“OH, menarik sekali foto ini!”
Demikian gumam bibir saya, suatu malam sekitar dua minggu yang lalu, ketika saya melihat kembali sebuah foto yang saya unduh beberapa tahun yang lalu, dari sebuah alamat facebook yang menampilkan foto Gus Mus sedang mendampingi Gus Dur.
Tanpa lama-lama mencermati foto itu, segera saya menyadari bahwa foto itu diambil di tempat kediaman Gus Mus. Ya, di tempat kediamanan Gus Mus di Desa Leteh, Rembang, Jawa Tengah.
Lo?
Ya, ini karena beberapa hari sebelumnya, Gus Mus mengabarkan (lewat facebook “Simbah Kakung”), bahwa saat itu Gus Dur (Allahyarham) sedang berkunjung ke pesantren Gus Mus, Raudlotut Tholibin. Yang menggembirakan, dalam kunjungan itu, Gus Dur berkenan menikmati hidangan yang disajikan.
Padahal, selama beberapa lama sebelum itu Gus Dur sama sekali tidak berkenan menyantap apa pun. Ya, tak berkenan menyantap apa pun!
Karena tubuh saya terasa lelah selepas seharian menulis, tak lama selepas membuka foto itu, saya tak kuasa menahan kantuk. Akhirnya, saya pun tertidur pulas. Eh, ketika dalam tidur itu pula, saya bermimpi sedang berada dikota Kairo, Mesir.
Anehnya, dalam mimpi itu saya masih muda usia dan tahun dalam mimpi itu menunjuk awal tahun 1981. Kala itu, saya baru berumur sekitar 27 tahun. Masih muda usia!
Saat itu, waktu menunjuk sekitar jam satu siang waktu Kairo. Yang menarik, saat itu saya sedang menapakkan kaki keluar dari Masjid al-Husain bin Ali, tempat kepala putra tercinta Ali bin Abu Thalib itu disemayamkan selepas rufat kepalanya dipindahkan dari Askelon, Palestina, oleh pendiri kota Kairo: al-Muiz li Dinillah.
Tak lama selepas menapakkan kaki dan menengok ke arah Khan Khalili, sebuah pasar tradisional kerajinan kondang di samping kanan masjid itu, tiba-tiba saya melihat melihat Gus Dur (yang tampak masih sehat dan bisa melihat) dan Gus Mus (yang belum banyak memiliki uban seperti kini dan tampak ganteng) sedang duduk di sebuah kafe. Ya, sebuah cafe di samping pelataran masjid itu.
Duh, betapa gembira hati saya melihat dua tokoh yang acap “membikin ulah” di pentas budaya Indonesia itu. Tanpa berpikir panjang, apalagi melihat mereka hanya berdua tanpa disertai “para punakawan”, saya pun segera berlari. Ya, berlari menuju ke arah mereka.
Begitu dekat dengan mereka, saya pun menyapa mereka berdua yang sedang menikmati teh campur susu ala Mesir, “Assalamualaikum Gus Dur dan Gus Mus. Bagaimana kabar panjenengan berdua”
“Waalaikumussalam,” jawab Gus Dur. Sambil memandangi saya.
“Nah, ini kalau tak salah adalah seorang mahasiswa Indonesia yang tinggal di Manial Raudah, ya? Dua tahun yang lalu saya ketemu Anda. Bukankah Anda keponakan Maghfur Usman?”
“Waalaikumussalam,” sahut Gus Mus.
“Betul, Mas Dur. Dia keponakan Maghfur Usman dari Cepu. Dia tinggal di sebuah flat dekat flat Mas Harun Zaini dan Mas Zabidi Ahmad, tempat kita menginap. Mas Dur, saya pernah ketemu dia, ketika saya menengok adik saya, Adib, di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dia pernah segotakan dengan adik saya. Ngapain Anda dari Masjid al-Husain? Lagi cari inspirasi atau lagi menyepi ?”
Mendengar jawaban, komentar, dan pertanyaan sosok-sosok yang saya hormati itu, saya sejenak kebingungan. Tak tahu harus menjawab apa. Namun, tak lama kemudian, saya menjawab sekenanya, “Gus Dur dan Gus Mus. Benar saya tadi dari Masjid al-Husain bin Ali. Kalau dikatakan mencari inspirasi, mungkin juga benar. Saya sedang mencari inspirasi bagaimana agar tesis saya segera diterima oleh Majlis al-A‘la li al-Jamiat. Terus terang, saya sudah gak tahu lagi, apa yang harus saya lakukan menghadapi birokrasi di negeri ini. Di satu sisi, saya merasa bersyukur dapat menimba ilmu di sini. Namun, di sisi lain, birokrasi di negeri ini amat dan amat melelahkan. Kalau dikatakan lagi menyepi, itu juga gak salah. Sebab, dengan bertafakkur di masjid itu, entah kenapa setiap kali keluar dari masjid itu saya mendapatkan energi baru: semangat Sayyidina al-Husain bin Ali yang tak mudah patah arang memberikan semangat bagi saya untuk tetap melanjutkan studi saya di sini. Mohon maaf, saya tidak bermaksud berkeluh kesah. Tentu Gus Dur dan Gus Mus lebih mafhum tentang birokrasi di negeri ini ketimbang saya.”
“Gitu saja repot !” sergah keras Gus Dur. Memarahi saya.
“Terus saja belajar dan pantang menyerah! Saya ulangi lagi, pantang menyerah! Dulu, ketika saya masih menimba di sini, bersama Mustofa ini, keadaannya jauh lebih payah dan parah. Anda tentu tahu, ketika saya sedang belajar di sini, negeri ini dalam keadaan perang melawan Israel. Bayangkan, saat itu untuk mendapatkan beras dan gula sulitnya bukan main. Semua serba antri dan barang-barang itu hanya ada di koperasi. Setiap malam, lampu-lampu harus diredupkan. Malah, dipadamkan. Setiap kali sirene meraung-raung, kami harus segera harus lari ke bunker-bunker di depan flat yang kami tinggali. Meski begitu, kami tak pernah berhenti menimba ilmu. Gelar gak usah dijadikan patokan. Catat ini! Sekali lagi, catat ini! Kalau gelar berhasil diraih, ya alhamdulillah. Kalau gelar gak teraih, ilmu sebanyak-banyaknya harus kita bawa pulang ke negeri kita. Apa gunanya dapat gelar doktor kalau ternyata kemampuannya memble. Bukan begitu “gaya” santri Pak Ali Maksum dari Pondok Pesantren Krapyak (entah dari mana Gus Dur tahu bahwa saya pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta). Bayangkan, meski beliau hanya lulusan pesantren dan kemudian menimba di Makkah. Namun, beliau kemudian menjadi seorang guru besar Tafsir al-Quran yang disegani, meski beliau tanpa gelar sama sekali. Birokrasi di negeri ini jangan dijadikan alasan. Anda tahu maksud saya, kan. Gitu saja repot!”
“Benar kata Mas Dur tadi,” sahut Gus Mus. Membela Gus Dur.
“Kesulitan seyogianya tidak dijadikan alasan untuk tidak menimba ilmu sebaik-baiknya di negeri ini. Sebab, di sinilah sejatinya Anda bisa menimba ilmu-ilmu keislaman yang sangat kaya. Itu jika Anda tahu menyiasatinya. Khazanah ilmiah keislaman yang dimiliki negeri ini luar biasa kayanya. Baiklah, kayaknya Gus Dur saat ini sudah lapar. Ayo kita makan siang di math’am kawari (resto sup kaki kambing) di samping sebuah lorong di antara kedai-kedai di Khan Khalili itu. Dulu, math’am itu adalah langganan kami ketika kami lagi punya duit. Selepas itu, kita pergi ke Azbakiah, mencari buku-buku bekas yang gak ada di toko-toko buku.”
Kami pun kemudian menikmati makan siang di math‘am kawari ‘ itu. Duh, sedap!
Betapa saya bersyukur sekali siang itu, selain dapat bertemu dengan kedua tokoh itu tanpa direcoki oleh siapa pun, saya masih diajak menikmati kawari ‘ nan sangat lezat itu. Selepas menikmati kawari ‘, kami kemudian menikmati puding semolina, mahalabiyyah. Dan, tak lama selepas menikati sajian-sajian itu, Gus Mus tiba-tiba berucap kepada saya,
“Kalau Anda gak keberatan, bisakah Anda hari ini mengantar kami jalan-jalan ke Azbakiah, kemudian menuju Museum Islam, Masjid Sayyidah Zainab, Makam Imam Syafii, Masjid Muhammad Ali, toko-toko buku di seputar Medan Atabah, dan malam nanti kita langsung menuju markas Persatuan Pelajar Indonesia di Bab el-Louk. Bagaimana?”
“Sami‘nâ wa atha‘nâ, Gus Mus,” jawab saya. Takzim dan tak membantah sama sekali.
Benar saja, tak lama selepas menikmati santap siang, kami dengan naik bus yang padat penumpang kemudian menuju Azbakiah. Naik bus berdesak-desakkan demikian, Gus Dur dan Gus Mus senyum-senyum saja. Ketika telah berada di Azbakiah, di lokasi yang merupakan pusat buku-buku bekas itu Gus Dur dan Gus Mus menemukan sejumlah buku yang sangat berharga.
Menurut mereka, kala mereka masih menjadi mahasiswa di Kairo, mereka berdua kerap berjam-jam memburu buku-buku berharga yang sudah tidak diterbitkan lagi dan selepas itu menonton film di sebuah gedung bioskop di Talaat Harb St . Dan, dari Azbakiah, kami kemudian menuju ke arah Port Saeed St. dengan naik trem yang juga penuh dengan penumpang. Kami turun di halte dekat Museum Islam (yang kala itu masih menyatu dengan Dar al-Kutub al-Mishriyyah).
Ketika menjelang waktu isya, kami telah tiba di sebuah flat di Bab El-Louk, sebuah flat yang kala itu menjadi markas besar Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir yang terletak tidak jauh dari Medan Tahrir dan American University in Cairo.
Di flat itu, tentu saja kedatangan Gus Dur dan Gus Mus disambut hangat oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Mesir. Eh, keriuhan para mahasiswa Indonesia yang menyambut kedatangan Gus Dur dan Gus Mus itu ternyata membuat saya terjaga dari tidur yang sangat pulas. Dan, ternyata, semua kejadian yang saya alami tadi hanya mimpi belaka!
(Catatan kluyuran imajiner ini, secara khusus, saya sajikan kembali untuk para sahabat saya, para Alumni Mesir 1970-80. Di mana pun berada. Izayy akhbarku?).