Keturunan asli suku Atoni Metu, masyarakat Boti, turun temurun hidup mandiri. Hidup berdampingan dengan alam adalah kunci. Sumber pangan mereka dapatkan dari alam. Kekayaan alam mereka olah dengan cara berternak dan berladang.
Melansir video dokumenter Watchdoc (10/6/2018), seorang warga Boti bernama Pah Sai hidup dengan berternak dan berladang. Dia mengaku tidak memiliki lahan. Seluruh tanah Boti berada dalam kekuasaan raja. Namun, masyarakat memiliki andil untuk mengolahnya.
Sekali panen, jagung yang dihasilkan Pah Sai mencapai 30 kuda. Kuda adalah ukuran jumlah beban yang bisa diangkut seekor kuda. Dia mengaku panen tersebut cukup untuk konsumsi satu orang dalam setahun.
“Kita panen (jagung) ini ada 30 kuda. Kalau kita sendiri makan itu, sampai tahun depan juga masih ada,” kata pria berusia 30 tahun tersebut. “Tidak dijual. Kerja untuk dimakan sendiri,” lanjutnya.
Panen jagung tersebut tidak dihabiskan seketika. Setiap panen, harus ada jagung yang disisakan. Sisa jagung tersebut akan menjadi bibit untuk ditanam kembali. Begitu, dan berulang-ulang setiap waktunya.
“Jadi kalau kita habis panen, sisa jagung lama kita ambil bibitnya. Dari situ baru kita tanam kembali. Tidak beli bibit dari luar,” ucap Pah Sai.
Pah Sai mengaku bahwa bibit jagung tersebut asli dari Boti. Bukan jenis hibrida dari pemerintah. Masyarakat Boti tidak mengambil bantuan bibit dari pemerintah. Mereka menanam jenis jagung asli dari nenek moyang.
“Itu dari pemerintah punya, jadi kita tidak mengambil. Kita tidak mengambil, kita tanam jagung sendiri.” Kata petani tersebut. “Kita tidak mengambil karena dari turun-temurun kita tidak terima (bantuan) dari luar. Jadi kita ambil punya sendiri. Kita olah sendiri,” lanjutnya.
Selama ini, masyarakat Boti mengolah pertanian sendiri. Tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah. Masyarakat adat tersebut percaya terhadap sumber daya alam wilayahnya. Mereka yakin dan mampu untuk bisa mengolahnya sendiri.
Masyarakat Boti memiliki siklus rotasi ekonomi yang, bisa dibilang radikal. Radikal dalam arti secara mendalam hingga ke akarnya, yakni akar budaya setempat. Rotasi ekonomi ini membuat masyarakat mampu mencukupi kebutuhan secara mandiri. Tidak bergantung pada bantuan pemerintah.
“Kalau kita terima sumbangan dari pemerintah, kita akan malas bekerja. Kami hanya menunggu tanggal dan hari, kapan bantuannya akan datang. Kalau kami tidak mengharap bantuan, kami akan bekerja untuk kehidupan sehari-hari,” kata Raja Boti, Namah Benu.
Dengan begitu, masyarakat Boti terbilang mandiri. Kehidupan adat membawa berkah bagi masyrakatnya. Itu karena mereka yakin dan percaya diri, bahwa apa yang mereka miliki adalah kekayaan dan kemegahan.
Semangat yang dimiliki masyarkat Boti harus tertular pada masyarakat daerah lain. Menjadi mandiri dan berdaya, itulah yang harus ditiru dan diterapkan. Percaya diri terhadap apa yang dimiliki. Peran pemerintah cukup diperlukan dan baik. Namun, tidak boleh diandalkan seperti sosok superhero.