Aku tidak mungkin lupa. Sebelum menjadi laki-laki tua yang menderita, Muklis adalah pemuda dua puluh lima tahun paling menyenangkan yang pernah kujumpai.
Aku ingat bagaimana ia dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi, berhenti dari pekerjaannya untuk menikmati hidup.
Tiga puluh tahun yang lalu, kami bertemu di warung kopi di dekat rumahku. Ia menawarkan rokoknya yang hanya tersisa dua untuk mengajakku ngobrol basa-basi.
Dengan pakaiannya yang begitu rapi, aku memiliki dua dugaan. Jika bukan pegawai kantoran, maka ia adalah anak muda yang sedang mencari kerja.
“Kerja di mana, Mas?” tanyaku sembari menutup buku yang sedang kubaca.
“Itu,” ia menunjuk gedung menjulang tinggi yang terlihat dari tempat kami ngopi. “Penjara. Hahaha.” Kami tertawa. “Lanjutkan saja kalau mau membaca, Mas.” Ia mempersilakanku sembari mengambil asbak hendak beranjak.
“Santai saja, Mas. Sudah selesai juga ini.” Aku menyambut rokok di bungkus yang ia sodorkan tadi. “Tinggal satu, nggak papa nih?”
“Monggo.” Ia kemudian membuka kresek hitam yang dibawanya. “Aku punya banyak amunisi,” ucapnya menunjukkan satu kresek penuh tembakau beserta kertas pembukus rokok. “Kalau habis tinggal bikin sendiri.”
Dari dia aku kemudian tahu bagaimana meracik rokok sendiri dan di mana mendapatkan tembakau yang dijual kiloan. Informasi itu tentu saja membantu kala tak satu pun tulisanku dimuat di media.
Setelah perjumpaan pertama itu, kami lebih sering ngopi bersama, terutama di jam-jam istirahat dan sepulang waktu kerjanya. Dari dia aku banyak mendapat ide untuk membuat cerpen, yang tentu saja honornya cukup untuk menyambung hidupku hari ke hari.
Seperti suatu hari dia dengan lemasnya datang ke warung kopi sepulang kerja. Ia berkata bahwa hari ini ia mendapat gajian. Aku justru bingung kenapa wajahnya tampak lemas dan lesu.
Kemudian ia berkata bahwa tidak ada yang menggairahkan lagi dari pekerjaannya. Ia juga tidak lagi bergairah menggunakan gajinya. Itu kali pertama aku tahu ada orang yang kebingungan menghabiskan uangnya.
“Jam 1 nanti ada pertandingan Barca lawan Madrid. Pasang saja uangmu untuk taruhan,” ucapku sembrono karena sebal melihat jarak finansial kami yang begitu lebar.
Aku justru menantikan besok dengan tidak sabar, sebab Pimpinan koran terbesar di Surabaya yang kukirimi cerpen dua hari lalu berkata bahwa ia akan membayarkan honorku besok.
Muklis justru tidak peduli dengan gaji yang barusan ia terima, yang tentu saja tidak sedikit. Sebab UMR Surabaya adalah nominal terbesar kedua setelah DKI Jakarta. Gajinya bisa jadi lebih besar dari UMR.
Dia melirik ke arahku, masih dengan posisi malasnya, lantas berkata, “Oke!” Dengan segera ia duduk dan mendekatiku. “Siapa jagoanmu?”
“Barca. Kenapa memangnya?”
“Keduanya bukan tim favoritku. Lagian aku juga lama tidak menonton bola. Kupasang Barca. Kalau kalah, belikan aku kopi sebulan ini. Kalau menang, uangnya kita bagi dua.”
Ia menyodorkan buku rekening berwarna kuning. Saat kau lihat isinya, jumlah saldonya cukup banyak. Terdapat “0” di belakang deret angka yang cukup panjang.
“Semua?”
“Semua.”
Kami saling bertatap mata untuk meyakinkan satu sama lain bahwa aku harus bertanggung jawab membelikannya kopi selama satu bulan penuh jika kalah. Jumlah yang benar-benar tak seberapa jika dibanding uangnya yang akan kami gunakan untuk bertaruh.
“Kampret! Aku mesti mencari Bandar secepatnya.”
“Butuh cash?”
“Biarkan uangmu di bank dulu, sementara aku mencari bandar mana saja kita bisa ikut bertaruh.”
Itu taruhan terbesar yang kumainkan sepanjang hidupku. Sepuluh juta uangnya melayang beserta kekalahan Barca yang begitu tragis. Untungnya honor lima ratus ribu yang kuterima bisa menyelamatkan nasib kopi kami selama satu bulan ke depan.
Selama itu, ia rajin datang dengan membawa nasi bungkus seharga empat ribu rupiah yang dibelinya di perempatan STIKOM. Dan, dengan rasa bersalah, kubelikan sebungkus lagi nasi kucing beserta gorengan di tempat kami ngopi.
“Aku masih menyisihkan tiga ratus ribu di rekening. Jaga-jaga kalau prediksimu meleset,” ucapnya menenangkanku yang terlihat bersalah karena membakar habis uangnya.
Aku ingat betul bagaimana kami tertawa dengan begitu keras sampai-sampai aku tak tahu lagi kegoblokan yang lebih dari itu. Tapi itu kali pertama kulihat ia begitu bergairah sepanjang perkenalan kami. Selesai aku membayar dua cangkir kopi beserta sebungkus nasi kucing dan gorengan, dia justru menahanku.
“Memangnya kamu pulang itu mau ngapain? Ada yang dipeluk?” ujarnya menyindirku. Iya, masing-masing kami adalah jomblo, dan sama sekali tidak memikirkan perihal perempuan atau pun cinta.
Hidup ini indah begini adanya. Pernikahan dan relasi-relasi semacam itu mungkin tidak cocok untuk kami yang menjunjung tinggi kebebasan di waktu itu.
“Sudah jam 2 pagi. Kamu mau tidur di sini?”
“Nggak. Aku mau keliling kota.”
“Untuk?”
“Seliter bensin harganya berapa ya?” ia justru balik bertanya.
Kupikir ia kehabisan bensin dan hendak memintaku membelikan. Rupanya tidak. Ia justru mengajakku berkeliling kota dan membagikan bensin yang ia beli dengan sisa uangnya. Dua ratus ribu dan ludes semua uangnya.
“Aku punya seratus ribu di kantong. Cukup untuk satu minggu sembari menunggu gajian selanjutnya. Hahahaha.”
Dia adalah manusia terbodoh yang pernah kutahu. Aku benar-benar tidak paham bagaimana dia berpikir. Dia masih punya satu minggu tersisa sebelum gajian di tanggal 1, tapi ia seolah tidak mengkhawatirkan apapun yang akan terjadi besok.
“Bagaimana jika tidak ada orang?” tanyaku menggoyahkan niatnya.
“Kujadikan bensin ini stok selama beberapa bulan.”
Ada sekitar lima belas botol air mineral besar berisi bensin yang ia angkut di kanan dan kiri motornya, dengan tas ala tukang pos. Ia benar-benar tampak bahagia. Sepanjang jalan merancau tentang berbagai hal yang melintas begitu saja di kepalanya.
Pertama, ia mengomentari kehidupan orang-orang di masa sekarang. Mereka yang begitu menakuti masa depan yang belum tentu ada. Menghabiskan seluruh hidupnya untuk menderita di tempat kerja dan selepasnya menghabiskan uang yang ia hasilkan dari bekerja untuk menghibur diri dengan tipu-tipuan kapitalistik.
“Dengar, Ron. Mereka tidak meningkatkan perekonomian, tapi hanya menumbuhkan daya beli masyarakat. Orang-orang dipaksa bekerja untuk mendapatkan uang yang banyak, untuk lantas memberikan kembali uang-uang tersebut kepada mereka lewat berbagai cara: hiburan, pakaian, makanan, minuman dan semuanya. Kebahagian-kebahagiaan yang telah mereka konstruksikan dan jual kepada kita untuk mendapatkan kembali uang-uangnya. Masyarakat tidak mendapatkan apa-apa, tidak juga menjadi berdaya. Malahan menjadi bergantung. Mereka hanya diperas keringatnya.”
Aku mendengarkan saja pikiran-pikirannya yang kadang juga tak kumengerti. Aku hanya mengangguk sesekali. Ia tiba-tiba berhenti merancau, lantas kulihat di depan kami ada seorang yang sedang mendorong motornya.
“Kenapa motornya, mas?” Tanya Muklis tanpa turun dari motor dan membuka helm.
“Kehabisan bensin, Mas.”
“Ini, Mas.” Ujarnya menyodorkan sebotol bensin, lantas pergi tanpa mengucap apapun.
Segala tingkah polahnya tidak pernah terduga. Seperti yang kukatakan bahwa aku ingat setiap detail. Suatu siang ia datang ke warung kopi tepat ketika aku baru saja duduk menyeduh kopiku.
Itu adalah siang bolong ketika matahari masih tepat berada di atas kepala. Ia datang dengan menggunakan kaos pendek berwarna merah dan celana kolor, dan mengatakan ia baru saja membawa pulang barang-barangnya yang berada di kantor.
Ia sudah mengundurkan diri dari pekerjaan yang ia jalani sepanjang 7 tahun.
“Memangnya kenapa kamu berhenti?” tanyaku padanya.
“Menikmati hidup selagi bisa,” jawabnya.
“Terus kamu mau kerja apa?”
“Apa saja yang kusuka.”
Setelahnya ia menggunakan uang tabungannya untuk kembali berjudi. Kadang menang, tapi seringkali kalah. Ia juga membeli banyak buku, lantas membaca dan meminjamkannya padaku.
Lepasnya, ia membuat rangkuman dan mengirimkannya ke media-media. Pengetahuan itu mengantarnya dari satu acara ke acara lain sebagai pembicara. Ia mengoceh bak nabi dengan semua peserta diskusi yang mendengarkan.
Dia benar-benar kawan yang menyenangkan, yang selalu datang di setiap ibadah kopi dan membagi banyak hal yang ia dapatkan selama berjalan-jalan, dari satu kota ke kota lain untuk menjadi pembicara.
Kadang ia datang dengan cerita saja, kadang juga dengan oleh-oleh, entah sebungkus kopi khas atau pernak-pernik lainnya.
Muklis sudah seperti pemilik warung kopi. Ia datang sesaat setelah warung itu buka dan pulang bebarengan dengan tutupnya warung. Ia datang menemani setiap kawan yang butuh teman bicara, tapi juga kadang menghilang tanpa ada siapa pun yang tahu keberadaannya, kecuali Tuhan.
Suatu ketika aku tak melihatnya selama satu minggu di seluruh warung kopi langganan kami. Itu proses menghilang terlama. Biasanya hanya dua atau tiga hari. Teman-teman yang dia kenal juga tak tahu keberadaannya.
Kali itu aku berniat mengembalikan novel yang telah kupinjam sekian lama, tapi tak juga kutemui batang hidugnya. Ia juga tak bisa dihubungi melalui apapun. Teleponnya mati, atau mungkin nomornya telah diganti. Kamar kosnya sepi, atau mungkin telah ditinggalkan.
Di suatu ketika, ia datang padaku secara tiba-tiba. Setelah menghilang cukup lama, bak angin barat yang berhembus, ia berkata hendak melabuhkan dirinya.
Aku lantas menangkap alasan ia hilang selama itu. Ia dibuat benar-benar gila oleh seorang perempuan yang ia temui ketika mengisi diskusi.
“Gadis itu berbeda, Ron. Dia paham apa yang kubicarakan. Dia tersenyum, dan itu senyum paling manis yang pernah kulihat. Aku akan menikahinya. Kami akan memulai hidup yang luar biasa.”
Malam selanjutnya, Muklis membawa serta perempuan yang diceritakan tempo hari. Perempuan dengan kacamata kotak dan rambut cepak sebahu. Ia memang tampak seperti perempuan yang menarik.
Kupikir semua akan baik-baik saja. Muklis masih akan menjadi Muklis, hanya saja dengan teman diskusi yang baru. Tapi, itulah pembuka dari semua perubahan.
Di ibadah perkopian, Muklis tak lagi punya keriangan dan mata berbinar. Ia lebih sering tertunduk menatap koran, mencari lowongan pekerjaan. Saban hari ia menjadi resah akan kepastian nasibnya di masa mendatang.
Benar saja, membawa diri sendiri tak sama seperti membawa dua orang bersamaan. Ia akan memiliki tanggung jawab atas keluarganya.
Masa-masa selanjutnya justru lebih parah. Ibadah perkopian tak lagi ada dalam jadwal rutinnya. Ia hanya tampil sesekali dan berlalu cepat sekali.
Seperti orang yang dikejar-kejar waktu. Setelah menikah, ia justru tak sama sekali menampakkan batang hidungnya. Kami hanya bertemu di acara diskusi sesekali.
Di beberapa kesempatanku bertemu, dia dengan gencarnya mempromosikan pernikahan. “Menikahlah! Kalau istrimu baik, maka kau akan bahagia, kalau istrimu tidak baik, maka kau akan jadi filsuf. Hahaha.”
Menikahlah? Terdengar seperti saran kebanyakan orang tua pada anak-anak lajangnya. Aku tidak habis pikir bagaimana ia sampai pada keputusan untuk mengurung diri di dalam institusi pernikahan?
Padahal cinta bahkan tidak ada dalam daftar isi buku-buku bacaannya. Sekarang, ia bahkan mematok tarif untuk permintaan menjadi pembicara. Padahal dulu, dibayar dengan rokok sekalipun ia tak akan mempermasalahkan.
Ia serupa orang-orang yang gemar menimbun kekayaan dan begitu khawatir akan nasibnya di tahun-tahun mendatang. Lambat laun perutnya menjadi buncit dan kewalahan berjalan.
Ia bertengkar hebat dengan istrinya untuk permasalahan uang, Tuhan mereka yang baru. Tahun demi tahun berjalan, ia selalu tampil dengan bibirnya yang dilipat rapat dan mata yang memandang sinis pada apa saja.
Tidak heran karena hidup telah menjanjikannya banyak hal, tapi memberinya terlalu sedikit.
Ia lemah di hadapan harapan, yang kemudian menyulapnya menjadi laki-laki pemurung. Jika cinta itu anugerah, kenapa ia mengubah periang menjadi murung seumur hidupnya?