Jika Barat lahir dari akal yang menguasai, maka Nusantara akan lahir kembali dari roso yang menyembuhkan
Di sebuah ruang kuliah tua, di bawah cahaya neon yang berpendar temaram, Prof. Jiang Quexin berbicara dengan nada lembut yang menembus dinding kesadaran. Kalimat-kalimatnya tidak meluap-luap seperti pidato para orator, tapi mengalir pelan, jernih, dan menampar dengan tenang.
“Apakah kita masih memiliki akar,” katanya, “atau kita sudah menjadi bayang-bayang dari pikiran orang lain?”
Mahasiswa-mahasiswa di depannya diam. Beberapa mencatat, sebagian lainnya termenung. Di papan tulis, kata peradaban tertera besar, di bawahnya tergurat garis panjang, seolah menandai jeda sejarah yang belum tuntas.
Prof. Jiang berbicara tentang dunia yang berubah cepat, tapi kehilangan arah moralnya. Tentang Barat yang membangun kekuatan dari literasi, dari disiplin teks dan logika Aristoteles, dari keyakinan bahwa manusia harus dituntun oleh kitab dan aturan agar tidak jatuh dalam dosa.
Tapi di balik kemajuan itu, katanya, ada bayangan panjang: obsesi untuk menguasai, untuk menertibkan dunia atas nama “kebaikan”. Gereja pernah melakukannya, lalu universitas menggantikannya—institusi anti dogma yang perlahan menjadi dogma baru.
“Sejak itu,” ujarnya lirih, “manusia modern belajar untuk tunduk pada teks, bukan pada makna.”
Kata-kata itu mengendap lama di kepalaku. Aku teringat ucapan kakek di kampung: “Kita ini bangsa yang dulu membaca alam, bukan buku.” Dulu, katanya, petani menakar musim dari arah angin dan warna langit, nelayan membaca gelombang, bukan surat kabar. Tapi kini, kita lebih percaya pada algoritma cuaca ketimbang intuisi bumi.
Prof. Jiang seolah sedang berbicara kepada bangsa ini—bangsa yang terlalu lama menatap Barat dengan rasa kagum dan rendah diri. Sejak awal abad ke-20, ketika Budi Utomo berdiri dan Sumpah Pemuda diucapkan dengan lantang, kesadaran berbangsa kita dibangun dari tafsir modernitas yang datang dari Eropa: sekolah, nalar, kemajuan.
Kaum muda waktu itu memandang pendidikan Barat sebagai kunci kemerdekaan, tapi di saat yang sama, mereka tanpa sadar menelan logika kolonial yang terselip di dalamnya: bahwa untuk menjadi maju, kita harus menjadi seperti mereka.
Namun tidak semua menyerah pada arus itu. Di Yogyakarta, Ki Hadjar Dewantara menulis dengan api dalam dada. Ia paham bahwa pendidikan tidak boleh memisahkan manusia dari kebudayaannya.
“Pendidikan,” katanya, “harus menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka menjadi manusia merdeka.” Dalam kalimat sederhana itu tersembunyi sebuah revolusi: tuntunan, bukan penjinakan. Di situlah Ki Hadjar mencoba membalik arah modernitas Barat—ia tidak menolak ilmu, tapi menolak kehilangan jiwa.
Di ruang lain sejarah, Nurcholish Madjid berdiri di hadapan generasi pasca-reformasi dengan semangat yang sama tapi bahasa yang berbeda. Ia berbicara tentang Islam yang terbuka, tentang kebebasan berpikir sebagai inti iman. “Sekularisasi bukanlah sekularisme,” katanya. Dalam kalimat itu, ia sedang mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak berarti menolak spiritualitas, melainkan membersihkannya dari kerak kekuasaan.
Keduanya—Ki Hadjar dan Cak Nur—datang dari zaman yang berbeda, tapi sama-sama mengajak bangsa ini untuk menemukan “diri”-nya di tengah kebisingan dunia. Mereka tidak mengajak kita menolak Barat, tapi mengajak berdialog, untuk berdiri sejajar, bukan berlutut.
Namun dialog itu tak pernah sungguh terjadi. Yang tumbuh justru mental imitasi. Kita menyalin kurikulum dari luar, memuja gelar akademik asing, dan mengira semua yang tertulis dalam bahasa Inggris adalah kebenaran universal. Padahal, kata Prof. Jiang, “modus utama kolonialisme adalah mengubah cara berpikir agar kita lupa bahwa ada cara lain untuk menjadi manusia.”
Barat, katanya lagi, membangun dunia dengan akal yang terpisah dari rasa. Sementara Nusantara hidup dari kesatuan keduanya—akal yang berakar pada roso.
Dalam bahasa Jawa, roso bukan sekadar emosi, tapi kesadaran yang lebih dalam, yang menghubungkan manusia dengan alam dan sesamanya. Roso adalah cara memahami tanpa harus menguasai, cara hidup yang berdasar pada keseimbangan, bukan dominasi.
Memandang wajah Prof. Jiang yang kini beradu dengan bayangan senja di jendela. Ia tampak seperti pertapa dari masa depan yang menoleh ke masa lalu. “Bangsa kalian,” katanya, “pernah punya pandangan hidup yang begitu indah: bahwa manusia terbaik bukan yang paling taat, tapi yang paling berguna bagi semesta. Itulah urip iku urup—hidup yang memberi cahaya.”
Namun dalam dunia modern yang dibentuk oleh kompetisi dan efisiensi, cahaya itu meredup. Kita mengukur segala sesuatu dengan angka: nilai, profit, produktivitas. Kita kehilangan kebijaksanaan yang tak terukur: welas asih, kesabaran, keheningan.
Kita membangun gedung-gedung tinggi tapi tak punya ruang untuk mendengar suara tanah.
Di masa Soekarno, semangat itu pernah menyala. Ia bermimpi tentang nation and character building—membangun manusia seutuhnya, bukan sekadar ekonomi.
Tapi pembangunan bergeser arah: dari nation menjadi project, dari character menjadi capital. Setelah reformasi, demokrasi menjelma menjadi pasar, di mana gagasan dijual seperti komoditas, dan intelektual berubah menjadi influencer.
“Barat menguasai dunia lewat universitas dan pasarnya,” ujar Prof. Jiang. “Tapi kalian bisa membangun dunia baru dari kebijaksanaan lokal kalian. Dari cara kalian menghargai waktu yang tidak tergesa, dari kesadaran bahwa alam bukan objek, tapi sahabat.”
Aku terdiam lama. Mungkin benar, kemajuan yang kita kejar selama ini bukanlah milik kita. Kita hanya menjadi pengikut dalam perlombaan yang tak pernah kita rancang.
Ketika kuliah usai, langit telah gelap. Di luar gedung, pohon flamboyan menjatuhkan bunga merahnya ke tanah
Aku teringat Ki Hadjar, teringat Cak Nur, teringat kata roso—dan untuk pertama kalinya aku merasa, mungkin kebangkitan nasional berikutnya bukan tentang teknologi atau ekonomi, tapi tentang kesadaran. Tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri, tanpa menolak dunia.
Di ujung malam, suara Prof. Jiang masih bergema di kepalaku: “Jika Barat lahir dari akal yang menguasai, maka Nusantara akan lahir kembali dari roso yang menyembuhkan.”
Dan di antara gema itu, aku merasa, mungkin inilah saatnya kita belajar membaca diri—bukan sekadar dunia.[]








