keluarga Stepen.
Perjalanan pulang tak begitu sepi. Karena ada proyek pembangunan jalan (cor). Sesekali macet, namun tidak terlalu parah. Areal sawah, tiang listrik yang gagah berdiri, rembulan, dan aspal jalanan Kedungadem-Kota Bojonegoro menjadi saksi bisu perjalanan di malam itu.