Bojonegoro sejak berabad-abad silam dikenal sebagai Kota Nagapura (Gerbang Naga). Kota berjuluk Gerbang Naga itu, memiliki 10 Pilar Naga sebagai penyangga peradabannya.
Bojonegoro merupakan wilayah paling dominan terhadap Sungai Bengawan. Dominasinya melebihi wilayah-wilayah lain. Hal ini terbukti empiris. Data dari Balai PSDA Bengawan Solo (2006) mengatakan, Bojonegoro wilayah terluas dan paling panjang dilintasi Sungai Bengawan.
Dari data Balai PSDA, secara sahih menyebut Bojonegoro wilayah paling luas (2,307.06 km2), sekaligus paling besar prosentasenya (10,84 persen). Luas dan prosentase Bojonegoro, berada jauh di atas Lamongan, Tuban, dan Gresik. Dominasi Bojonegoro terhadap sungai Bengawan, bahkan 53 kali lipat dominasi Surakarta (Solo) yang hanya 44,03 km / 0,21 persen.

Bojonegoro punya ikatan historis yang kuat dengan sungai Bengawan. Sungai terpanjang di Jawa itu, semula bernama sungai Wulayu. Sementara bagian Bojonegoro, dikenal nama Bengawan. Istilah Bengawan, secara terminologi, sangat identik Jipang, sebagai wilayah pusat para Rsi dan “Begawan”.
Terbukti otentik. Sampai pada 1857 M, sungai di sepanjang wilayah Bojonegoro (antara Ngawi dan Lamongan) masih dikenal dan dicatat dengan nama Bengawan, bukan Bengawan Solo. Tentu, ini sesuai catatan Nederlands Oost Indi, Beschrijving der Nederlandsche Bezittingen in Oost Indie (1857) yang ditulis A. J. van der Aa.
Perubahan nama sungai Bengawan ini, disinyalir baru dilakukan saat Belanda merancang pembangunan Solo Valley (akhir abad ke-19 M). Tapi apalah arti nama. Toh nama kerap diganti atas nama pengkaburan sejarah kemajuan daerah. Nama Bojonegoro misalnya, ia baru dibikin pada 1828 M, dari sebelumnya bernama Jipang.

Studi dan riset Pustaka yang dilakukan Institut Bumi Budaya menjelaskan, kebesaran dan kemakmuran Bojonegoro sebagai Gerbang Naga (Nagapura), tak lepas dari peran 10 Naga yang menjadi pilar kemakmuran, pemicu kesuburan, dan magnet berkumpulnya manusia yang menjadi embrio peradaban.
Totok Supriyanto, peneliti Institute Bumi Budaya mengatakan, terdapat 10 anak-anak sungai yang menyuplai aliran Bengawan di sepanjang wilayah Bojonegoro. Anak-anak sungai inilah, pen-support peradaban yang telah lama dilupakan.
10 Naga Bojonegoro
Jumlah anak sungai sebanyak ini, merupakan total dari tiga sungai berada di sisi kiri, dan tujuh sungai di sisi kanan sungai Bengawan. Keberadaan mereka memperkuat posisi Bengawan sebagai “Gerbang Naga” Bojonegoro. Anak sungai punya peran besar sebagai penguat keberadaan Bengawan.
Tiga sungai di sisi kiri Bengawan adalah; Kali Randublatung berhulu di pegunungan Semanggi dan Kedinding (Blora) , Kali Batokan berhulu di Janjang dan Kedewan (Blora – Bojonegoro), dan Kali Kening berhulu di Jatirogo dan Singgahan (Tuban).
Sementara tujuh sungai di sisi kanan Bengawan adalah; Kali Tinggang, Kali Korgan (Gondang), Kali Tidu, Kali Pacal, Kali Pohkendi, Kali Mekuris dan Kali Kerjo, kesemuanya berhulu di Gunung Pugawat Pandan (Bojonegoro).
Dalam literatur sejarah, titik-titik di atas adalah teritorial utama Jipang (nama kuno Bojonegoro). Mengingat, Jipang adalah lembah di antara Kendeng Selatan (Pugawat Pandan) dan Kendeng Utara (Bukit Singgahan). Sampai abad 18 M, wilayah Jipang meliputi sebagian Blora dan sisi selatan Tuban.
Pertemuan antara sungai dengan Bengawan ini membentuk delta, yang tidak hanya subur, tetapi juga strategis sebagai jalur sekunder menuju pedalaman. Menumbuhkan pusat-pusat keramaian yang kelak membentuk peradaban. Terbukti. Titik-titik Delta ini, kelak menjadi kecamatan-kecamatan.
“Kota-kota di Jipang (nama lama Bojonegoro), hampir seluruhnya dimulai dari sini, dari apa yang disebut sebagai Maritim Sungai” Kata Totok Supriyanto.
Lebih jauh Totok menjelaskan, kota-kota ini memiliki tipologi yang khas, sebagai kota inklusif. Kota yang mampu mengakomodasi peradaban pegunungan Kendeng yang penuh sumberdaya alam dengan segala dinamika pergerakan Bengawan (sebagai jalur niaga).
Gerbang dan Jembatan Peradaban
Menurut Totok, wilayah Jipang, seolah mewajibkan siapa saja untuk lebih “rela”, untuk tak terlalu konservatif menghadapi perubahan, dan tak harus progresif / liberal untuk memulai kemajuan. Jipang memang lahir dari gabungan wilayah swatantra (perdikan).
Totok mencontohkan, keberadaan Prasasti Maribong (1248 M), yang tak jauh dari delta kali Tinggang, dan Prasasti Adan-adan (1301 M) berada di wilayah tengah antara delta kali Batokan dan Kali Kening. Ini menunjukan besarnya peradaban Bojonegoro dipengaruhi keberadaan Anak Sungai.
Semua wilayah yang disebut dalam prasasti dapat dianggap sebagai wilayah “agamis”, wilayah Brahmana dari pegunungan Kendeng yang tidak maritime dan juga tidak agraris, yang memang cenderung lebih besar hati dan inklusif, sebagai penjembatan antara kebudayaan baru yang dibawa para pedagang mancanegara dan budaya lama masyarakat asli Jawa.
Sesuai fungsinya sebagai jembatan peradaban, Majapahit bahkan memberikan gelar pada wilayah-wilayah ini sebagai Nadhitirapradesa (Prasasti Canggu, 1358 M). Sebutan ini menunjukan bahwa sampai pertengahan abad 14 M, fungsi utama kota-kota ini sebagai pelabuhan sungai yang harus “direlakan” oleh kerajaan, dan sekaligus anambangi (menjembantani) orang-orang dari sisi kiri dan sisi kanan Bengawan, dan juga sebaliknya.