Di sepanjang jalanan, penuh dengan kenangan dan penuh dengan simpanan. Simpanan bahagia dan duka yang terus menganga.
Sebuah Bus Kota membawaku pergi dari kampung halaman menuju kota Minak Jinggo Banyuwangi. Dan tiba-tiba, kenangan terasa ndusel-ndusel di dalam dada.
Hampir sebelas jam lamanya aku terbawa Bus hingga sampai di perempatan jalan menuju gerbang Pesantren Darussalam Banyuwangi.
Tentu, banyak kesedihan dalam perjalanan, aku selalu mengingat si-dia yang pernah ketemu di terminal Lamongan, kebetulan dia juga seorang santri dari salah satu Pesantren di Kota Gresik.
Entah selang beberapa bulan kemudian, kami tidak lagi bisa meneruskan komunikasi antar sesama, karena terhalang oleh perjalanan dengan bersandang status taarufan, amung kenal lan tresno ora sampai dadi keluargo.
Bekas Terminal Lamongan menjadi kenangan, ketidaksengaajaan bertemu seorang santriwati berparas ala tradisi Jawa, mengenakan jarik dan berjilbab putih.
Awal perkenalan, kami saling catat nomer satu sama lain, karena keterbatasan alat komunikasi, begitulah di pesantren tidak boleh membawa hape.
Selang lebaran tiba, aku harus berdiam diri menikmati suara-suara takbiran sambil meneteskan air mata. Sebab tak bisa kumpul bersama keluarga. Semakin tidak tenang, saat terbayang wajah si dia yang kujumpai di terminal waktu itu, tak memberi kabar juga.
Entah apa yang membuatku resah, disepanjang jalanan, penuh dengan kenangan dan penuh dengan simpanan. Simpanan bahagia dan duka yang terus menganga.
Kadang aku bingung. Hidup sekadar mencari kebaikan dan kebahagiaan, kenapa justru cinta hadir membawa luka yang mendalam, mengisi narasi kehidupan dengan penuh kedustaan, memang saya sadar, aku bukan siapa-siapa, baru saja kenal masa langsung cinta.
Tresno iki wis tak perjuangne sampai batas kemampuan, tetapi Tuhan berkehendak lain, seseorang yang selalu kuimpikan sudah mencintai orang lain, membangun rumah tangga bersama, dan dia sangatlah cepat melupakanku.
Muhammad Andrea adalah pengelola air mata dan aktivis yang tidak suka menangis.