Ikatan kesamaan nasib dan kegelisahan memicu banyak orang berbondong percaya lalu bergabung dengan kerajaan halu.
Nabsky, belakangan ini negara +62 sedang ramai-ramainya membicarakan kasus orang-orang yang mendaku dirinya sebagai Raja dan Ratu dan membikin kerajaan di dalam negara. Saya tahu pasti apa yang ada di benak kalian, Nabs.
Ya, kalian pasti terheran-heran, kenapa bisa ada orang halu seperti itu, ya kan? Lebih heran lagi karena ada yang percaya dengan ke-halu-an mereka dengan menjadi pengikutnya, apalagi sampai-sampai mau menyumbangkan sejumlah uang untuk menjadi prajurit.
“Kok bisa sih mereka mau-maunya nyumbangin duit? Kok bisa sih mau-mau aja digoblokin? Kok bisa sih sampai punya pengikut sebanyak itu?” Eits, jangan geleng-geleng dulu, Nabs.
Kalau di dalam artikel yang ditulis teman saya membahas bagaimana kemunculan banyaknya orang yang mendaku diri sebagai Raja dan Ratu, saya tidak ingin lagi membahas itu.
Saya ingin membahas bagaimana orang bisa percaya dan kemudian memutuskan untuk menjadi pengikutnya, entah jadi prajurit atau rakyat atau apapunlah.
Pertama, harus diakui bahwa mereka yang mendaku diri sebagai Raja dan Ratu ini memiliki kemampuan persuasi yang bagus. Mereka melihat celah yang bisa digunakan untuk mengambil simpati orang-orang yang mereka targetkan dengan beberapa cara.
Bisa jadi mereka menggunakan celah kepercayaan masyarakat seperti masih lekatnya asas primordialisme dengan daerah atau kepercayaan spiritual yang masih lekat di dalam masyarakat.
Bisa juga dengan memanfaatkan kekecewaan masyarakat akan realitas yang dihadapi. Baik itu kekecewaannya terhadap negara, pemerintah, atau bahkan perubahan lingkungan di sekitar mereka, atau bisa jadi keduanya.
Inilah kemungkinan yang digunakan oleh Raja dan Ratu gadungan itu untuk mendapatkan simpati orang-orang pendukungnya.
Kita tahu bahwa manusia bukan hanya terdiri dari rasio, tapi juga emosi. Dan salah satu cara untuk menjaring emosi adalah membentuk ikatan emosional antara dia yang mempengaruhi dan dia yang ingin dipengaruhi.
Emosi ini bisa dengan mudah diraih dengan mengangkat isu-isu yang begitu sensitive. Isu-isu yang lekat di tubuh masyarakat Indonesia pada umumnya, yang telah ada sejak lama.
Mereka hanya tinggal memolesnya sedikit saja dan membuat orang-orang ini merasa ‘ada’. Menemukan eksistensinya di dalam masyarakat yang lebih luas dengan melakukan peranan yang dianggap lebih penting.
Mari kita sebut Raja dan Ratu ini elit yang bisa memberikan pengaruhnya untuk mendapatkan legitimasi dari orang-orang yang terpengaruh. Apa kemudian selesai di sana? Tidak, Nabs.
Jika hanya memusatkan pada pengaruh yang dimiliki oleh Elite, maka kita hanya bisa memahami sebatas itu. Hal seperti ini yang bisa membuat orang menyimpulkan bahwa perilaku mereka yang terpengaruh adalah sebagai perilaku yang aneh, menyimpang, dan tidak logis.
Hal seperti ini membuat kita tidak bisa memahami secara lebih luas. Lebih-lebih, terlebih dahulu terpuaskan dengan terlanjur menjatuhkan justifikasi.
Untuk memahami bagaimana 600 lebih orang bisa melegitimasi kepemimpinan elite, kita harus menempatkan mereka (yang terpengaruh) sebagai subjek yang bisa menentukan tindakan, bukan sebatas objek yang dipengaruhi.
Dalam hal ini, mereka yang kemudian terpengaruh memilih untuk menyepakati ide atau gagasan dan menerimanya sebagai sesuatu yang benar, sesuatu yang seharusnya. Sehingga tidak ada paksaan, meski kita tahu ada propaganda yang dijalankan elite di balik itu semua.
Orang-orang yang terpengaruh tersebut membentuk kelompoknya, membentuk identitasnya sendiri. Di sinilah mereka mendapat ruang untuk menegosiasikan identitasnya dan kemudian menghadirkan dirinya. Muncul dengan identitas baru yang dipercaya lebih baik.
Dari sini kemudian mereka memproduksi ulang ide atau gagasan yang dipercaya sebagai suatu kebenaran. Dalam tahap ini, mereka yang terpengaruh bukan hanya menjadi konsumen, tapi juga produsen yang mereproduksi gagasan yang dipercayanya.
Ini yang kemudian menyebabkan semakin banyaknya orang tergabung menjadi prajurit atau rakyat dalam kerajaan halu. Masing-masing merekrut anggota-anggota baru untuk bergabung. Dan seperti kita tahu, ikatan kesamaan seperti nasib dan kegelisahan yang sama yang menyatukan mereka.
Mereka yang meragukan nasib akan mencoba berpegang pada apapun yang dirasa kuat untuknya berpegang…saudara senasib, yang mereka tahu tak akan meninggalkannya, dan juga ide-gagasan yang dibawa oleh raja gadungan.
Istilah lainnya, ikatan kesamaan nasib dan kegelisahan memicu banyak orang berbondong percaya lalu bergabung dengan kerajaan halu.
Apakah ini berarti mereka yang bergabung adalah mereka yang frustrasi? Tidak demikian, tapi mereka yang bergabung, bagi saya, bisa jadi merupakan mereka yang butuh untuk melarikan diri mencari susunan dunia yang lebih baru. Apapun, asal lepas dari yang ada saat itu.
Apakah ini kemudian bisa dikatakan sebagai hegemoni yang dikatakan Gramsci sebagai penjajahan alam bahwa sadar, yakni penjajahan yang tidak dirasakan dan disadari. Bisa saja.
Jika kita memilih menyebut fenomena tersebut sebagai hegemoni, maka elit yang mempengaruhi dapat kita katakan sebagai intelektual organik, yakni mereka yang kemudian bisa mengarahkan banyak orang untuk mencapai suatu hal.
Apakah ini bisa disebut sebagai counter dari hegemoni yang telah ada? Bisa juga, tapi perlu diketahui bahwa perbandingan ini adalah perbandingan yang tidak setara. Negara memiliki kekuasan penuh terhadap segala sumber kekuasaan yang dapat diwujudkan bentuknya dengan pengarahan maupun paksaan.
Lantas, apa yang bisa dilakukan kepada mereka yang terlanjur percaya dengan dongeng dan fantasi tentang kerajaan? Sadar. Kata kunci untuk membongkar propaganda yang dimainkan oleh elit adaah menyadarkan.
Kesadaran dapat dibentuk dengan mempertanyakan kembali narasi-narasi hegemoni yang terlanjur dipercaya sebagai kebenaran. Kebenaran yang duduk di kursi absolut tersebut hanya dapat dilengserkan apabila orang-orang yang di-ninabobokan nalarnya mulai memiliki pertanyaan kritis di dalam dirinya. “Apa maksud di balik semua ini?”
Jadi kira-kira begitu, Nabs. Melindungi diri dari tipu daya halusinasi adalah meyakinkan diri, “if it’s too good to be true, then it’s not true.” Dan tetap siaga untuk bertanya “kepentingan apa di balik semua ini?”
Karena seperti kata Habermas, teoritis kritis yang paling terkenal dalam genk Frankfurt, segala di dunia ini tidak hadir dari ruang kosong, tidak hadir dari netralitas. Semua kita didorong oleh kepentingan-kepentingan, entah itu yang mengarah pada kebaikan atau mengarah pada keburukan. Ini hanya soal persepsi dan pelekatan nilai.
Dengan menghadirkan counter ide dari segala yang datang, kita bisa melihat lebih banyak pilihan. Inilah yang menjadikan manusia tumbuh lebih bebas dengan pikirannya.
Karena sesungguhnya penjajahan yang begitu sulit dihapuskan bukan penjajahan fisik, melainkan penjajahan ide, pikiran, alam bawah sadar. Sebab letaknya jauh ada di dalam. Nah, Nabs, bagaimana menurutmu?