Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Ambruknya Pesantren Kami

M. Baharuddin Romadhoni by M. Baharuddin Romadhoni
08/10/2025
in Cecurhatan
Ambruknya Pesantren Kami

Unsplash

Jika empati hanya bertahan seumur trending, maka yang mati bukan cuma santri, tapi nurani kita bersama. Dan mungkin, di negeri yang gemar mengulang duka ini, amnesia adalah bencana paling abadi.

Bangunan itu ambruk tiba-tiba, menelan nyawa para santri yang tengah menuntut ilmu. Pondok Al Khoziny, Sidoarjo, menjadi tajuk utama pemberitaan selama beberapa hari—bukan karena prestasinya, melainkan karena tragedinya. Namun seperti kebanyakan tragedi di negeri ini, perhatian publik cepat sekali berpindah arah. Dalam beberapa jam, tragedi berubah menjadi konten; empati berubah menjadi lalu lintas digital. Ribuan tangan menekan tombol share, like, dan comment, tapi hanya sedikit yang benar-benar berhenti sejenak untuk bertanya: mengapa bangunan itu bisa runtuh? siapa yang seharusnya bertanggung jawab? dan bagaimana nasib para korban setelah layar-layar ponsel kita kembali redup?

Reaksi publik, sayangnya, lebih banyak diarahkan pada pembelaan simbolik ketimbang evaluasi struktural. Muncul suara-suara yang menenangkan, tapi sekaligus meninabobokan: “rok’an sudah tradisi,” “ini ujian iman.”, “Ini takdir Allah” Narasi religius semacam ini kerap menjadi pagar moral yang sulit ditembus kritik. Setiap upaya bertanya tentang keselamatan santri dan kelayakan bangunan dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap lembaga.

Fenomena ini memperlihatkan gejala yang lebih dalam: bagaimana kesalehan bisa disalahgunakan menjadi tameng untuk menutupi kelalaian. Dalam banyak kasus, kekuasaan bekerja bukan dengan menutup informasi, melainkan dengan membanjirinya—mengalihkan perhatian masyarakat dari substansi ke hal-hal yang sentimental dan emosional. Tragedi Pondok Al Khoziny menjadi contoh nyata bagaimana tanggung jawab publik digeser menjadi perdebatan moral. Kita tak kekurangan bukti, tapi kelebihan pengalihan.

Namun yang lebih menyedihkan bukan hanya kelalaian yang menyebabkan bangunan itu runtuh, melainkan cara kita memperlakukan tragedi setelahnya. Dunia maya berubah menjadi gelanggang tanpa batas: tempat semua orang merasa berhak bersuara, menilai, menuduh, dan menafsirkan. Di tengah riuh itu, empati menjadi barang langka. Orang-orang lebih sibuk menjadi hakim daripada manusia.

Di tengah derasnya arus komentar, netizen dan pesantren sama-sama bereaksi secara instingtif. Netizen berbondong-bondong melakukan “roasting”—mengolok, memelintir, dan menertawakan tragedi seolah-olah ruang digital adalah tempat paling sah untuk bersikap suci sekaligus sinis. Sementara itu, dari sisi lain, muncul pula barisan orang yang merasa pesantren sedang diserang. Mereka tidak semuanya bagian dari lembaga itu, tapi punya kedekatan emosional dengan simbol religius yang melekat pada kata “pesantren.” Mereka bereaksi cepat, membela dengan reflek, seakan setiap kritik adalah ancaman terhadap iman.

Maka terjadilah dua gelombang reaksi yang sama-sama reaktif: satu menyerang tanpa empati, yang lain menolak kritik tanpa refleksi. Yang satu menganggap tragedi sebagai bahan lelucon, yang lain menutupi luka dengan kesalehan simbolik. Keduanya sama-sama kehilangan nalar, sama-sama amnesia terhadap inti persoalan: nyawa manusia yang melayang dan sistem yang gagal melindungi. Dalam kebisingan itu, para korban seperti lenyap—tidak lagi dipandang sebagai manusia dengan nama, mimpi, dan kisah, melainkan sekadar angka yang memenuhi pemberitaan sesaat. Tapi apalah arti semua itu jika nyawa manusia hanya dipandang sebagai angka di statistik atau bahan konten yang mengundang simpati sementara. Apalah nyawa bagimu sekadar angka, yang mudah diunggah pagi ini lalu dilupakan sore nanti.

Padahal, pertanyaan yang lebih mendasar justru muncul: mengapa baru kali ini tragedi pondok ambruk menjadi viral? Sebab sebelumnya, sudah berkali-kali muncul kasus di lingkungan pesantren—ada kekerasan seksual yang disembunyikan di balik dalih menjaga nama baik, ada perundungan yang dibungkus sebagai pendidikan kedisiplinan, ada bangunan ambruk dan santri tewas tanpa pernah benar-benar diusut. Tapi semuanya lewat begitu saja, terbit pagi dilupakan sore. Tak ada sorotan panjang, tak ada gelombang empati, hanya berita pendek yang segera tenggelam di arus informasi berikutnya.

Mengapa kali ini berbeda? Karena ada video, ada rekaman CCTV, ada visual dramatis yang bisa dikonsumsi. Media arus utama, yang kini bekerja di bawah tekanan algoritma dan ritme klik, tahu benar apa yang bisa memancing perhatian publik dan apa yang tidak. Tragedi ini menjadi “berita besar” bukan karena skalanya paling parah, melainkan karena tampilannya paling klikabel. Dalam logika media digital, derita yang terekam kamera akan hidup lebih lama daripada yang hanya tercatat di laporan polisi. Penderitaan yang punya visual bisa dijual berulang kali; yang tak sempat terekam, mati dalam senyap.

Inilah paradoks media hari ini: empati publik seringkali ditentukan oleh seberapa menarik visual penderitaan. Korban yang punya wajah, video, atau narasi emosional lebih mudah “dijual” daripada yang hanya disebut sebagai angka. Yang terdokumentasi hidup lebih lama di kepala kita, sedangkan yang tak terekam kamera lenyap di arsip berita daerah. Dengan kata lain, tragedi yang viral bukan selalu yang paling menyentuh, tapi yang paling bisa dijadikan tontonan.

Maka yang viral adalah emosi, bukan empati; yang ramai adalah kemarahan, bukan refleksi. Kita hidup dalam zaman di mana rasa duka pun diukur dengan seberapa sering ia muncul di timeline. Ketika tragedi terjadi tanpa video, ia seolah tak pernah ada. Ketika korban tak punya gawai untuk bersuara, ia tak sempat diingat. Inilah seleksi alam media digital—seleksi yang tidak adil, tapi diterima begitu saja.

Setelah pondok ambruk, kita pun amnesia—siapa yang masih berbaring, siapa yang tak kembali. Kita bahkan lupa menyebut nama-nama mereka dengan benar. Lupa wajah, lupa cerita, lupa bahwa di balik setiap korban ada keluarga yang masih menunggu kabar di rumah. Kita menyusun narasi untuk membenarkan keyakinan masing-masing, tapi jarang yang datang menanyakan kabar luka, kabar trauma, kabar mereka yang hidup tapi kehilangan separuh dirinya.

Padahal, tragedi ini menyentuh persoalan yang sangat konkret: keamanan bangunan, standar keselamatan, dan tanggung jawab lembaga pendidikan terhadap muridnya. Ketika pesantren tumbuh pesat di berbagai daerah, banyak di antaranya berdiri tanpa pengawasan teknis memadai. Di banyak tempat, pembangunan dilakukan dengan gotong royong, penuh semangat keikhlasan, tapi minim perencanaan profesional. Semangat yang mulia itu kadang menutupi fakta bahwa keselamatan manusia tidak bisa diserahkan pada doa semata.

Mereka yang tewas mungkin tak pernah membayangkan bahwa ajal akan datang di tengah aktivitas yang mereka anggap sebagai ibadah. Mereka membantu membangun pondok dengan keyakinan tulus bahwa setiap adukan semen, setiap batu yang disusun, adalah amal jariyah — pahala yang akan terus mengalir meski kelak mereka tiada. Namun takdir berbicara lain: mereka pulang dalam diam, tubuhnya digotong dengan luka, digunting dari tumpukan tembok yang runtuh menindih. Nama mereka tinggal disebut dalam doa-doa singkat selepas azan, seolah cukup untuk menenangkan hati yang remuk — padahal di baliknya tersimpan satu kenyataan pahit: ada kelalaian yang mengintai, tapi enggan diakui.

Seandainya tidak ada kelalaian, mungkin segalanya akan berbeda. Mungkin para korban itu kini masih duduk bersila di asrama, membuka kitab kuning di bawah cahaya redup, membaca ayat-ayat dengan suara lirih yang menenangkan malam. Mungkin mereka masih bisa tertawa bersama teman-teman, masih sempat menulis surat untuk orang tua, masih bisa memimpikan masa depan yang sederhana — menjadi guru ngaji, mendirikan TPQ di kampung halaman, atau sekadar membantu orang tua di sawah dengan bekal ilmu agama yang mereka bawa pulang.

Seandainya tidak ada kelalaian, mungkin pondok itu telah berdiri tegak, kokoh, dan aman. Tidak ada jerit minta tolong di tengah reruntuhan, tidak ada orang tua yang berlari sambil menangis, mencari anaknya di antara debu dan batu. Seandainya tidak ada kelalaian, mungkin berita hari itu hanya akan berisi kebanggaan, bukan duka; tentang pondok yang berhasil berdiri megah, bukan tentang tubuh-tubuh muda yang dipulangkan dengan kain kafan.

Namun kenyataannya lain. Pondok itu roboh bukan karena takdir semata, melainkan karena abai yang dibiarkan. Keselamatan diabaikan, tanggung jawab ditunda, dan nyawa-nyawa yang mestinya dijaga justru dijadikan korban. Kini, yang tersisa hanyalah doa yang terasa hambar, ucapan belasungkawa yang berulang tanpa makna, dan dinding-dinding retak yang menyimpan ingatan akan sebuah kesalahan yang tak ingin disalahkan.

Seandainya tidak ada kelalaian, mereka mungkin masih hidup — dan pesantren itu takkan berubah menjadi monumen bisu tentang betapa mudahnya nyawa dianggap sepele, atas nama ikhlas dan takdir.

Mereka tidak sedang membangun untuk mati, tapi membangun dengan mimpi akan hidup yang lebih berilmu. Maka tragedi ini bukan hanya tentang bangunan yang roboh, melainkan tentang impian yang ikut tertimbun di bawahnya.

Saya teringat masa tiga tahun belajar di pesantren. Rok’an—atau kerja bakti santri—dulu diajarkan sebagai bagian dari pendidikan tanggung jawab dan kebersamaan. Kami menyapu halaman, mengepel masjid, mengumpulkan sampah untuk dijual atau didaur ulang, semua dalam pengawasan dan proporsi yang wajar. Namun saya tahu, tradisi itu bisa bergeser arah ketika pendampingan hilang dan kerja dianggap kewajiban mutlak tanpa memperhitungkan keselamatan. Santri bisa saja diminta membantu pembangunan gedung, tapi siapa yang memastikan bahwa mereka memahami risiko kerja fisik? Siapa yang memastikan bahwa tugas itu dilakukan atas kesadaran, bukan karena tekanan tradisi?

Dalam konteks ini, tragedi Al Khoziny bukan hanya kecelakaan, tapi juga cermin: tentang bagaimana sistem pendidikan berbasis keagamaan di Indonesia kerap berjalan di antara dua kutub—ideal spiritual dan kelalaian praktis. Ia memperlihatkan paradoks bahwa lembaga yang mengajarkan moral justru bisa luput dalam tanggung jawab sosial.

Sayangnya, sebagian masyarakat lebih nyaman memelihara citra ketimbang menyentuh akar masalah. Kita mudah tersentuh oleh simbol kesalehan, tapi cepat menutup mata pada realitas yang tak sesuai dengan citra itu. Akibatnya, korban kehilangan suara, tragedi kehilangan makna, dan masyarakat kehilangan pelajaran. Kita seperti sedang hidup di negeri yang gemar berduka, tapi enggan belajar dari duka itu sendiri.

Tragedi Pondok Al Khoziny mengingatkan kita bahwa ruang pesantren—seperti halnya ruang sosial lainnya—tidak kebal dari kesalahan manusia. Ia membutuhkan mekanisme evaluasi, bukan glorifikasi. Butuh pengawasan, bukan penyangkalan. Butuh transparansi, bukan sekadar doa penghapus tanggung jawab.

Barangkali beginilah cara paling halus kekuasaan bersembunyi di tengah masyarakat religius: berkamuflase di balik kesalehan, membungkus kelalaian dengan kata “takdir.” Dan masyarakat yang sudah terlalu lama dicekoki narasi semacam itu, cenderung merasa bersalah ketika mencoba bertanya. Kita hidup dalam kultur yang menunda evaluasi dengan alasan kesopanan spiritual. Padahal, sopan terhadap Tuhan tidak berarti diam terhadap kekeliruan manusia.

Kita lupa bahwa iman dan evaluasi tidak pernah bertentangan. Doa dan akal justru seharusnya berjalan bersama. Karena ketika kita berhenti bertanya, ketika kita berhenti menuntut keselamatan atas nama kesopanan religius, maka doa berubah menjadi pembenaran. Dan pembenaran tanpa tanggung jawab adalah bentuk kesombongan yang paling tenang.

Jika tragedi semacam ini terus berlalu tanpa pembelajaran, mungkin kita hanya sedang menunggu giliran. Menunggu bangunan lain runtuh, menunggu berita serupa muncul di linimasa, menunggu momentum untuk menulis “Innalillahi” lagi—tanpa benar-benar tahu apa yang salah. Dan pada saat itu tiba, kita akan kembali memainkan peran yang sama: sebagian meratap, sebagian menyalahkan, sebagian membela, tapi tak seorang pun sungguh-sungguh menata ulang fondasi yang retak.

Sebab tragedi tidak pernah hanya soal reruntuhan fisik, melainkan juga reruntuhan ingatan. Ia menguji seberapa tulus kita memaknai kemanusiaan—apakah sekadar diucap dalam status, atau benar-benar dijaga dalam tindakan. Kita boleh hafal ayat dan hadis tentang sabar, tapi lupa bagaimana bentuk tanggung jawab dalam sabar itu sendiri. Kita boleh menangis di depan layar, tapi jika tidak ada perubahan di balik air mata, maka tangisan itu hanya gema dari ruang kosong.

Setelah pondok ambruk, kita pun amnesia. Kita melupakan siapa yang masih berbaring, siapa yang tak kembali, siapa yang kehilangan masa depan. Di atas tanah reruntuhan itu, mungkin akan dibangun kembali pondok baru, lebih kokoh, lebih tinggi, lebih megah. Tapi siapa yang akan membangun ingatan agar kita tak jatuh di lubang yang sama? Siapa yang berani memastikan bahwa kesalehan tidak lagi dijadikan selimut bagi kelalaian?

Jika empati hanya bertahan seumur trending, maka yang mati bukan cuma santri, tapi nurani kita bersama. Dan mungkin, di negeri yang gemar mengulang duka ini, amnesia adalah bencana paling abadi.

Tags: Ambruknya PesantrenMakin Tahu IndonesiaPesantren Al Khoziny Sidoarjo
Previous Post

Kemakmuran dan Bayangan Perang

Next Post

Roso di Tengah Dunia yang Kehilangan Rasa

BERITA MENARIK LAINNYA

Alasan Kenapa Harus Menyelami Dunia Tulis Menulis
Cecurhatan

Alasan Kenapa Harus Menyelami Dunia Tulis Menulis

17/11/2025
Bagaimana Seorang Pahlawan Muncul?
Cecurhatan

Bagaimana Seorang Pahlawan Muncul?

15/11/2025
Mengenal JustCOP, Koalisi Keadilan untuk Bumi Lebih Baik
Cecurhatan

Mengenal JustCOP, Koalisi Keadilan untuk Bumi Lebih Baik

14/11/2025

Anyar Nabs

Alasan Kenapa Harus Menyelami Dunia Tulis Menulis

Alasan Kenapa Harus Menyelami Dunia Tulis Menulis

17/11/2025
Kuburan Terapung: Pemutakhiran Ingatan Publik atas Kekerasan 1965 di Bojonegoro 

Kuburan Terapung: Pemutakhiran Ingatan Publik atas Kekerasan 1965 di Bojonegoro 

16/11/2025
PKB Bojonegoro Gelar Tasyakuran atas Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Di Gedung DPRD 

PKB Bojonegoro Gelar Tasyakuran atas Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Di Gedung DPRD 

15/11/2025
Bagaimana Seorang Pahlawan Muncul?

Bagaimana Seorang Pahlawan Muncul?

15/11/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • JURNAKOLOGI
  • SUSTAINERGI
  • JURNABA PENERBIT

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: