Toko Buku Cak Tarno Depok adalah lumbung ilmu. Sebab, penjaganya bisa menjelaskan dan siap diajak diskusi terkait apa yang dia jual. Seandainya tiap toko buku seperti itu, pasti menyenangkan.
Pertemuanku dengan Cak Tarno berawal dari sebuah buku karya Friederich Nietzsche berjudul Zarathustra. Dulu mendapatkan buku tersebut sangat amat sulit. Selain itu, karena langka, harganya pun melambung tinggi.
Pertama kali aku mendapat buku ini justru di UI Depok. Tepatnya di FIB-UI. Spesifiknya di toko buku Cak Tarno. Waktu itu, aku mendapat harga Rp 90 ribu. Cetakan lama, dan masih dengan judul ‘Sabda Zarathustra‘.
Harga buku yang cukup miring untuk waktu itu, tentu saja. Dan sekarang harganya sudah terjun bebas. Gila!. Oh ya, buku ini salah satu dari banyak karya fenomenal Friederich Nietzsche.
Oh, Nietzsche siapa?, adalah filsuf panutan dari para filsuf abad pertengahan. Juga, sosok filsuf yang cukup mempengaruhiku di awal masa kuliah dulu, terutama soal filsafat nihilisme. Hehe.
Yang unik, buku Zarathustra yang saya cari sejak lama, justru aku jumpai di sebuah lumbung ilmu yang cukup jauh tempatnya. Saat itu, buku tersebut hanya tersisa satu atau beberapa saja seingatku. Karena itu, harus kubeli, pikirku.
Namun, kalaupun seandainya waktu itu aku tak menemui buku tersebut, bisa berjumpa dengan toko buku Cak Tarno itu saja, setidaknya sudah mengobati perjalanan yang lumayan jauh, dengan ramuan-ramuan karya pengetahuan dan keilmuan yang amat banyak.
Di toko buku Cak Tarno, bersemayam buku-buku langka, istimewa dan spesial, juga buku-buku yang aku sedang cari sekian waktu lamanya. Begitulah, aku menyebut sebuah lokasi yang bagiku menjadi laboratorium pemikiran di UI (Universitas Indonesia).
Mengapa harus disebut sebagai laboratorium pemikiran UI?, sebab lokasi itulah yang menurutku lebih layak sebagai motor gelombang diskusi dan berbagi narasi lingkungan akademisi, ketimbang lokasi lainnya.
Mengapa bukan perpustakaan di sana?, aku sempat memasuki perpustakaan di kampus tersebut. Koleksinya cukup banyak. Konon disemat sebagai perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara. Namun, aku justru tak merasakan semangat untuk berdiskusi.
Sehingga, aku menyimpulkan bahwa toko buku Cak Tarno merupakan sebuah lokasi yang mampu menjadi eksistensi UI di pandanganku. Sebab ia mampu memantik semangatku untuk berdiskusi.
Awal tahun ini, sempat ada kabar buruk terhadap toko buku tersebut, yakni adanya wacana toko buku tersebut bakal punah nasibnya di kampus UI. Sebab, mau digusur. Aku pun langsung kontak temanku yang melanjutkan pendidikan di sana.
“Emane mbak.. tempat itu padahal yang menurutku membuat lebih istimewa UI ketimbang Unair.” Kataku pada temanku tersebut.
Selain koleksi bukunya keren-keren, Pak Tarno juga sosok yang paham buku. Ia sering menjelaskan sebuah buku pada para pengunjung. Pengetahuannya akan bacaan juga sangar. Tentu saja, saat ke sana, aku bakal menyempatkan diri untuk mampir.
Aku sempat menyesal dengan digusurnya toko buku tersebut. Padahal, aku tak ada hubungan atau punya kedekatan dengan toko buku tersebut. Bahkan, diskusi dan berbincang dengan Cak Tarno hanya sekali, itupun sudah lama.
Namun, entah darimana datangnya ikatan emosi sehingga aku turut berduka atas wacana punahnya toko buku tersebut. Mungkin karena aku percaya pemikiran dan pengetahuan lahirnya dari tempat seperti itu, ketimbang di dalam ruang kelas. Barangkali itu yang membuatku peduli terhadap keberadaan toko buku tersebut.
Beberapa waktu lalu, aku bertemu lagi dengan kawanku lainnya yang kebetulan melanjutkan pendidikan di UI. Aku tanyakan padanya nasib toko buku Cak Tarno. Temanku menjawab tidak berubah dan tidak punah, dengan catatan biaya kontrak lokasi bertambah.
Cukup lega aku mendengar masih bertahannya toko buku tersebut. Namun, juga kurang lega sebab biaya yang bertambah untuk mewadahi toko buku tersebut. Mengingat, berjualan buku tak sama dengan berjualan proyek yang jelas lebih banyak uangnya.