Kemarin saya membaca cerpen yang membuat saya teringat Artemidorus. Kini saya coba mengobrolkannya menggunakan konsep-konsep Freud.
Cerpen tersebut ditulis oleh Abdul Hadi dan dimuat dalam Koran Tempo edisi 30 Juni 2018 (bisa dibaca di Berburu Kijang). Di sini saya tuliskan sinopsisnya meski lebih saya sarankan Anda beralih membaca cerpen itu sejenak sebelum kemudian kembali ke obrolan dalam tulisan ini.
Sinopsisnya begini: Siman bersama bapaknya dan tiga pemuda dusun berburu kijang di hutan di pedalaman Kalimantan. Mereka orang-orang Kutai Dalam, memiliki tradisi berburu sebagai tanda dewasanya seorang remaja laki-laki.
Ini adalah kali pertama Siman ikut berburu, itu pun karena terpaksa. Ia ingin dianggap laki-laki setelah selama ini dicemooh abangnya sebagai bencong.
Perburuan itu gagal, induk kijang yang marah membunuh salah satu pemuda dusun, kemudian Siman yang akan kabur meninggalkan 3 orang yang tersisa justru menjadi sasaran selanjutnya induk kijang itu: punggungnya ditusuk tanduk tajam kijang. Pada titik itu Siman terbangun dan kita tahu bahwa kisah yang kita baca adalah mimpi dia.
Ada beberapa poin menarik dari cerpen ini.
Poin pertama, tradisi berburu sebagai tanda pria anggota suku dianggap “laki” (“Di suku Kutai Dalam, sebelum Islam datang dibawa pedagang-pedagang dari Jawa dan India, ritual transisi remaja laki-laki untuk kemudian beralih menjadi dewasa adalah dengan berburu.”).
Ritus inisiasi, yakni pengakuan bahwa seseorang sudah “resmi menjadi anggota suku”, sudah “dewasa”, adalah bagian dari tabu suku-suku primitif. Ritus perburuan biasa dilakukan terhadap hewan totem yang dalam keseharian tidak boleh dibunuh.
Dalam ritus perburuan yang dilakukan pada waktu tertentu, hewan totem dibunuh sebagai kurban, diratapi, tetapi kemudian dagingnya dimakan bersama.
Hewan totem adalah simbol bapak primitif yang disikapi ambivalen: meratapi kematiannya sekaligus melakukan identifikasi dengannya melalui memakan dagingnya.
Ritual bersama-sama memakan daging hewan totem adalah bentuk kontrak dengan sang bapak, satu peneguhan kembali ikatan antara mereka dengan bapak primitif tersebut sebagai totem suku.
Poin kedua, agama datang dan mengganti tradisi perburuan sebagai ritus inisiasi suku itu dengan ritus inisiasi lain yakni tradisi khitan.
Khitan menurut Freud adalah bentuk pelembutan dari hukuman Bapak terhadap kesalahan anak (kesalahan tersebut biasa disangkutkan dengan kebiasaan anak melakukan masturbasi) berupa kastrasi.
Sang bapak diposisikan sebagai sosok kejam yang membiarkan anak melakukan kesalahan supaya dia kemudian bisa menghukumnya: penjahat yang sudah mengalami hukuman menjadi “bersih”.
Khitan juga merupakan ritus inisiasi bagi “yang terpilih” sebagaimana ditunjukkan oleh Freud dalam analisisnya terhadap tradisi tersebut dalam agama Yahudi.
Menarik menyinggung dua karya sastra lain yang juga mengangkat tema serupa. Pertama, cerpen Pram, “Sunat” (1950), mengkritik glorifikasi tradisi khitan dalam agama Islam.
Khitan, yang dalam cerpen tersebut dipandang sebagai simbol kesejatian orang Islam, dibenturkan dengan pandangan psikologis karakter Mamuk yang tak merasakan perubahan apapun setelah dikhitan.
Kedua, novel Orang-Orang Oetimu (2019) menggunakan tradisi khitan sebagai salah satu penguat motivasi (dalam ranah sastra: “alasan karakter melakukan lakuan tertentu”) karakter Ipi. Bermula dari pengalaman dia pertama kali dipaksa masturbasi oleh Naef Ahelet yang menimbulkan perasaan ambivalen antara keinginan mengulangnya sendiri (dan memang dia lakukan dalam kuantitas tinggi) dengan rasa terhina traumatis yang berujung pembunuhan Naef Ahelet dan enggannya Ipi dikhitan.
Peristiwa tersebut kemudian memengaruhi perkembangan kehidupan seksual Ipi termasuk relasinya dengan Silvy. Baik “Sunat” maupun Orang-Orang Oetimu menunjukkan karakterisasi yang kuat melalui olahan psikologi karakter, satu hal yang sering terabaikan dalam karya-karya para penulis kita yang kerap lebih mementingkan aspek-aspek prosa lainnya sehingga mungkin menghasilkan cerita dramatis tetapi karakter-karakternya mirip boneka pengarang.
Poin ketiga, perubahan yang disodorkan agama tidak lantas diterima utuh, tradisi berburu dan juga anggapan yang menyertainya biasanya tetap bertahan meski pada tataran berbeda.
Dalam cerpen ini digambarkan bahwa tradisi berburu statusnya turun hanya menjadi “lambang keberanian”, tetapi masih cukup kuat untuk dijadikan bahan perundungan Siman (“’Bocah Bencong,’ Marto, Abang Siman, kerap mengolok-oloknya.”) sehingga kemudian memengaruhi pandangan Siman terhadap identitasnya sebagai laki-laki.
Sikap Siman terhadap dua ritus inisiasi itu tampak ambivalen dan pada dasarnya hal ini pula yang menghasilkan “mimpi buruk Siman”.
Di satu sisi Siman tampak lebih berpihak pada tradisi agama, terutama didorong oleh ketidakmampuan dia mengikuti tradisi perburuan (“jangankan menombak kelinci hutan atau membidik burung dengan senapan angin, menyembelih ayam saja Siman tidak tega”).
Di sisi lain, keinginan dia untuk diakui sebagai bagian dari suku (dan dengan demikian harus sukses dalam “ritus inisiasi” suku) membuatnya ingin tetap ikut dalam tradisi perburuan itu (“karena tidak tahan dengan olok-olokan itu, akhirnya Siman memutuskan ikut ayahnya berburu.”).
Menariknya, ada momen ketika ambivalensi itu hancur, yakni ketika Siman memutuskan pergi sendiri meninggalkan rombongan untuk menyelamatkan diri. Sikap ini bisa dianggap didorong keinginan tak sadar dia untuk membiarkan “bapaknya” terbunuh.
Memang bapak Siman “yang paling senior di rombongan tersebut” bisa diposisikan sebagai simbol bapak primitif yang selalu disikapi ambivalen oleh “anak”-nya, antara sikap permusuhan dan keinginan mengidentifikasi diri dengannya.
Fakta bahwa Siman melihat ayahnya dan dua pemuda yang tersisa (simbol mereka yang sudah lulus ritus inisiasi perburuan) terkencing-kencing menghancurkan sikap ambivalen itu: sang anak akhirnya mampu menjatuhkan pilihan “membunuh” ayahnya yang kematiannya sekaligus merupakan simbol kematian ritus inisiasi itu sendiri.
Akan tetapi akhir mimpi menunjukkan hancurnya harapan Siman dan ia dikalahkan oleh hewan totem, hewan liar “sosok buas bertanduk abu-abu kusam”.
Ini merupakan simbol kuatnya dominasi ritus inisiasi kesukuan dalam ketaksadaran Siman: bukan darah kurban hewan totem yang tumpah melainkan darah Siman sendiri.
Sekuat apapun dorongan dalam diri Siman untuk pergi dari ritus ini, perasaan bahwa dia “gagal menjadi laki-laki” tetap menghantuinya, hantu yang tak bisa diusir oleh ritus inisiasi baru berupa khitan.
Salah satu penyebab lebih kuatnya ritus inisiasi kesukuan (perburuan) dibandingkan ritus inisiasi agama (khitan) adalah karena khitan lebih dekat dengan rasa takut akan kastrasi (kepasifan di hadapan “bapak”) dibandingkan perburuan yang justru diwujudkan dengan keaktifan “membunuh bapak” secara simbolis.
Sayang dalam cerpen ini tidak ada gambaran seksualitas Siman. Poin ini penting karena besar kemungkinan perkembangan seksualitas Siman dalam lingkup keluarga menjadi faktor motivasi dirinya menjadi karakter seperti yang digambarkan dalam cerpen ini.
Secara psikologis, penolakan ritus-ritus masyarakat biasanya berbanding lurus dengan relasi “cinta” dalam keluarga yang dipegang terlalu kukuh.
Dengan kata lain, secara teori, Siman pasti sangat dekat dengan lawan jenis dalam keluarganya (dalam artian “yang memiliki hubungan darah”: ibu, adik atau kakak perempuan).
Ritus inisiasi menjadi seorang pria mensyaratkan menjauhnya seorang lelaki dari “karakteristik perempuan” dalam keluarga karena ritus itu merupakan upaya peneguhan tabu inses yang dipegang teguh masyarakat.
Karena itu, “anak mama” tak akan bisa melewati “ritus inisiasi”, satu hal yang secara tersirat dalam cerpen ini digambarkan dengan kondisi fisik tubuh Siman yang “kecil dan lemah mirip anak perempuan” ataupun fakta bahwa mereka yang senang dengan hilangnya ritus inisiasi suku berupa perburuan ini adalah “ibu-ibu dusun”.
Menarik untuk menyinggung baris-baris salah satu puisi Goenawan Mohamad ini:
tapi kijang yang tak menjerit di hutan
pada luka lembing penghabisan
adalah seorang perempuan
Kijang. Perempuan. “Ritus inisiasi” ditujukan untuk menusukkan “lembing penghabisan” pada “perempuan yang memiliki hubungan darah”, perempuan tabu, supaya ia melepaskan bocah laki-laki dari pelukannya sehingga si bocah bisa menjadi pria yang nantinya mampu mencari pasangan “perempuan asing”.
Dalam cerpen ini pun disebutkan apabila si remaja laki-laki bisa bertahan dalam hutan dan apalagi bisa pulang membawa hewan buruan maka “anak laki-laki tersebut dianggap sudah dewasa dan siap untuk dikawinkan”.
Karena itu, kalau cerita ini diteruskan pasca-mimpi, secara teori Siman tak akan sukses dalam kisah cintanya kecuali kalau entah dengan cara bagaimana dia mampu “menjadi laki-laki dewasa”.
Tentu sangat menarik melihat ke mana cerita ini akan mengarah jika dikembangkan misalnya menjadi novela atau novel yang memungkinkan narasi lebih panjang dengan karakterisasi, alur, dan lakuan lebih lengkap.
Freud beberapa kali menyinggung Artemidorus dalam Die Traumdeutung (Penafsiran Mimpi), meski dengan catatan bahwa tafsir mimpi Artemidorus, Oneirocritica, adalah tafsir mimpi pra-ilmiah yang memiliki rumus khas “jika kamu bermimpi a maka itu pertanda kamu akan mengalami b”.
Rumus semacam itu kemudian bisa ditemukan pula baik dalam tafsir mimpi Islam maupun dalam primbon jawa.
Salah satu alasan sebuah karya sastra menjadi menarik (adjektiva yang dengan sangat keliru sering kita samakan dengan adjektiva bagus. Sebuah cerpen yang menarik bagi saya belum tentu bagus menurut saya, sebagaimana saya mungkin menilai bagus sebuah cerpen meski bagi saya ia tak menarik) adalah terjadinya “perjumpaan” dia dengan pembacanya.
“Perjumpaan” saya dengan cerpen “Berburu Kijang” terjadi ketika ia mengingatkan saya pada Artemidorus yang mengatakan bahwa salah satu representasi kijang dalam mimpi adalah “orang-orang yang mengalami keterputusan relasi-relasi mereka, yang telah kehilangan seluruh harga-diri dan sepenuhnya menjadi para pengecut.”
Menakjubkan bahwa obrolan “Berburu Kijang” menggunakan konsep-konsep Freud ternyata memiliki kesesuaian juga dengan tafsir mimpi Artemidorus: bukankah kutipan dari Artemidorus itu kurang lebih bisa disematkan pula pada karakter Siman sebagai sosok yang memimpikan cerpen ini?