Seekor buaya muncul di Jurang Marong, Desa Pagerwesi. Ia mungkin rindu. Memberontak dari masa lalu.
Satiman seperti gelisah. Pada Kamis (8/5/2025) malam, ia mendadak ingin menilik pancing yang dijegog di persawahan dekat Jurang Marong, Desa Pagerwesi, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro. Sebuah aktivitas yang tidak biasa ia lakukan pada malam hari.
Sampai di lokasi, Satiman terhenyak. Ia dikejutkan keberadaan seekor buaya di dekat pancingnya. Satiman pun mundur beberapa langkah. Memastikan apakah itu betul-betul buaya. Sekian detik, ia memastikan yang dilihatnya adalah buaya. Pasti. Bukan yang lain.
Kontan, Satiman pergi dari lokasi. Kembali ke permukiman. Melapor kepada para tetangga. Desa Pagerwesi pun gaduh. Sejumlah lelaki desa itu bergerak ke persawahan tepi Jurang Marong. Membawa lampu senter dan galah. Rombongan para lelaki ini dipimpin Satiman sendiri.
Tiba di lokasi, buaya yang mengejutkan Satiman masih ada. Hanya bergeser sedikit meter dari tempat mula-mula. Para warga yang dibawa Satiman mencoba mendekati buaya tersebut. Berupaya meringkus. Namun, gagal. Buaya lebih dulu menggeleparkan diri. Lari. Menuju Jurang Marong.
Kemunculan buaya di persawahan dekat Jurang Marong itu lalu menjadi misteri. Mengapa reptil yang dianggap berbahaya itu bisa muncul? Masyarakat Desa Pagerwesi betul-betul merasa ganjil. Berpuluh tahun sebelumnya, tidak pernah muncul buaya di Jurang Marong. Baru malam itu, malam Jumat Legi itu.
Kendati bukan warga Desa Pagerwesi, saya juga merasa ganjil atas kemunculan buaya berukuran sedang tersebut. Secara ekologi, Jurang Marong memang tempat yang proper bagi buaya. Jurang ini merupakan muara Kali Pagerwesi yang bersimpangan dengan Bengawan Jipang.

Jurang Marong punya kemiripan dengan muara Kali Kebonagung, Padangan, Bojonegoro—sama bersimpangan dengan Bengawan Jipang, juga beberapa kali menjadi tempat kemunculan buaya. Bedanya, muara Kali Kebonagung sudah mashyur akan hal itu. Jurang Marong baru sekali ini.
Baca Juga: Buaya Padangan, Mitologi Penguasa Bengawan
Lagi. Mengapa baru sekarang muncul buaya di Jurang Marong? Apakah buaya itu ‘’pendatang’’? Apakah sebelumnya ia bersembunyi saja di jurang yang jadi demarkasi antara Desa Pagerwesi dengan Desa Kanten, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro itu?
Achmad Gunawan Ferdiansyah, saat menjabat Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Dindamkarmat) Bojonegoro pada 2024 lalu pernah memastikan, bahwa buaya-buaya yang muncul rutin di Bengawan Jipang dan sekitarnya, merupakan buaya muara yang bermigrasi.
Perihal dari mana buaya itu datang, pria yang kini menjabat Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro tersebut tidak memberi keterangan detail. Artinya, bisa dari mana saja. Yang jelas, bukan dari alam ruh atau alam gaib.
Saya sendiri berpikiran lain. Menurut hemat saya, Jurang Marong memang habitat buaya. Secara ekologi, Jurang Marong cocok dihuni buaya. Secara historik dan sedikit metafisik, buaya patut dan pantas berada di Jurang Marong tersebut. Sebab, Jurang Marong merupakan tempat yang punya ‘’nilai’’.
Nilai atas Jurang Marong, bukan merujuk pada kegawatan atau keangkeran muara tersebut. Namun, karena Jurang Marong merupakan bagian penting dari peradaban kuno yang berlangsung di tengah atau di antara Bengawan Jipang dan gugusan Pegunungan Kendeng Utara—kini Desa Pagerwesi dan Kanten.
Pembaca bisa membaca lebih lanjut mengenai kegemilangan peradaban kuno di Bengawan Jipang—Pegunungan Kendeng Utara turut Desa Pagerwesi—Kanten dalam artikel lain Jurnaba berjudul Pagerwesi, Fakta Peradaban Kuno Bojonegoro. Sumbernya Prasasti Sangsang (907 M) era Medang.
Salah-salah, Raja Medang Dyah Baletung (898—910 M) dan rombongannya mengakses Jurang Marong untuk menjangkau dan memuliakan Sotasrungga—serta bersumpah di atas bukit sarat mata air yang kini berlokasi di perbatasan Kecamatan Trucuk dan Kecamatan Malo, Bojonegoro itu.
Risalah perihal Dyah Baletung di Sotasrungga, sebagaimana dicatat rakawi Medang dalam Prasasti Telang (903 M). Pembaca bisa menilik risalah Dyah Baletung tersebut dalam artikel lain Jurnaba berjudul Sotasrungga, Jejak Kemakmuran Bojonegoro.
Berdasarkan kepingan-kepingan masa lalu tersebut, sungguh pantas bila muncul buaya di Jurang Marong pada malam Jumat Legi lalu. Secara historik dan sedikit metafisik, ia tidak keliru berada di muara tersebut. Dan, saya meyakini, buaya di Jurang Marong itu tidak berbahaya.
Dalam kaidah semiotika Islam Jawa, Buaya merupakan simbol kedigdayaan Imperium Bengawan (Kesultanan Pajang) — penyelaras peradaban pesisir dan pegunungan — yang kebesarannya digelapkan Londo Jowo dan imperial-kolonial.
Jumat Legi dikenal sebagai rowahan Sinare Pajang. Munculnya Buaya Bengawan adalah salam rahmat sekaligus risalah penjagaan: bahwa Bengawan masih bertugas sebagai penyeimbang, antara peradaban pesisir dan peradaban pegunungan.
Dalam konteks ini, Buaya adalah penjaga. Ia dimarkaskan di situ oleh masa lalu. Bertahan dan terus bersembunyi dari generasi ke generasi. Baru muncul lagi sekali ini. Ia sudah kembali. Memberontak dari masa lalu yang selama ini kelabu dan kelu.
Ia akan menunaikan tugasnya dengan lebih eksplisit lagi. Akan menjaga sempadan Bengawan Jipang sepanjang Desa Pagerwesi dengan lebih nyata. Lebih kentara. Menampar muka setiap narator pencerita yang pernah memburukkan wilayahnya.