Syahdan, calon Presiden Prabowo Subianto gelar pertemuan tertutup bersama sejumlah wartawan dari media asing di kediamannya, di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (6/5/2019) lalu.
Uniknya, wartawan media nasional atau lokal dilarang ikut dalam pertemuan tersebut. Fakta itu memantik sebuah tanya besar, benarkah kepercayaan publik pada media nasional dan lokal sudah luntur? Hmm ~
Urusan politik di Indonesia memang unik dan aneh dan tentu, membosankan. Terbukti, pasca pemilihan presiden, urusan nggak selesai. Tapi polarisasi justru meningkat. Tak hanya di ranah politik. Urusan kian melebar sampai ranah media hingga keyakinan.
Pandangan terhadap media sudah berubah. Media tidak berdiri sebagai media itu sendiri. Melainkan berdiri sebagai medianya siapa dan media pendukung siapa. Ini tentu menyedihkan. Tapi memang, begitulah adanya.
Media, seperti yang kita tahu, menjadi poros penting terkait wasilah penyampai pesan kepada masyarakat. Nah, perkara terjadi ketika media tersebut memberitakan sebuah konten politik — ada semacam ihwal aneh yang membuat media kian tidak independen.
Jika media itu membuat konten yang memenangkan kubu A misalnya, ada yang menganggap media tersebut milik kubu A. Tapi, jika media itu membuat konten yang memenangkan kubu B, media itu diyakini sebagai milik kubu B.
Sialnya, tahun ini, banyak media menurunkan konten terkait kemenangan kubu B. Dampaknya, kubu A memusuhi semua media mainstream — yang ada di seluruh Indonesia — karena tak ada satupun media yang membahas (utopia) kemenangan kubu A.
Yang lebih mencemaskan dari ini semua adalah, lahirnya narasi tandingan. Di media sosial — karena media mainstream sudah dijauhi —kubu A tak henti-hentinya membangun sebuah narasi bahwa A itu dicurangi. Kalaupun kalah, karena dicurangi.
Sehingga, kelak jika kubu A benar-benar kalah misalnya, seolah-olah kekalahan itu karena dicurangi. Padahal, bisa jadi, skenario kecurangan sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum pemilihan berlangsung. Wow.
Tak ada kubu yang mau menerima kebenaran, alih-alih kekalahan. Sebab setiap kubu punya kebenaran masing-masing. Tepat seperti dikemukakan Sigmund Freud dalam Self-Defense Mechanism: kebutuhan merasa benar atau kehendak tak mau salah.
Nah, jika kedua belah kubu sama-sama memiliki unsur kebutuhan-merasa-benar-atau-kehendak-tak-mau-salah, yasudah. Hingga kiamat kurang seminggu, tak ada yang menang dan tak ada yang kalah. Semua akan mengaku menang. Tapi semua tak ada yang berani mengaku kalah.
Di tahap ini, media mainstream hanya semacam jadi pipa saluran kubu-kubuan saja. Kalau yang diberitakan pro kubu A, orang-orang kubu A bakal suka. Tapi, kalau yang diberitakan pro kubu B, orang-orang kubu B yang suka.
Di Indonesia, sejak 2014 lalu, media sudah identik dengan kekubuan. Nggak bisa berdiri sendiri. Kalau nngak kubunya nganu ya kubunya nganu. Lalu, masihkah media mainstream bisa kembali seperti sebelumnya? Harusnya sih bisa.
Iya, harusnya bisa. Kenapa? Sebab, sebermula kemunculannya, media tak berhubungan dengan partai politik. Nah, jika saat ini media sangat sulit dipisahkan dari giat-giat politis, bukankah itu keanehan?