“Modernitas telah membuat ilusi bahwa setiap kita dan kota harus penuh dengan gedung pencakar langit yang sama. Baju yang sama. Makanan yang sama. Gaya hidup yang tiada beda. Tanpa kita sadari, semuanya pernah punya identitas yang berbeda. Apa esensi dari mobilitas, jika tempat kita berasal berwajah sama dengan tempat yang ingin kita tuju?”
Tulisan dan potret di atas diambil pada 2017. Kala itu Surabaya hujan, menghapus debu Bojonegoro yang turut dalam perjalanan. Bojonegoro – Surabaya, dua kota yang secara lokasi tidak jauh, namun (kata mereka) laju pembangunannya sangat jauh.
Tulisan seorang penstudi Barat mengingatkanku pada pentingnya kontras, pentingnya perbedaan. Katanya, perbedaan itu batasnya samar, namun semakin kentara ketika memasuki momentum-momentum tertentu di mana idealisme tidak lagi sejalan.
Meskipun begitu, kontras atau perbedaan itulah yang membentuk identitas. Analoginya, warna merah pada lampu rambu lalu lintas tidak dapat didefinisikan berhenti apabila tidak ada kontras atau pembedanya, yaitu hijau yang berarti jalan.
Dapat dikatakan bahwa kondisi yang saling kontras inilah yang memberikan makna bagi satu sama lain. Sama halnya dengan kontras yang ada pada potret di atas. Idenya sama, yaitu gedung, namun idealismenya berbeda, yang satu mempertahankan gaya era kolonial Belanda, yang satu menggambarkan modernitas dunia.
Kontras itulah yang mendorong saya menulis rubrik Cecurhatan Milenial. Mencoba menggali identitas, dalam derasnya laju dunia, yang pada medium ini akan saya kaitkan pada tempat kita saat ini, Bojonegoro.
Era revolusi industri yang telah mencapai tahap 4.0 saat ini memberikan peluang seluas-luasnya bagi manusia, terutama garda terdepannya: milenial, untuk mengembangkan diri melalui podium digital.
Revolusi industri 4.0 mengantarkan manusia integrasi dunia online/ daring dengan produksi industri, menekankan pada pola ekonomi digital, artificial intelligence atau kecerdasan artifisial, big data, robotika, dan elemen-elemen disruptive innovation lainnya. Dengan kata lain, saat ini kita hidup dalam era manunggaling manungsa dan craft of science atau kerajinan sains.
Dari kacamata perkembangan dunia yang serba cepat, dan mendesak manusianya untuk berkejaran dengan waktu, inilah saat yang tepat untuk berjalan pada jalan pertengahan, jalan yang seimbang antara langkah dunia dan tempat kita berpijak saat ini.
Tulisan Cecurhatan Milenial ini akan hadir dalam beberapa bagian yang terpisah. Ibarat batu pijakan, setapak demi setapak untuk memahami laju perkembangan dunia melalui kisah-kisah yang disaring untuk menemukan pesan yang bermakna.
Saya percaya, manusia tidak akan berhenti dalam pelariannya mengejar apa yang disebut puncak; puncak kesuksesan, puncak karir, puncak pelaminan, atau apalah itu sebut saja semuanya. Namun, pengamatan saya selama ini berakhir pada satu pemahaman bahwa wong Bojonegoro punya keistimewaan dalam memahami “laju dunia”.
Wong Bojonegoro terkesan lebih santai dalam menghadapi segala sesuatu, khusyuk pada wejangan alon-alon asal kelakon, dan tidak melupakan komunalitas atau keluarga, tanpa tenggelam dalam wacana yang menurut saya kontra-produktif, semacam mangan ora mangan asal kumpul.
Wong Bojonegoro punya lajunya sendiri, punya arahnya sendiri. Hanya saja, tidak banyak yang menyadari hal itu, selain mereka yang sudah lama pergi, dan melihat Bojonegoro dari kejauhan.
Berangkat dari pemikiran tentang wajah kota yang beranjak menjadi seragam, Cecurhatan Milenial akan menjadi wadah bagi saya untuk menuangkan apa yang saya lihat dari kejauhan, dan penyesuaian dengan laju wong Bojonegoro yang unik itu sendiri.
Harapan yang paling utama, Cecurhatan Milenial menjadi medium untuk terus menggali siapa kita dalam laju dunia. Tidak tergerus, tidak tenggelam, namun tidak terpinggirkan. Kita adalah laju dunia itu sendiri. Dengan cara kita sendiri.
Comments 2