Melihat massifnya kampanye tray return point di Singapura dan dampaknya bagi muslim Singapura.
Di Singapura, setiap tempat yang menyediakan makanan dan minuman seperti kantin ataupun food court, terdapat tray return point atau bisa kita sebut dengan tempat pengembalian baki, Nabs.
Bagi yang belum tahu, tray return point merupakan tempat pengembalian alat makan yang telah selesai digunakan berbentuk lemari besar dengan beberapa jumlah bilik di dalamnya.
Setiap biliknya juga memiliki fungsi untuk membedakan jenis makanan yang halal dan non-halal.
Keberadaan tray return point ini merupakan bentuk usaha dalam menjaga kebersihan meja makan. Pengunjung menyantap hidangan makanan dalam keadaan posisi piring dan gelas tetap beralaskan baki, tidak di atas meja secara langsung.
Sehingga memperkecil kemungkinan makanan yang tersisa tertinggal di atas meja.
Ketika selesai menikmati makanan dan minuman, pengunjung mengembalikan baki yang berisikan piring dan gelas ke tray return point.
Tapi sebelum itu, pengunjung mesti mengetahui jenis makanan yang ia makan termasuk halal atau non-halal. Agar pengunjung mengembalikan baki sesuai bilik yang disediakan.
National Environment Agency (NEA), lembaga pemerintah Singapura lah yang mengkampanyekan penggunaan tray return point. Mereka massif mengkampanyekan program tersebut sejak November 2012.
Selain sebagai usaha menjaga kebersihan tempat makan, program ini merupakan bentuk kepedulian terhadap petugas kebersihan dan sesama pelanggan.
Di tengah pandemi Covid-19 yang saat ini sedang melanda seluruh negara di dunia, NEA semakin lantang mengkampanyekan penggunaan tray return point.
Sebab dengan menerapkan kebiasaan bersih di tempat makan umum, jadi cara hidup sehat dalam usaha mengurangi resiko penyebaran Covid-19.
Selain tinjauan dari sudut pandang kesehatan, penggunaan tray return point juga sebagai bentuk menghargai keberagaman latar belakang penduduk Singapura.
Singapura memiliki jumlah penduduk mencapai 5,8 juta jiwa dengan tiga ras utama penduduk; berlatar etnis Tionghoa, Melayu, dan India.
Agama terbesar yang dianut masyarakatnya ialah Buddha, kemudian Kristen dan diikuti Islam.
Menurut data dimiliki Worldometer, penduduk muslim di Singapura merupakan minoritas dengan jumlah 14%. Berbeda jauh dengan pemeluk agama Buddha yang ada di angka 32% dan Kristen 18%.
Sehingga, bisa ditarik asumsi bahwa mayoritas jenis makanan yang ada di Singapura adalah non-halal.
Nah, penggunaan tray return point ini bermanfaat bagi penduduk muslim di Singapura agar tidak khawatir dengan kesucian alat makan yang digunakan.
Karena di dalam agama Islam, seorang muslim tidak hanya diajarkan untuk memastikan makanan yang ia konsumsi berstatus halal, tetapi alat makan dan alat masaknya pun mesti jelas kesuciannya.
Penulis mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga.