Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro semakin tajir saja, seiring pendapatan dari sektor migas yang terus mengalir. Pundi-pundi keuangan daerah makin melejit tinggi.
Pada 2023 ini, nilai APBD Bojonegoro mencapai Rp7,4 triliun, menempatkan Bojonegoro di urutan ke-2 kabupaten dengan APBD tertinggi di Indonesia.
Ini sebagaimana penuturan peneliti Poverty Resource Center Initiative (PRCi), Aw Syaiful Huda, “Tahun ini, Bojonegoro menempati peringkat No. 2 kabupaten dengan APBD tertinggi di Indonesia,” ungkap Awe, panggilan akrabnya.
Adapun di urutan pertama, Kabupaten Bogor dengan APBD sebesar Rp9,14 triliun. Sementara di urutan ketiga, Kabupaten Tangerang sebesar Rp7,12 trilun. Lalu disusul Kabupaten Bekasi di urutan keempat dengan APBD sebesar Rp6,6 triliun.
Mengacu tahun sebelumnya, berdasarkan data DJPK Kemenkeu (2022), APBD (Murni) Kabupaten Bojonegoro sebesar Rp5,9 triliun. Dibandingkan APBD kabupaten se-Indonesia, Bojonegoro menempati peringkat tertinggi ke-4, setelah Kabupaten Bogor dengan nilai APBD sebesar Rp8,4 triliun; Kabupaten Bekasi sebesar Rp6,5 triliun; dan Kabupaten Tangerang sebesar Rp6 triliun.
Awe menilai, dengan nilai APBD yang cukup besar saat ini, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro (Pemkab) punya anggaran berlebih untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat Bojonegoro.
“Pemkab Bojonegoro punya anggaran belanja berlebih, sehingga bisa membuat berbagai inovasi program pembangunan. Lihat saja, SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) tahun 2022 pun diperkirakan mencapai 2,6 triliun,” kata Awe.
Ia menambahkan, besarnya APBD Bojonegoro dalam beberapa tahun ini tidak terlepas dari geliat industri migas lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, yang sudah memasuki masa periode puncak produksi.
Sehingga dari pengelolaan sumber daya alam migas yang ada di daerah, Kabupaten Bojonegoro mendapatkan aliran dana bagi hasil (DBH) migas maupun pendapatan sektor migas lainnya.
“APBD Bojonegoro sangat bergantung dari pendapatan dana bagi hasil (DBH) migas. Misal tahun 2018, DBH migas yang diterima Bojonegoro sebesar Rp2,3 triliun, sekitar 68 persen total nilai APBD Bojonegoro saat itu,” ujar Awe.
Awe mengingatkan, pendapatan daerah dari sektor migas ini bersifat sementara, dikarenakan sumber daya alam migas merupakan sumber daya alam tak terbarukan (non-renewable) yang pasti akan habis jika diproduksi terus menerus.
Sebab itu, pendapatan dari sektor migas harus dikelola seefisien dan seefektif mungkin, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang paska produksi migas di Bojonegoro menurun dan habis.
“Sudah banyak contoh daerah yang tiba-tiba jadi kaya raya karena punya sumber daya alam migas yang melimpah, tapi kemudian jatuh miskin lagi setelah migasnya habis,” ujar dia.
Karena itu Awe berharap, pengelolaan APBD Bojonegoro saat ini harus diarahkan untuk prioritas percepatan pembangunan sektor-sektor ekonomi berkelanjutan, seperti sektor jasa, hilirisasi sektor pertanian, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga industri padat karya. Termasuk juga peningkatan sumber daya manusia serta percepatan pengentasan kemiskinan di daerah.
Menurutnya, perekonomian Bojonegoro selama masih bergantung pada sektor migas dan pertanian. Jika sektor migas memiliki karakteristik high tech (berteknologi tinggi) dan bukan padat karya, sehingga penyerapan tenaga kerja lokal sangat kecil. Sementara sektor pertanian meskipun memiliki karakteristik padat karya dan memiliki penyerapan tenaga kerja lokal tinggi, tetapi memiliki tingkat kesejahteraan rendah.
Sebagaimana laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jenis pekerjaan utama penduduk miskin Bojonegoro di tahun 2022, sekitar 41,37% bekerja di sektor pertanian; 20,02% bekerja sektor non-pertanian dan 38,61% tidak bekerja atau menganggur.
“APBD Bojonegoro musti diarahkan untuk percepatan pengentasan kemiskinan dan pengembangan diversifikasi ekonomi daerah,” pungkasnya.