Sebab kadang, perasaan saling cinta hadir dari Tuhan. Tapi jodoh datang karena kesepakatan.
Jika kau membaca tulisan ini, aku yakin kau bakalan kaget. Sebab aku menggunakan kata “aku” sebagai narator cerita. Kau tentu masih ingat, aku orang yang benci bercerita dengan sudut pandang orang pertama. Tapi untuk tulisan ini, aku menggunakannya.
Aku mungkin akan menulis tentangmu. Atau tentang kamu di masa lalu. Aku sungkan sebenarnya. Namamu kerap kusamarkan sebagai kata kerja, kata sifat hingga kata benda di beberapa artikel yang pernah aku tulis di media. Tidak semua. Tapi ada, banyak.
Ini bulan Februari. Seperti biasa, akun medsosku dilempari banyak notifikasi yang memberitahu — seolah menepuk pundak — perihal yang sangat lucu tentang dirimu. Tentang sesuatu yang pernah kita bahas bersama-sama, dulu.
Kau tahu, pertemuan kita adalah perjumpaan yang aneh, tentu saja. Kita bertemu sebagai dua orang Blogtrovert yang asing dan terbuang dari kenyataan hidup. Serupa dirimu, aku orang yang terbuang (atau lebih tepatnya membuang diri) dari dunia nyata.
Februari 2010 menjadi momen pertama kita saling bersinggungan. Untuk pertamakalinya, kau mengomentari tulisanku tentang resensi novel Oliver Twist karya Charles Dickens. Komentarmu, kau tahu, lebih pedas daripada mie setan level berapapun.
Kau menganggap aku tak selesai membaca novel itu. Kau juga bilang jika hasil resensiku tak objektif terhadap isi cerita. Terlampau mengada-ada dan tebal akan bias perspektif. Dan aku tak berani membalas komentarmu. Meski sesungguhnya, aku membaca komentarmu itu berulangkali.
Tiga hari setelahnya, masih di bulan Februari, kau kembali berceloteh panjang lebar soal ketidakterimaanmu pada tulisanku. Tentang sebuah resensi buku yang kuposting relatif lebih lama dibanding tulisan yang kau komentari sebelumnya.
Resensi buku berjudul Time Machine karya H.G Wells itu, menurutmu amat buruk. Ia bukan sebuah resensi. Dan terlihat jika penulis resensinya, maksudnya aku, tak benar-benar memahami cerita yang ditawarkan. Buku itu memang sangat sulit dipahami. Sialnya, kau tahu jika aku tak paham isi ceritanya.
Kau justru merekomendasikanku untuk menulis tulisan-tulisan komedi satir saja. Kali itu, aku membalas komentarmu dengan emot senyum dan tertawa dan tak membalas dengan sedikitpun kalimat. Tapi, tetap saja ada niat untuk membalas komentar pedasmu itu.
Mula-mula aku membaca seluruh isi blogmu. Dari tulisan yang benar-benar kupahami hingga tulisan yang blas tak bisa kupahami. Setelah itu, aku mencari tulisanmu yang paling lemah dan memberanikan diri untuk mengomentarinya.
Sayangnya, mencari tulisanmu yang paling lemah seperti mencari pacar di musim paceklik cinta. Sulitnya minta ampun. Hampir semua tulisanmu, memiliki premis yang amat kuat dan menarik dan didukung narasi yang amat kemeripik dan ngampleng.
Tulisanmu bukan sejenis tulisan serius khas karya ilmiah yang kaku dan penuh istilah-istilah referensial tapi garing. Namun, lebih pada tulisan sederhana tapi basah yang sesekali lucu dan berkali-kali bikin penasaran. Kadang perasaanku amat gatal saat membacanya.
Tulisanmu selalu bernuansa gloomy dan sedih dan getir dan pahit dan sepi tapi lucu, semacam kelucuan yang amat aneh. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat membaca tulisanmu, kan?
Kau, bisa-bisanya menulis teknik memasak botok ikan jendil menggunakan teori Marxis. Aku ngakak tak beraturan kala membaca tulisanmu itu. Atau kau menulis tutorial memakai gaun via teknik represi ala Orde Baru. Bolak-balik aku bilang BGST BGST BGST! Sambil ngakak.
Ya, aku tak menemukan tulisanmu yang jelek, yang darinya aku bisa menulis komentar pedas. Tapi, bukan aku jika tak membalas komentarmu itu. Aku membalas dua komentar pedasmu itu menggunakan satu cerita utuh. Sebuah cerita berbahan dasar dua paragraf komentar pedas yang pernah kau kirim untukku.
Pasca tulisan itu ku-posting, tak butuh waktu lama untuk memancingmu berkomentar. Kau, dengan kecepatan seorang teller bank saat menghitung uang, mampu menulis berparagraf-paragraf komentar untuk merespon tulisan itu. Alih-alih pedas seperti dua komentar sebelumnya, komentarmu kali itu teramat maniiis sekali.
Sejak saat itu, aku mulai telaten membaca tulisan-tulisanmu di blog. Membaca pemikiran liberal kekanak-kanakanmu, dan tentu saja, membaca kelucuan-kelucuan tulisanmu yang membuatku terkesima.
Barangkali kau melakukan hal yang sama terhadap isi blogku. Kau mulai bertanya-tanya tentang sejumlah referensi tulisan yang pernah aku post dalam jangka waktu cukup lama. Kau juga mulai memberiku tema-tema aneh untuk kueksekusi menjadi tulisan.
Aku terkesima dengan caramu meramu lirik lagu menjadi tulisan menarik. Tidak mainstream dan sering tiba-tiba keluar jalur untuk menghindari suasana klise. Aku percaya, itu tak bisa dilakukan sembarang orang.
Kau, misalnya, mengkolaborasikan lagu Norwegian Wood-nya The Beatles dengan novel fenomenal Haruki Murakami berjudul Norwegian Wood, tapi tak membahas keduanya— karena menurutmu itu sudah mainstream. Dan justru kau membahas kebosananmu menjalani kuliah.
Kau juga mampu meramu lagu First of May-nya The Bee Gees yang amat sendu-sendu romantis itu, menjadi cerita berbasis keluhan para pegawai fotocopy yang sering bersitegang dengan dirimu. Dan hebatnya, kau mampu menjahit kalimat-kalimat itu dengan teramat lucu sekali.
Mataku hampir tak berkedip kala membaca paragraf pertama tulisanmu berjudul Jangan Kau Baca Tulisan Ini!— sebuah karangan fiktif tentang masa muda Leo Tolstoy dan Maxim Gorky yang suka bernyanyi lagu dangdut untuk mengusir kecemasan akibat tekanan Tsar Rusia. Jancik! bisa-bisanya itu kau pikirkan.
Sesaat setelah membaca tulisan itu, kau benar-benar membuatku penasaran. Untuk pertamakalinya, aku mencari tahu siapa dirimu. Dan memang tak akan ketemu. Sebab kau hanya menyertakan nama inisial dalam “about” blogmu itu. Tanpa ada informasi detail apapun.
Aku menemukan akun medsosmu. Di sana, kau memajang foto profil sebuah buku dan hijau rerumputan. Aku tak menambahkanmu sebagai teman. Hanya sesekali stalking dan kian mantap membaiat dirimu sebagai sosok yang layak dikagumi, terutama dalam hal seni tulisan.
Hari-hariku, kuhabiskan dengan kerap membaca blogmu. Mungkin kita vice versa: melakukan sesuatu secara sebaliknya, saling membaca bersama-sama. Lalu diam-diam saling menunggu tulisan untuk dibaca dan dikomentari.
Buktinya, kita mulai intensif berkomunikasi melalui papan komentar. Lama kelamaan kau dan aku tak hanya berkomentar soal isi tulisan di dalam blog. Tapi juga kerap berkomentar soal sumpeknya hidup dan sedihnya menjadi mahasiswa perantauan.
Jika aku Harukis, kau mungkin jauh lebih Harukis lagi. Layaknya protagonis di novel-novel Haruki Murakami, kau dan aku memang terbuang dan terabaikan— atau membuang diri dan mengabaikan — oleh lingkungan sekitar. Lalu kita bertemu di dunia blogging.
Mengenalmu, aku merasa punya teman. Aku mulai punya semangat untuk bangun tidur, hanya untuk menemuimu di dimensi blog. Kau juga. Katamu, kau tak lagi takut berada di kosan sendirian, sebab ada aku yang selalu menanggapi celotehan anehmu itu.
Aku bertanya padamu, lagu apa yang paling sering kau dengar saat itu. Kau bilang, kau rajin sekali mendengar lagu-lagu Angles and Airwaves, terutama di album We Don’t Need to Whisper atau I-Empire. Dan itu, katamu, paling enak didengar sambil ngerokok. Untungnya, aku tahu dan mendengarkannya juga. Sambil ngerokok juga, tentu saja.
Aku mengambil lirik lagu berjudul Heaven dari album I-Empire, lalu membikin cerita panjang darinya. Tentu saja, secara tak langsung, tulisan itu kupersembahkan sebagai rasa syukur karena sempat dipertemukan denganmu. Meski sekadar teman maya.
Sesaat setelah membacanya, kau meminta nomor teleponku. Kau menelponku. Kau tahu, itu pertamakalinya kita saling mendengar suara satu sama lain, setelah hampir 5 bulan bersinggungan.
Kau ingin membuktikan bahwa aku adalah manusia. Dan aku juga ingin membuktikan bahwa kau adalah manusia. Sebab selama ini, kita tak pernah saling menampakan wajah.
Waktu itu, kita telponan lama hanya untuk malu-malu saling berkenalan, “Kelak kalau kita ketemu, mau kan kamu nyanyiin lagunya Peterpan?” Katamu waktu itu.
“Lha, kok malah Peterpan?” Tanyaku.
“Aku udah sering banget dengar lagu-lagu barat, sekali-kali aku pengen dinyanyiin lagunya Peterpan” jawabmu.
“Emang kita mau ketemuan?”
“Nggak tahu,” kau tertawa kencang sekali.
Sejak saat itu kau sering menelponku. Bercerita tentang apa saja yang kau lalui selama sehari itu, kepadaku. Tiap kali telepon, kau selalu banyak ngomong. Dan aku banyak diam. Kau selalu mengawali ceritamu dengan: “hai, hari ini aku ada cerita…”.
Pernah suatu kali, kita telponan lama sekali. Lebih lama dari biasanya, hanya untuk diam. Dan tiba-tiba kau menangis. Saat kutanya kenapa kau menangis? Kau bilang: kok masih ada lelaki menyedihkan yang sabarnya minta ampun kayak diriku. Kemudian kau tertawa. Kencang sekali.
Diam-diam kau dan aku mulai menebak jenis wajah kita berdua, kesukaan kita, dan apa yang melekat pada tubuh kita saat pertama berjumpa nanti, tanpa diucap dan sekadar membatin di dalam hati.
** **
Surabaya kau anggap sebagai kota nyaman dan netral untuk bertemu. Kita bertemu di cafe dekat Mall Delta Surabaya. Sebuah cafe yang di sana, kita bisa melihat kapal selam yang terdampar dalam sumpeknya kenyataan hidup.
Sesaat setelah bertemu, kita saling tatap lama sekali. Rasa asing sekaligus dekat, menghablur menjadi satu. Kau dan aku tak percaya, kita benar-benar ada. Kita benar-benar manusia. Dan kita, akhirnya benar-benar berjumpa.
Kau kaget saat mendengar nama asliku, yang tak berhubungan blas dengan nama blogku. Aku juga amat kaget dan bingung saat mendengar nama aslimu, yang teramat panjang dan membingungkan itu. Yang nama panggilanmu tak sama dengan nama aslimu.
Kau kaget, bayanganmu aku lelaki berkacamata yang tak bisa main bola. Tentu kau salah. Aku tak berkacamata dan amat ahli main bola. Tentangmu, aku lebih kaget lagi. Bayanganku, kau Harukis pada umumnya, ternyata aku salah. Kau tak seperti seorang Harukis yang pernah aku tahu. Dan ternyata kau tak pernah merokok.
“Kau berjilbab?” Kataku merunduk, menutup muka, sambil tersenyum merasa tak percaya.
“Emang kenapa?” Jawabmu sambil tersenyum malu-malu, manis sekali.
Di bawah naungan lagu Aku dan Bintang — karena hanya lagu itu yang fasih kunyanyikan dengan lumayan baik — kita berbincang panjang tentang banyak hal. Tentang sesuatu yang bahkan tak pernah terbayang di hati kecilku.
“Jika kelak benar-benar ada kehidupan yang kedua, maukah kau tetap jadi teman yang membersamaiku?” Kau memberi penekanan yang sangat kuat pada kata “teman-yang-membersamaiku”.
Aku tahu apa maksudmu. Aku baru mau menjawab sesuatu, dan tiba-tiba kau menangis. Sial, aku paling tak kuat melihat perempuan menangis. Gara-gara melihatmu menangis, aku jadi lupa pada banyak hal yang ingin aku katakan padamu.
“Anggap saja tadi kesepakatan rahasia kita ya.” Ucapmu menutup tangisan.
Sebelum berpisah, kau memberiku secarik kertas berisi alamat dan sebuah tanggal. Katamu, aku tak boleh main melebihi tanggal yang kau cantumkan itu. Kau bilang, kau tak akan lagi main blog. Blogmu akan kau hapus. Dan aku harus bermain ke rumahmu, berkenalan dengan orang tuamu, entah untuk apa aku harus ke sana, kamu juga nggak tahu.
** **
Kau benar-benar menghapus blogmu. Awalnya aku berupaya tak memedulikannya. Sialnya, tiap kali aku melihat layar laptop, yang ada hanya wajahmu. Perempuan jutek bermata sipit, berbibir tipis, berjilbab dan saat bicara suaranya berat sekali. Aku benar-benar ingin membaca tulisanmu. Aku benar-benar ingin ketemu. Aku rindu.
** **
Dengan keberanian seorang lelaki yang sudah disunat, dan sesuai arahan secarik kertas berisi alamat, aku memberanikan diri bertandang ke Pasuruan, ke rumahmu. Tepat di tanggal yang kau cantumkan itu.
Alamat itu menghentikan langkahku di sebuah gerbang pondok pesantren. Ya, sebuah pondok pesantren yang namanya ada di belakang namamu. Dan itu mengagetkanku.
** **
Di dekat gerbang pondok pesantren itu, aku melihat bekas tenda upacara pernikahan. Seorang lelaki muda menanyaiku, apakah aku tamu dari si pengantin? Apakah aku tamumu? Spontan aku bilang: iya. Tapi aku langsung berbalik arah.
Aku merinding dan tiba-tiba lututku kaku tak bisa bergerak. Kakiku tak bisa melangkah. Tulang-belulang yang ada di tubuhku terasa remuk saat itu juga. Tak hanya lemas, tapi serasa hilang.
Berkali aku mendengar suara di dalam hati: Tak harus menikah untuk saling mencintai. Dan tak harus cinta untuk saling menikah. Sebab kadang, cinta hadir dari Tuhan, nikah datang karena kesepakatan.
Aku tak jadi menemuimu, meski aku tahu kau menungguku. Aku tak siap menerima kenyataan. Keesokan harinya, aku menghapus blogku agar tak mengingatmu lagi. Meski kau tahu, itu benar-benar sulit.