Bagi pelajar dan anak kos di Bojonegoro, pasti tidak asing dengan nama bakso Pak Mus. Selain rasanya unik dan cocok dengan lidah pelajar, harga bakso Pak Mus sangat terjangkau.
Bakso bulat seperti bola ping pong kalo lewat membikin perut kosong. Masih ingat dengan lagu anak tersebut, Nabs? Bercerita tentang bakso sebagai sahabat pengenyang perut. Ketenaran bakso memang tiada tanding ya. Hee
Sejak dulu bakso selalu menjadi opsi makanan favorit. Bakso juga tak sendiri. Bakso memiliki pasangan bernama es blewah. Pasangan ini memang sudah tak bisa dipisahkan. Saling melengkapi satu sama lain. Rasa kenyang yang besanding dengan kesegaran. Humm
Di Bojonegoro, ada satu tempat bakso yang melegenda. Bakso Pak Mus namanya. Meski lokasinya terselubung. Namun, kehadiran bakso Pak Mus selalu ramai diburu para pelahap gumpalan daging itu.
Kali ini, tim Jurnaba.co coba mengulik perjalanan bakso Pak Mus. Namun sayang tim jurnaba tidak bertemu langsung dengan sosok Pak Mus yang melegenda itu. Tapi keberuntungan masih berpihak pada kami. Sebab, tim Jurnaba bisa bertatap muka dengan istri Pak Mus yang bernama Ibu Sofiah.
Sejak 1980-an Pak Mus bujang sudah menjajakan bakso racikannya. Pria kelahiran 1961 ini menjajakan bakso dengan berkeliling di sekitaran Bojonegoro. Dengan target pasar anak kosan dan anak sekolahan. Pak Mus jualan bakso keliling sejak masih bujang.
“Sekitar tahun 1982 hingga 1984-an, bapak sudah jualan keliling, waktu itu seporsi harganya Rp 200 sudah sama minumnya,” kata Sofiah kepada tim Jurnaba.
Memasuki 1996 Pak Mus yang bernama asli Mustofa itu sudah tidak berkeliling lagi. Karena usia dan rasa lelah yang tak terbendung. Bakso Pak Mus akhirnya menetap, tepatnya di daerah Makam Sedeng Bojonegoro. Meski menetap di kawasan yang mblusuk, tidak mengurangi jumlah pelanggan.
Pak Mus dan Bu Sofiah berasal dari Desa Wedi Kecamatan Kapas. Mereka mulai menetap dan membuka warung bakso di kawasan Makam Sedeng sejak 1996 silam.
“Mulai 1996 itu pindah di sini. Dengan harga Rp 2 ribu rupiah dapat semangkok bakso sama minumnya. Sudah capek jualan keliling soalnya, kan juga sudah tua,” kata perempuan kelahiran 1963 itu sambil melempar tawa.
Di tempat ini, jumlah pelanggan kian bertambah. Dari mulai pelanggan lama yang masih setia. Hingga datangnya pelanggan baru. Bahkan pelanggan dari luar Kecamatan Bojonegoro rela datang ke lokasi. Demi menikmati semangkok bakso Pak Mus.
Selain rasanya unik dan sesuai dengan lidah pelajar dan anak kosan, yang identik dari bakso Pak Mus, tentu saja, adalah harganya yang teramat sangat murah.
Sampai saat ini pun, harga bakso Pak Mus masih sangat murah. Hanya dengan Rp 6 ribu, kamu bisa melahap semangkok bakso beserta es blewah. Sungguh ekonomi kerakyatan yang sangat bijaksana kan, Nabs.
Hebatnya nih, Nabs. Pak Mus dan istri mengelola usahanya sendirian. Tanpa melibatkan karyawan. Tepat pukul 11 siang, bakso Pak Mus sudah mulai buka. Hingga menjelang isya, Pak Mus baru menutup warungnya.
Aktivitas yang padat tak membuat Pak Mus dan istri merasa lelah. Karena mereka saling kerja sama melengkapi satu sama lain. Dari subuh hingga menjelang isya, Pak Mus dan istri menjalankan aktivitas usahanya penuh dedikasi.
Mereka saling berbagi tugas. Mulai dari belanja bahan baku. Hingga diolah menjadi bahan matang. Melayani pelanggan yang ramai memburu baksonya. Belum lagi kalau ada pesananan partai besar. Hmm
“Habis subuh Pak Mus ke pasar belanja. Terus saya yang masak. Yang lama itu bikin gorengannya. Makanya jam 11 siang baru buka,” kata Sofiah.
Sehari, Pak Mus menghabiskan 10 kilogram gorengan dan 1 bak pentol. Tanpa adanya karyawan yang membantu. Mereka saling berbagi tugas. Suatu sinkronisasi yang tepat. Layaknya bakso dengan es blewah. Melengkapi satu sama lain. Mengenyangkan dan menyegarkan.
Apakah Bakso Pak Mus memiliki rencana pengembangan ke depannya, seperti memperluas menu atau lokasi usaha? Regards Telkom University