Melihat gambar wajahmu melahirkan semerbak rindu. Rindumu suci, namun rinduku penuh birahi.
Sinar mentari menyengat kulit yang ditumbuhi rambut-rambut. Derap langkah kaki beberapa kali terdengar di ruang sunyi. Tertangkap telinga yang menganga menghadap cakrawala.
“Ak..bangun..ak, sudah siang”. Aku bangun, bersama kawan-kawan yang tergeletak di belakang kampus. Mang Ojan membangunkan aku dan kawan-kawan dari tidur panjang.
Kumandang zuhur menghangatkan Kota Kembang. “Aih…, tadi malam, berbuat apa aku?”. Kulit kacang berserak, majalah dewasa dengan sampul perempuan bohai, dan beberapa botol miras menjadi saksi bisu pesta yang melintasi hari.
“Dung, kumaha? Cager?”
“Cager, Sep. Maneh?”
“Te’. Urang kepikiran lamun perempuan”.
“Onde mande…”
Asep bertanya padaku. Syukurlah, lambungku tidak memberontak, karena malam itu, aku memasukkan miras, kopi, kacang, dan lain sebagainya.
Asep, Komang, Cecep, Siti, dan Sri, mereka ada yang masih tergeletak, belum sadarkan diri. Aku membiarkan kawan-kawan larut dalam mimpi, dalam dekapan hangatnya sinar mentari.
Kemudian, aku bergegas menuju masjid. Membersihkan tubuh, ganti pakaian, dan menunaikan salat. Setelah itu, aku menyesal atas perbuatan yang telah aku lakukan. Namun, lagu lama itu senantiasa mewarnai hidupku.
Usai salat, aku memeriksa gawai. Tertanggal 5 Syawal. Momen yang suci, namun kesuciannya telah aku nodai. Dalam pikirku, hidup ya hidup, berbuat salah tobat, salah lagi tobat lagi, salah lagi, tobat lagi, begitu seterusnya.
Aku percaya, samudera ampunan Tuhan Yang Maha Kuasa tak terkira. Dengan santainya, aku menikmati hidup, menikmati secangkir kopi saban pagi, melinting ganja ketika merasa frustasi, onani ketika naiknya birahi, menembak nomor togel ketika ada rezeki, dan tidak lupa sedekah plus bertobat sesekali.
Aku tidak ingin, mengintervensi Tuhan. Biarlah kenyataan, yang menjadi jawaban. Momen syawal ini, menjadi titik balik, aku ingat kembali perempuan yang membekas di sanubari.
Di gawai, tertera 5 Syawal. Dalam kalender hijriah, itu merupakan hari milad/lahir perempuan yang banyak mewarnai dinamika hidupku.
Setelah salat zuhur, aku bergegas memancal sepeda menuju gedung arsip. Senakal-nakalku, aku tetap harus membaca buku. Karena universalitas ilmu. Ilmu untuk siapa yang mau menjemput, setinggi apapun ruhani, kalau tidak menjemput pendar keilmuan, akan melahirkan agamawan kaku. Begitu, benakku berbicara.
Di gedung arsip di Kota Kembang, aku menemukan staatblad tentang daerahku. Daerahku, konon lumbung pangan dan energi, penghasil tembakau dan kayu jati berkelas tinggi.
Aku bolak-balik lembaran tua itu. Sesekali aku mencium bau khas dari arsip itu, ada gambar perempuan Belanda yang sedang berfoto di dekat jembatan. Sesekali aku menggaruk-garuk kepala, dan bertanya pada dinding gedung arsip yang tua, “Kira-kira, ini di daerah mana, ya? Di Banjarraja atau di Sima?”
Karena pengaruh minuman keras, obat-obatan, ganja, dan lain sebagainya, membuatku berfantasi tingkat dewa. Lagi dan lagi, ingatanku merangsak masuk pada dimensi lain.
Sebuah tempo dan spasial yang tak asing. Tentang perempuan pejuang yang lahir di 5 Syawal. Yang mekar di Taman Kota.
Semakin mengganggu, ingatanku. Aku putuskan untuk menutup arsip itu, keluar gedung, dan merokok. Sebagai upaya metafora untuk melupakannya.
Azan asar berkumandang di Kota Kembang. Lalu-lalang kendaraan semakin menunjukkan kepadatannya. Kepadatan yang bernada, jarang terdengar bunyi klakson. Hal tersebut berbeda jauh, dari lalu-lalang kendaraan di daerahku.
Tiba-tiba, aku kepikiran kawan-kawanku yang tergeletak di belakang kampus. “Ah..semoga, mereka baik-baik saja”. Kemudian aku pancal sepeda menuju terminal, stasiun, dan taman kota. Menikmati nuansa syawal yang tersaji di depan mata.
Lagi dan lagi, ingatan mengenai perempuan 5 Syawal itu, berkeliaran di kepala, semakin aku ingin melupakannya, semakin jauh juga sepeda melintas jalan raya.
Dalam gumamku, “Sepanjang pantura, tidak cukup untuk melupakanmu, sunyinya sekitar Cadas Pangeran di dini hari, juga tidak mampu melupakanmu, baik, aku akan hidup bersamamu dalam lintas ruang dan waktu, dan tak lupa membuat karya tulis saban ulang tahunmu, bukan maksud apa, hanya ingin mengejawantahkan budaya apresiasi lewat kata, selamat ulang tahun untuk perempuan 5 syawal yang tinggal di sekitar bengawan, semoga bahagia dan menebar kebermanfaatan dimanapun kamu berada, semoga kamu dan keluargamu bisa memeriahkan perjuangan, menyublimkan diri bersama kaum tertindas, bukan kawin dengan penindas”.
Dari Balik Kaca Jendela Bus Budiman, 23 Januari 2022