Burung perkutut terkenal sebagai burung mistis nan misterius. Tapi, benarkah burung tersebut juga mampu mendatangkan rezeki?
Burung perkutut konon pembawa rezeki. Tiga anak yang runtang-runtung setiap malam. Tidak pernah tidur hanya ingin mendapatkan perkutut pembawa rezeki. Malam Jum’at Wage tepatnya, Zali, Sadi dan Uyep, sudah berjanjian di warung kopi dekat pertigaan desa.
Mereka berangkat hanya membawa sarung dan senter, peralatan berburu pun juga tidak membawa.
“Mau kemana kalian,” tanya Pak Sadi pada tiga pemuda itu.
“Ke warung, Pak,” jawabnya serentak.
“Kalau gitu hati-hati, Le.”
“Mari, Pak.” Ketiga dari mereka sampai di warung, dan segera pesan kopi. Uyep tampak bersemangat sekali, dia sangat suka dengan berbagai macam burung dan petualangan.
Entah kenapa Zali tampak loyo, badannya pun agak pucat. Zali begitu ingin sekali ikut jelajah malam hari. Sebab, dia tidak pernah sama sekali keluar malam. Mamanya juga betul-betul melarang.
“Wajahmu kenapa, Zal?” Tanya Sadi.
“Gak papa kok, Sad,” jawab Zali dengan sedikit grogi. Dia khawatir kalau pulang nanti dimarahi Mamanya. Begitu juga tidak berani bicara yang sebenarnya pada teman-temannya.
Kopi sudah semakin dingin, Lalat pun hinggap di tepi cangkir. Lalat pun pernah meminumnya, dan apalagi menjilat. Dia adalah hewan yang sangat istimewa. Hanya memandangi kopi yang semakin dingin. Suasana pun ikut dingin, sebab semua pada sibuk dengan gadget kesayangan mereka.
Sudah lama mereka berdiam diri, Lalat hanya menyaksikan mereka. Lalat itu, tidak bisa menyuruh berangkat. Lalat sadar diri, bahwa ia bukan siapa-siapa. Dan tak punya hak atasnya. Kian lama kian membosankan. Mereka pun bergegas berangkat.
Uyep menyisir dari samping sawah, ada banyak pepohonan yang dibuat tidur oleh Burung Perkutut. Uyep tak kunjung menemukan Perkutut berwarna putih yang diidamkan. Zali hanya iseng melihat-lihat atas pohon. Tak lama kemudian Perkutut Putih tampak di depan matanya.
“Yep, itu ada Perkutut Putih,” kata Zali sembari mengecilkan suaranya.
“Dimana, Zal.”
“Itu di sana,” Uyep tampak senang dan segera menangkapnya. Dia mengambil kantong plastik, sebab Perkutut Putih terletak di ranting pohon yang cukup bawah. Tidak berpikir lama, Uyep langsung menangkapnya. Dia meringkus Perkutut itu, tapi perkutut berhasil bangun dari tidurnya dan terbang.
“Sadi, bantu aku jangan diam saja.” Ujar Uyep dengan nada kesal. Perkutut Putih kabur lebih jauh dar tempat sebelumnya. Berada di ranting pohon paling atas. Sadi hanya diam saja, tidak merespon apa yang diminta Uyep.
Uyep ingin sekali menangkap Perkutut Putih itu. Tak menunggu lama, dia langsung memanjat pohon itu. Dan akhirnya, Uyep berhasil menangkap burung Perkutut dengan susah payah. Dia pun sangat senang, konon Perkutut Putih adalah pembawa rezeki.
Perkutut dibawa pulang dengan penuh kegembiraan. Hanya dengan kantong terbuat dari sarung, perkutut tidak bisa melawa. Sama saja dia masuk dalam penjara. Sesampainya di rumah, Uyep langsung memasukkan Perkutut ke dalam sangkar berbalut besi.
Ia yakin bahwa Perkututnya pembawa rezeki. Setelah beberapa hari ia lalui, Perkutut itu tidak juga memberi rezeki. Kini keberadaannya dipindah, yang mulanya ada di ruang belakang, saat ini Uyep menaruh di kamar Bibinya. Selang beberapa hari juga tak ada harta karun emas.
Setelah beberapa hari menunggu Uyep merasa gelisah, dia beranggapan ingin membuah Perkututnya. Tapi, anggapan itu kembali ditarik secara cepat, seperti tarik tambang pada lomba Agustusan. Bibi bertanya apa maksud Uyep menaruhnya di kamarnya.
“Ini kenapa kok di sini, Yep?” Tanya Bibi dengan suara sedikit tinggi.
“Perkutut itu pembawa rezeki, Bi.” Sahut Uyep dengan cukup percaya dengan perkutut itu. Setelah beberapa hari tidak ada tanda-tanda pembawa rezeki itu. “Kenapa gak ada tanda-tanda sama sekali.”
Uyep bingung dengan hal ini. “Apa aku terlalu percaya dengan mitos-mitos itu.” Uyep keras kepada ingin membuktikan hal itu.
Perkutut berada di atas tempat tidur Bibi. Sudah semestinya Bibi pun risi dengan itu, tapi Uyep menghiraukan apa yang Bibi inginkan. Uyep sangat keras kepala. Bibi melihat Perkutut yang katanya sakral itu saat mau tidur. Tiba-tiba perkataan Uyep nyeleneh.
“Jangan lihat itu terus Bik, nanti ada apa-apa lho.” Ujar Uyep.
Mitos-mitos yang dipercaya bukan malah menjadi terbaik, melainkan momok yang besar terhadap Uyep dan sekitarnya. Di atas tempat tidur si Bibi sering memandangi Perkutut itu. Suatu ketika Bibi jatuh sakit dan beberapa rumah sakit sudah menjadi tempat Bibi berbaring dan menyembuhkan penyakitnya.
Tepat pada pukul 17.15 Bibi menghembuskan nafas terakhir dan Perkutut masih di atas tempat tidur si Bibi. Dan tangis haru menyelimuti Uyep dan keluarganya. Semenjak kejadian itu Uyep tak lagi menaruh semua jenis burung. Dan dia juga merenungkan kejadian yang telah menimpanya.
Pasca Bibi meninggal, Uyep semakin merenung. Tanpa dia sadari, perkutut itu juga bisa membawa sial. Memang, mitos juga bisa dipercaya, kebenyakan tidak perlu dipercaya. Kebiasaan berburu burung saat malam hari kini sudah tidak dilakukan oleh Uyep dan kawan-kawannya. Mereka semua sudah berhenti.
Kecewa itu sudah pasti. “Kenapa si Bibi harus meninggal?” Tanya Zali sembari air matanya dlewer-dlewer. “Kita semua harus percaya takdir. Bisa jadi, bukan lantaran perkutut itu, Zal.” Jawab Sadi. “Yaaah, kematian memang banyak versi, semua sudah diatur oleh sang Kholik.” Desah Sadi dengan menggaruk rambutnya yang tak tertata rapi.
“Sudah, jangan banyak bicara,” sahut Uyep, nada kesal. “Daripada semuanya seperti ini mendingan kita berdoa saja, semoga si Bibi diterima di sisi sang Kholik.” Ujar Uyep bak santri yang baru keluar dari pondok.
“Memang, semua sudah terlanjur, kita harus bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Menyesal itu boleh, tapi jangan sekali-kali membuat penyesalanmu, menjadi beban dalam hidupmu.” Tutur Pak Sadi, yang kemudian menghampiri kami bertiga.
Semua terasa lega dan mencoba ikhlas. Uyep pun angkat bicara, “mending kita melakukan kegiatan kita masing-masing, jangan terlalu dipikir dalam. Semua akan kembali kepada sang pencipta alam.”