Mbah Sabil, Mbah Sambu, dan Mbah Jabbar adalah bani Kesultanan Pajang. Mayoritas ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, berpunjer pada ketiganya.
Mbah Sabil Padangan (Pangeran Hario Timur/Pangeran Dandangkesumo), Mbah Sambu Lasem (Pangeran Sumohadinegoro), dan Mbah Jabbar Jojogan (Pangeran Kusumoyudo), merupakan tiga ulama besar yang punya peran penting dalam persebaran agama islam pasca periode walisongo di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tulisan ini bagian dari Ekspedisi Jejak Leluhur Fiidarinnur yang kami lakukan demi menauladani sisi baik leluhur, khususnya dalam hal ubudiyah dan muamalah. Sehingga yang kami tahu tak hanya kisah karomah, tapi juga bagaimana menjaga sikap istiqomah.
Jika wilayah timur (Tuban) ada Mbah Jabbar dan wilayah barat (Rembang) ada Mbah Sambu, di wilayah tengah (Bojonegoro) ada Mbah Sabil yang mempertemukannya. Selain ayah mertua, Mbah Sabil juga paman dari Mbah Sambu dan Mbah Jabbar.
Manuskrip Padangan, Manuskrip Kedungpring Lamongan, dan Manuskrip Gresik menyatakan satu hal yang sama. Mbah Sabil Padangan adalah ayah mertua dari Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Jojogan.
Baik Mbah Sambu atau Mbah Jabbar, memang memiliki lebih dari satu istri. Hal ini jadi alasan banyaknya dzuriyah (keturunan) dari beliau berdua. Namun, ketiga manuskrip mengatakan, Mbah Sambu menikah dengan anak kedua Mbah Sabil. Sementara Mbah Jabbar menikah dengan anak ketiga Mbah Sabil.
Dalam Manuskrip Padangan diperjelas, Mbah Sabil memiliki 4 orang anak. Pertama bernama Kiai Sya’ban yang menurunkan ulama-ulama di Padangan Bojonegoro. Kedua bernama Nyai Sambu (istri Mbah Sambu) yang menurunkan sederet ulama Lasem Rembang.
Anak ketiga Mbah Sabil bernama Moyokerti (istri Mbah Jabbar), kelak menurunkan banyak ulama di Tuban, Gresik, dan Lamongan. Sementara anak keempat bernama Bagus Abdurrokhim yang diambil mantu keluarga Ampel Denta.
Pajang Connection
Selain ayah mertua, Mbah Sabil juga paman dari Mbah Sambu dan Mbah Jabbar. Sebab, ketiganya adalah anak turun Sultan Hadiwijaya. Hanya beda umur, tapi hidup sezaman.
Manuskrip Kedungpring Lamongan dan Manuskrip Bungah Gresik menyebut, Mbah Sabil adalah putra dari Abdul Halim (Pangeran Benawa II). Mbah Jabbar adalah Putra dari Abdullah Silarung (Pangeran Slarung). Sementara di catatan Lasem, Mbah Sambu tertulis sebagai putra Pangeran Sumohadiningrat.
Setelah dicocokan dengan data-data di Babad Kesultanan Banten dan data Mayor Keraton Yogya, ternyata nama-nama yang disebut manuskrip dan catatan di atas memang sesuai sebagai keluarga besar Bani Kesultanan Pajang.
Abdurrohman Pajang (Sultan Hadiwijaya) memiliki anak bernama Abdullah (Pangeran Benawa I). Abdullah memiliki anak bernama Abdul Halim (Pangeran Benawa II). Dan Abdul Halim memiliki sejumlah anak. Anak-anak Abdul Halim (Benawa II) di antaranya Pangeran Kaputran (Pangeran Sumohadiningrat / Pangeran Silarung) dan Pangeran Hario Timur (Mbah Sabil).
Data mayor Keraton Yogya yang disesuaikan dengan data Kesultanan Banten dan data Kesultanan Cirebon menyebut nama Pangeran Kaputran atau Pangeran Sumohadiningrat atau Pangeran Silarung atau Pangeran Alip adalah satu orang yang sama.
Artinya, Mbah Sabil, Mbah Sambu, dan Mbah Jabbar masih berhubungan saudara. Nasab ketiganya bertemu pada Abdul Halim (Benawa II). Mbah Sabil bin Abdul Halim; Mbah Sambu bin Pangeran Kaputran bin Abdul Halim; Mbah Jabbar bin Pangeran Kaputran / Pangeran Slarung bin Abdul Halim.
Nasab Mbah Sabil
Pangeran Sabil (w.1665 M) bin Abdul Halim bin Abdullah bin Sultan Hadiwijaya (Abdurrohman Pajang) bin Kebo Kenongo (Abdul Aziz) bin Pangeran Andayaningrat (Abdul Fattah) bin Sayyid Ishak bin Sayyid Muhammad Kebungsuwan bin Maulana Jamaluddin Akbar.
Mbah Sabil dan Kesultanan Pajang
Periode Kesultanan Pajang adalah (1568-1587). Pasca runtuhnya Kesultanan Pajang, dzuriyah (anak cucu) Sultan Hadiwijaya pun kocar-kacir, hijrah untuk menyelamatkan diri. Termasuk Mbah Sabil yang kelak sampai di Padangan.
Mbah Sabil sampai di Kuncen Padangan sekitar 1600 masehi, di usia muda. Awalnya, ia dikenal dengan nama Menak. Nama Menak sudah tersemat padanya, bahkan sebelum mendirikan pondok pesantren Menak Anggrung.
Kata “Menak”, dalam bahasa lama, memiliki arti priyayi/bangsawan. Mbah Sabil sudah terdeteksi sebagai putra Sultan Pajang, sejak pertama sampai di Kuncen Padangan.
Hal itu pula yang membuat Katib Hasyim, sosok yang ditemui Mbah Sabil saat itu, meminta Mbah Sabil agar tetap tinggal di Kuncen Padangan, untuk berdakwah menyebar agama islam.
Kelak, sekitar tahun 1610, beliau berdua mendirikan pondokan belajar di tepi sungai Bengawan Solo. Kebetulan karena posisi pondok agak tinggi menjulang (magrung-magrung), dan untuk kesana harus “menek” atau naik, tempat itu dikenal dengan nama Pondok Menak Anggrung.
Menjaga Bani Pajang
Mbah Sabil yang bersaudara dengan Mbah Sambu dan Mbah Jabbar, kembali memperkuat ikat persaudaraan itu dengan menjalin hubungan kekerabatan. Tujuannya, untuk menjaga kekeluargaan Pajang, pasca runtuh diganti Kerajaan Mataram.
Mbah Sambu dan Mbah Jabbar masih terhitung ponakan Mbah Sabil. Dalam istilah lain, Mbah Sambu dan Mbah Jabbar menikahi anak dari paman-nya.
Barokah dari pernikahan putri-putri Mbah Sabil dengan dua keponakannya itu, Bani Pajang terus hidup melalui para ulama dan kiai di tanah Jawa. Ini terbukti. Mayoritas ulama Jawa Timur dan Jawa Tengah di abad ke-19 dan 20, berpunjer pada Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Jojogan.