“Kamu tahu gak, saudagar-saudagar Jawa itu sudah disebut dalam Perjanjian Lama,” demikian kawan saya, sebut saja Bragga, saat kami ngopi.
Satu kawan saya yang lain, sebut saja Docio, tampak kaget, atau penasaran, semacam ketika kita mendengar bahwa Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman, atau Gajah Mada itu muslim bernama Gaj Ahmada.
Saya tak kaget ataupun penasaran. Waktu itu saya sedang baca Numero Zero Umberto Eco, tepat pada bagian Maia Fresia memperkenalkan diri: “Maia Fresia. Belum menikah, tak punya pasangan, atau perawan tua, terserah anda. Dua puluh delapan tahun…”
Seperti Colonna si tokoh utama, saya jatuh cinta pada Maia sejak melihat gaya bicaranya yang lugas, kemudian nanti setelah cerita selesai saya tak menyesal jatuh cinta padanya.
Tidak lupa sedikit jengkel pada Braggadocio dan penilaian badaninya yang receh: “Sedikit terlalu kurus buat seleraku, buah dada rata, tetapi secara keseluruhan…”
Oke, kembali ke saudagar Jawa. Selepas dipancing oleh Docio, Bragga mengeluarkan buku besar dari tas dia: Thomas Stamford Raffles, The History of Java, edisi terjemahan Indonesia.
“Ini kata Raffles bung,” kata Bragga. “Bab 1, nih lihat, kau baca sendiri,” lanjut dia sambil menyodorkan bukunya.
Bragga kuliah sejarah, jadi jangan heran jika dia memaksakan diri membeli buku yang lumayan mahal itu. Memang edisi Inggrisnya bisa diunduh gratis di internet, tetapi dia tak termasuk orang yang kuat membaca lama versi ebook, lagipula masalah utamanya adalah dia tidak pandai bahasa Inggris.
Docio mengangguk-angguk. Lha, ada bukti tertulis di buku, penulisnya Raffles pula. Lalu mengobrolah dengan asyiknya mereka berdua membahas soal saudagar Jawa dan Perjanjian Lama itu.
Mendengarkan obrolan mereka sambil meneruskan membaca, saya jadi senyum-senyum sendiri. Setelah tiba di akhir bab 3, saya letakkan Numero Zero, minum kopi, nyulut rokok, lalu nyeletuk pelan: “sayangnya saudagar Jawa sebenarnya tak disinggung dalam Perjanjian Lama kok.”
Ucapan saya yang pelan tak mencegah kedua kawan saya untuk kaget dan menghentikan obrolan mereka lalu bareng-bareng memandang saya. “Lha ini?” kata kawan saya si anak sejarah sambil mengangkat buku Raffles.
“Dan juga Raffles tidak memaksudkan demikian.” Lanjut saya.
“Jadi, bagaimana?” Bragga bertanya dengan agak jengkel setelah agak lama melihat saya diam dan malah menonton pengunjung meja sebelah yang tiap 10 detik sekali mengucapkan kata “revolusi” dan “agen perubahan” keras-keras.
Saya seruput lagi kopi saya. “Begini, Bragga dan Docio, agen-agen perubahan…”
** **
Karena suka baca sejarah, saya termasuk salah satu yang bahagia ketika buku Raffles diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saat itu saya tak langsung membeli edisi pertama karena sedang sibuk melunasi 39 jilid buku Freud.
Edisi yang kemudian saya beli adalah edisi cetakan ketiga, 2014, hardback. Pikir saya, ini buku babon, jadi biarlah agak mahalan dikit yang penting dapat edisi hardback layak koleksi.
Seperti Bragga, saya juga terkejut ketika menemukan informasi soal Jawa disinggung dalam Perjanjian Lama itu. Begini kalimatnya, di halaman 2:
Pada bab ke-27 dari Ezekiel, kita mendapat penjelasan dari kalangan pedagang kaya tentang Jawa. Mereka yang berdagang adalah kaum laki-laki, dengan menggunakan perahu-perahu berisi kuningan, yang datang dan pergi menuju ke pasar Tyre dengan membawa muatan besi, cassia dan calamus. Namun kita akan meninggalkan penyelidikan tentang Jawa masa lampau untuk meninjau tentang Jawa pada bagian yang lain.
Info dari kalimat-kalimat itu jelas: pedagang Jawa disinggung dalam Perjanjian Lama, kaum laki-laki Jawa menaiki perahu berisi kuningan berdagang di pasar Tyre, barang dagangan mereka besi, cassia dan calamus. Agak janggal juga bahwa kuningan isi perahu itu kok tidak ikut dirinci sebagai barang dagangan.
Saya waktu itu penasaran dan langsung mencari info tahun berapakah Ezekiel (Indonesia: Yehezkiel) ini hidup. Ternyata: kira-kira antara tahun 622-570 SM. Tyre (Indonesia: Tirus) adalah kota perdagangan Fenisia di pesisir Mediterania.
Jadi, jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan besar yang kita kenal di Jawa, orang Jawa sudah berkelana sangat jauh untuk berdagang.
Supaya benar-benar yakin soal saudagar Jawa yang punya tambang besi, kuningan, punya ladang cassia dan calamus dan berlayar ke sebuah kota di area Libanon kini pada abad ke-6 SM itu, saya cek-lah ke edisi Inggris buku Raffles.
Nah, inilah yang tertulis dalam The History of Java terbitan John Murray, Albemarle-Street, London, tahun 1830, halaman 2:
in the twenty-seventh chapter of Ezekiel we find among the rich merchants, those of Javan “who traded the persons of men, and vessels of brass, to the market of Tyre, and who going to and fro, occupied in her fairs, brought bright iron, cassia, and calamus.” But we shall leave it to others to trace the connection between the Javan of Holy Writ and the Java of modern times.
Saya coba terjemahkan kira-kira begini:
Dalam pasal 27 Yehezkiel kita jumpai di antara para saudagar kaya, saudagar-saudagar Yawan “yang menukarkan budak-budak, dan bejana dari kuningan, ke pasar Tirus, dan yang pergi ke sana kemari, sibuk dalam kios-kiosnya, membawa besi yang sudah dipoles, cassia (kayu manis), dan calamus (serai).” Tetapi kita akan serahkan perkara melacak hubungan antara Yawan Kitab suci dan Jawa zaman modern kepada orang-orang lain.
Dengan kata lain, Raffles cuma menyinggung bahwa dalam kitab suci (Yehezkiel: 27) ada disebut tentang saudagar-saudagar Javan (Indonesia: Yawan) yang berdagang di pasar Tyre (Indonesia: Tirus).
Penelitian soal adakah hubungan antara Javan ini dengan Java (Indonesia: Jawa) masa modern yang menjadi bahasan buku dia The History of Java biarlah menjadi bahan penelitian orang lain.
“Javan atau Yawan dalam Yehezkiel pasal 27 itu biasa digunakan oleh bangsa Fenisia untuk nyebut ras Yunani yang kita kenal sebagai Ionian, bukan Javanese yang kita kenal sebagai suku Jawa di Indonesia ini.” Begitu saya menutup cerita.
“Jadi Raffles tidak bilang saudagar Jawa disinggung dalam Perjanjian Lama,” Bragga bergumam.
Dia tampak sedih karena info menarik yang bisa dia pamerkan kini hancur berantakan.
“Raffles tidak mengatakan demikian, kawan, tetapi penerjemah Raffles-lah yang mengatakannya,” sambung saya sambil tertawa menambah kesedihan dia.
Bragga ingin mencari pelampiasan dengan memaki-maki penerjemah itu. Sayang, sebagaimana kita tak pernah tahu siapa pembunuh Braggadocio dalam Numero Zero, kita juga tak bisa menemukan siapa pastinya orang yang bisa dipersalahkan soal saudagar Jawa yang berdagang ke Tirus pada abad ke-6 SM ini: penerjemah Indonesia The History of Java dicantumkan 3 orang dan penyuntingnya 2 orang.
Oke, 5 orang, total jumlah yang cukup menakjubkan untuk bisa meloloskan kesalahan penerjemahan fatal semacam di atas, juga berbagai kesalahan senada sepanjang 904 halaman buku babon sejarah berukuran besar 19×26 cm itu. Ah, Braggadocio, Raffles yang malang.
Cep Subhan KM adalah penerjemah yang bermukim di Jogjakarta.