Ditasbihkannya Jipang sebagai Tanah Brahmana oleh Raja Wisnuwardhana, berhubungan erat dengan pembelahan Jawa oleh Mpu Bharada.
“Wwanten Boddha Mahayanabrata pegat ring tantra yogiswara | sang munggw ing tengah i smasana ri Lemah Citrenusir ning jagat | sang prapteng Bali toyamargga manapak wwai ning tasik nirbhaya | kyati hyang Mpu Bharada wodha riy atitaditrikalapageh|”
Terjemahan bebas Negarakertagama pupuh 68, bait ke-2 di atas adalah:
“Ada seorang penganut Buddha Mahayana, unggul dalam ilmu Tantra, Yoga dan Mantra, teguh berada di tengah-tengah tanah pendharmaan (makam) Lemah Citra pelindung semesta. Sampai ke Bali dalam ketenangan samudra, menapak airnya tanpa gejolak bahaya, diberkahilah ia Mpu Bharada, dengan pengetahuan tentang tiga masa (masa silam, masa kini dan masa depan).”
Begitulah awal dari kisah Mpu Bharada yang terkenal dalam sejarah tanah Jawa, yang ditulis di dalam kakawin karya rakawi Prapanca, tentang kebesaran kerajaan Majapahit. Rupanya, Mpu Bharada — yang hudup pada abad 11 M — masih sangat dimuliakan sebagai tokoh Jawa paling terkemuka, setelah 3 abad kemudian (abad 14 M), dan menjadi teladan seorang rakawi Majapahit bernama Mpu Prapanca.
Naskah Negarakertagama, yang ditulis di abad ke-14 M itu, baru benar-benar disebarluaskan kembali ke penjuru negeri oleh Sarjana kebangsaan Belanda, Prof. Kern, di tahun 1918. Transliterasi dan terjemahan dari Kern sangat teliti, sehingga kakawin Negarakertagama versi terjemahan yang kita ketahui sampai sekarang (versi Slamet Muljana) pada dasarnya sangat identik dengan karya Prof. Kern, bahkan belakangan mengkorupsinya dengan menghilangkan tata-bahasa dari naskah asli.
Kisah pembelahan Jawa ini memang tidak sepopuler cerita Majapahit yang pernah menguasai Nusantara, namun pembelahan Jawa menjadi dua bagian ini, sangat membekas, dan justru dilakukan kembali oleh Belanda pada Kesultanan Mataram Islam di paruh abad ke-18 M.
Konteks maksud dan hasil memang cukup berbeda, sepertinya, pengulangan sejarah itu terjadi karena kesalahan pemahaman antropologi Jawa oleh seseorang Jawa sendiri. Bagaimanapun, cerita tentang Mpu Bharada itu begitu berkembang, mengesankan bahwa ia adalah tokoh mistis dan di luar nalar, karena dapat terbang atau mampu berjalan di atas air. Ia dikatakan dari Bali dan tinggal di sebuah wilayah tertentu bernama Lemah Citra.
Dilanjutkan dengan frasa pada bait ke-3:
“Rahyang teki pinintakasihan amarwang bhumi tan langghana | hinganyeki têlas cinihna nira toyeng kundi sangkeng langit | kulwan purwwa dudug ring arnnawa maparwa ng lor kidul tan madoh | kadyadoh mahêlêt samudra têwêk ing bhumi Jawarwa prabhu|”
Kata “arnnawa”, sebagaimana Prof. Kern, seringkali dimaknai sebagai “laut”, namun dalam sastra Jawa kontemporer juga berarti “Bengawan”, atau sungai besar, karena dapat dijumpai kesamaannya pada setiap “citra”. Lagipula dalam frasa di atas agaknya telah dibedakan dengan jelas antara kata arnnawa dengan kata samudra.
Sehingga bait ke-3 di atas, dapat diartikan sebagai :
“Dimintalah kepada sang pertapa untuk amarwwa (memaruh, mengimbang) bumi (Jawa), dengan bersedia ia (memaruh) dengan batas tetesan air kendi dari langit, Barat-Timur sampai di arnnawa, tak jauh darinya, diparuhnya wilayah Utara-Selatan, sejauh samudra, di kala bumi Jawa memiliki dua Raja.”
Bengawan pasti memiliki peran yang cukup dominan pada peristiwa abad ke-11 M dalam pembagian wilayah Jawa yang dilakukan Mpu Bharada. Sehingga menjadi dua kerajaan besar (Jenggala dan Panjalu), setelah era Raja Erlangga (Medang Kahuripan).
Bengawan yang disebut arnnawa dalam Negarakertagama, juga identik dengan Bengawan Solo, sehingga pemisahan teritori Jawa — yang sebenarnya merupakan kecenderungan alamiah — adalah pembagian wilayah Hulu dan wilayah Hilir Bengawan, beserta daerah tangkapan air yang memenuhinya.
Dan itu terbukti. Dalam keterangan prasasti abad ke-13 M, yaitu Prasasti Maribong (1248 M), Raja Wisnuwardhana memuliakan dan menghormati Maribong / Merbong (wilayah Jipang) yang berada di tepi Bengawan, sebagai tempat istimewa, Tanah Para Brahmana, karena telah berhasil menyatukan kembali Jawa.
Tetapi di abad 18 M, saat Mataram Islam dipecah menjadi dua (Kasultanan dan Kasunanan), Jipang malah dikurung dengan narasi; intrik dan dramatisasi sayembara perang sesama Islam di tepi Bengawan.
Mungkin, para pemecah kerajaan Jawa-lah yang harus disalahkan ketika membuat narasi itu, tetapi apakah itu penting, ketika orang-orang Islam-Jawa tidak pernah menanyakan; seperti apakah “air kendi dari langit” seorang Bharada?