Angin berhembus memicu daun bergesekan. Terdengar nyaring. Namun, terkesan seram karena gesekan tubuh bambu terdengar. Seperti tulang bertubrukan untuk saling memecahkan satu sama lainnya. Hari sudah surup. Suasana sekitar rimbunan bambu semakin mencekam.
Apakah benar jika rimbunan pohon bambu adalah tempat tinggal setan? Sepertinya ini cukup susah dibuktikan. Menjelaskannya pun cukup rumit. Ada yang percaya, ada yang tidak. Bagaimana menjelaskan kepada orang yang sedari awal tidak percaya?
“Sebelum petang, kamu harus pulang. Jangan lewati pohon bambu itu, nanti diculik hantu.”
Kalimat tersebut kerab didengar saat masih anak-anak. Seringnya, kalimat tersebut dikatakan seorang ibu. Selagi bermain bersama, waktu terasa cepat berlalu. Pantang berhenti sebelum ibu, bapak atau kakak menjemput. Kalau sudah begitu, kena marah.
Dunia anak adalah bermain. Siang, sore dan malam. Biasanya sepulang sekolah. Sebelum petang hari, anak-anak harus sudah pulang ke rumah. Tentu bersiap untuk istirahat dan belajar pada malam hari. Jika waktu sudah petang dan mulai gelap, tak heran jika merasa khawatir.
“Jangan-jangan nanti ada hantu.”
Bermain bersama pun demikian. Jika pulang petang, anak paling kecil sering kali jadi target. Ya, sasaran untuk candaan. Kisah seram diberikan, lalu ditinggal lari yang lainnya. Bagi mereka, mungkin sangat lucu. Bagi yang takut, hal ini mungkin akan terekam di otak.
Bahkan, hingga saat ini omongan seperti itu masih dipercaya. Rumpun bambu atau greng (bahasa jawa) adalah tempat tinggal hantu. Kunthilanak atau Kolong Wewe, hantu yang suka menculik anak kecil katanya.
Sebenarnya, cerita tersebut bukan untuk menakut-nakuti. Lebih karena untuk mengingatkan waktu. Dunia anak adalah bermain. Namun, bermain juga harus tahu waktu. Tidak seharian penuh.
Orang tua ingin menanam perilaku disiplin pada anak. Pasalnya, pendidikan termasuk tanggung jawab orang tua. Orang tua mana yang tidak ingin anaknya –penurut- disiplin?
“Kadang anak itu kan bandel, kalau dikasih tahu itu susah,” kata ibu 3 orang anak, Ninik Suryati.
Warga Kelurahan Klangon tersebut mengakuinya. Sebenarnya, mendidik dengan cara menakuti itu tidak baik. Khususnya bagi anak. Itu bisa menjadi trauma baginya. Jika anak percaya dan terus mengingat, itu akan menjadi ketakutan.
“Jangan ke sana, nanti ada tikusnya lho” atau “Kalau ga mau makan nanti ibu bilang ke pak polisi biar ditangkap”
Kalimat tersebut tentu kurang tepat. Nantinya, anak akan mudah merasa takut. Takut pada tikus, takut pada polisi. Ini akan berimbas pada perkembangan seorang anak. Anak akan menjadi seorang penakut terhadap suatu objek. Padahal, itu bukan hal yang menakutkan.
“Ada keponakan yang takut saat dibawa ke puskesmas. Mungkin karena orang tuanya sering bilang kalo ga nurut nanti disuntik dokter,” kata Ninik.
Melansir Antaranews, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi mengatakan bahwa orang tua lebih baik mendorong anak menjadi mandiri. Anak harus mengerti apa yang dimaksud orang tuanya. Nantinya, akan ada kerja sama antara orang tua dan anak. Bukan hanya menjadi anak yang penurut karena takut.
“Anak-anak tidak hanya menjadi anak yang cerdas, tapi mereka perlu jadi anak yang bahagia karena kita semua mendidik cinta,” ujar Seto.
Jika seorang anak dididik dengan ketakutan, bagaimana mereka bisa bahagia? Jadi, jangan pernah katakana bahwa greng atau rumpun bambu adalah rumah hantu. Jangan biarkan anak-anak takut terhadap apa yang tidak mereka mengerti. Biarkan mereka belajar dan berkembang tanpa rasa takut.