Pelajaran penting dari channel YouTube Calon Sarjana: bahwa sejatinya pada sudut waktu yang lain di masa depan, perubahan amat mungkin terjadi. Dan itu, tak segan-segan berputar pada sudut 180 derajat.
Bencana alam mungkin bisa berperan vital dalam menyadarkan manusia. Kebakaran, banjir, tanah longsor, hingga gempa bumi setiap waktunya mampu menjadikan kita mawas diri dan belajar banyak.
Kendati bisa saja seseorang bersedih berkali-kali, tapi toh ia akan lekas-lekas menyadari bahwa membuang sampah di sungai bisa membuat aliran air mampat dan itu kemudian menjadikan banjir di mana-mana.
Namun, dari semua peristiwa itu, satu hal yang dilupakan seseorang dan bisa berwujud sebagai bencana fatal lainnya adalah jumawa terhadap hal-hal sekarang. Alias, mudah puas dan menganggap apa yang terjadi saat ini tidak mungkin bisa beralih wujud, dan berubah bentuk.
Fiersa Besari, seorang penulis yang juga musisi, mencuit di laman twitternya mengenai persoalan yang tragis. Itu adalah keadaan Calon Sarjana, sebuah channel youtube, yang sempat meraih 12 juta subscribers dan nominasi Panasonic Gobel Award, yang saat ini tengah lenyap di dunia maya.
Ia ditengarai memplagiat konten-konten di internet, yang salah satunya menimpa youtuber asal Inggris, JT. Imbasnya pihak youtube menghapus secara permanen channel Calon Sarjana.
Padahal jika dipikir secara sederhana, bagaimana bisa sebuah akun yang telah memiliki basis massa jutaan, di posisi paling tinggi dan tentu memperoleh pemasukan yang tak sedikit, tumbang oleh hal-hal di luar dugaan?
Apa yang terjadi di kasus tersebut tentunya bisa kita cermati secara seksama. Bahwa sejatinya pada sudut waktu yang lain di masa depan, perubahan amat mungkin terjadi. Dan itu, tak segan-segan berputar pada sudut 180 derajat.
Tak hanya itu, kasus Calon Sarjana juga menjadi cerminan penting bagi kita semua. Bahwa disadari atau tidak, sebuah tindakan tercela amat berpengaruh pada posisi kita nantinya. Dan lebih buruknya, mungkin bisa saja menyiksa berkali-kali.
Sikap yang serupa semestinya bisa diadopsi oleh kita semua. Dengan kata lain, kehati-hatian dalam bersikap atau kewaspadaan dalam melakukan sesuatu mutlak kita resapi dengan baik. Sebab toh, di masa depan, waktu menjadi alat paling nyata dalam membentuk kita seperti apa nantinya.
Tidak terlalu jauh, mari berputar sejenak pada kondisi yang menimpa papa kebesaran kita: Setya Novanto. Di masa silam, ia berada pada posisi yang sangat aman dan seolah kebal dengan jerat hukum. Ia menjadi Ketua DPR RI, dan karena tindakan korupsi yang ia lakukan, kini ia harus mendekam di jeruji besi.
Pada mulanya ia mungkin bisa bersembunyi pada serangkaian drama, yang salah satunya sulit kita lupakan: parodi tiang listrik. Setnov bersandiwara dengan seolah kecelakaan menabrak tiang listrik, dan itu ditunjang dengan statement kuasa hukumnya Fredrich Yunadi, serta dukungan dari dokter yang memeriksanya Bimanesh Sutarjo.
Saat itu mungkin ia bangga betul karena bisa menipu banyak hal. Tapi waktu membuktikan jua omong kosong itu. Akhirnya ketiga orang tersebut mendekam dalam penjara.
**
Pada derajat tertentu, kejadian-kejadian seperti itu seharusnya membuat kita sadar bahwa waktu akan membentuk kita seperti nanti. Dan sikap busuk akan mengarahkan kita pada kesengsaraan yang mengerikan.
Namun seperti yang tersebut di awal, jumawa seperti ini toh sering tak membuat kita lekas sadar. Kita masih sering berbuat buruk setiap saat. Dan tanpa sadar, lama-lama, tindakan ini akan mengalirkan kita pada bencana yang jauh lebih dahsyat.
Kau tahu bagian mengerikannya: kita telah memahami hal ini akan terjadi, dan itu sama sekali tak membuat kita tergerak walau sedikit saja.