Suwuk merupakan tradisi ilahiah. Suwuk juga tradisi ilmiah. Ia serupa hipnoterapi dalam konsep barat. Suwuk harusnya dekat dengan santri dan akademisi.
Di era disrupsi teknologi seperti saat ini, metode suwuk kerap dipandang kampungan sekaligus ganjil. Ada sejumlah anggapan umum tentang konsep suwuk yang sesungguhnya kurang tepat.
Pertama, oleh agamawan-fundamentalis-kaku, suwuk dianggap kegiatan syirik karena menjauhi ajaran agama. Kedua, oleh motivator-ilmiah-modern, suwuk dinilai tak ilmiah karena kerap menanggalkan logika.
Tentu saja, dua anggapan itu ada benarnya. Tapi tak boleh dipukul rata. Sebab, hakikat suwuk justru lahir dan berkembang dalam peradaban Islam. Justru, suwuk yang tanpa ada rapalan doanya, itu bukan suwuk, tapi niup lilin ulang tahun.
Karena itu, pemahaman tentang suwuk ini harus segera diluruskan. Sehingga generasi penerus bisa tahu hakikat suwuk. Dalam kata lain, suwuk harus dikembalikan pada khittoh-nya sebagai konsep ilahiah nan ilmiah.
Nah, ketika ada oknum yang nyuwuk tanpa melibatkan Allah, itu boleh disebut syirik. Tapi bukan berarti secara umum suwuk syirik. Sebab, kalau mau menghitung, jumlah suwuk yang pakai nama Allah sebagai wasilah, tentu lebih banyak dibanding suwuk yang tidak.
Sependek pengetahuan dan selemah ingatan saya, suwuk yang sebenarnya justru tidak syirik sama sekali, karena kerap melibatkan Allah — dalam hal ini doa dan Kalamullah — sebagai wasilah penyembuhan.
Suwuk merupakan representasi penghambaan manusia pada Allah. Metode bertawakal kepada Allah, melalui pembacaan doa dan orang Sholeh. Karena itu, suwuk pasti melibatkan Allah. Jika tidak, itu bukan suwuk, tapi manicure-pedicure.
Sejak kecil saya sangat dekat dengan suwuk. Bahkan identik bocah suwukan. Tak terhitung berapa kali saya disuwuk, baik oleh Kiai maupun oleh keluarga saya sendiri. Suwuk merupakan tradisi yang tak asing dalam keluarga kami.
Semasa kecil, orang tua saya sering meminta saya minum air suwuk dari Kiai. Biasanya saat sedang sakit atau dalam kondisi-kondisi tertentu. Air minum suwuk biasanya berisi air dan suwukan doa dari Kiai.
Ada kisah menarik sewaktu saya kecil. Tepat di malam hari ketika saya usai disunat, saya merasakan sakit luar biasa di ujung titit saya. Padahal sejak pagi, siang, sore, tak ada rasa sakit apapun. Ternyata, rasa sakit itu terjadi karena patirasa (obat bius) nya habis.
Orang-orang rumah yang jarang melihat saya menangis pun kebingungan. Mau dibawa ke dokter sudah tutup. Tapi mau dibiarkan saja, tak tahan mendengar saya yang menangis secara terus-menerus tak mau berhenti.
Melihat kondisi itu, bapak pun segera keluar rumah. Saya tak tahu apa yang beliau lakukan. Beberapa saat kemudian, bapak datang bersama Mbah Yai yang rumahnya tak jauh dari rumah saya. Mbah Yai langsung mendatangi saya yang saat itu masih nangis kencang sekali.
Tanpa ba-bi-bu, Mbah Yai mendekati saya, lalu membuka sarung saya. Beliau melihat letak ujung titit saya sambil merapal doa, kemudian meludahi titit itu sebanyak tiga kali. Ajaib. Rasa sakit di bekas potongan sunat itu tiba-tiba hilang begitu saja.
Rapalan doa Mbah Yai yang sayup-sayup saya dengar sesaat sebelum meludahi titit saya itu, seperti menembus kepala dan menancap di dada saya. Sampai hari ini pun, saya tak pernah lupa dengan doanya.
Suwuk Ilahiah
Suwuk tentu konsep ilahiah. Sebab, selalu menyertakan nama Allah dan ayat-ayat Allah sebagai wasilah kesembuhan. Air, doa, garam, dan ayat-ayat Al Qur’an merupakan instrumen suwuk yang masyhur dikenal masyarakat secara umum.
Suwuk jelas punya dalil Naqli yang sangat kuat. Yakni dalam Qur’an surat Yunus. “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Alquran) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang beriman” (Q.S Yunus [10]: 57).
Qur’an memiliki banyak nama. Salah satunya ya asy-Syifa yang berarti obat penyembuh. Nah, Quran jelas sebuah obat. Terlepas teknis pengobatannya dirapal atau ditiupkan ke air (suwuk), itu hanya soal teknis di lapangan saja.
Air, salah satu instrumen suwuk, juga punya dasar yang kuat. Itu terlihat pada ayat: “…Dan Kami ciptakan dari air segala sesuatu yang hidup…..” (Q.S. Al Anbiya:30).
Lihatlah, betapa air merupakan sesuatu yang tidak sederhana. Ia mampu memicu sesuatu menjadi hidup. Maka tak heran jika kombinasi doa (ayat Qur’an) dan air mampu jadi instrumen terpenting konsep suwuk.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sendiri sejak dulu juga berpesan dalam hadis tentang pemanfaatan Qur’an untuk obat. Kepada para sahabat yang sakit, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sering berpesan; “Bagi kalian, ada obat penyembuh, yaitu madu dan Alquran (H.R Ibnu Majah dan al-Hakim).
Ini menunjukan betapa konsep suwuk memang sesuai ajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sebab, madu atau air yang dibacakan ayat Qur’an adalah obat. Proses meniup madu atau air dengan bacaan Quran ini, disebut suwuk. Ya kan tidak mungkin, madu atau air dicampur mushaf lalu dikonsumsi. Ada-ada saja.
Suwuk Ilmiah
Motivator-modern-ilmiah atau para Motivator Kesuksesan Hidup yang sering memandang sebelah mata konsep suwuk, tentu tak paham jika suwuk adalah motivasi itu sendiri.
Ini harus dipahami agar para motivator itu tahu, bahwa dalam konsep psikologis, suwuk adalah bagian dari sugesti ilmiah. Bedanya, suwuk sugesti yang berwasilah. Sugesti yang punya medium.
Suwuk, secara terminologi bahasa, memang tak ditemukan di KBBI. Dan mungkin gara-gara itu, para motivator ilmiah sering memandang sebelah mata konsep suwuk.
Padahal, suwuk merupakan istilah yang ilmiah. Ia akronim dari SUggestion for Waking Up our Knee. Sugesti untuk mengangkat lutut. Maksudnya, sugesti untuk menjadikan seseorang kembali bersemangat, setelah ndemprok (duduk) gara-gara sakit.
Tentu saja akronim itu saya karang barusan, agar tetap terlihat ilmiah di tengah para motivator kesuksesan hidup yang terlalu sering memandang rendah suwuk.
Suwuk, dalam paradigma ilmiah barat, tentu mirip dengan konsep sugesti dan hipnoterapi. Bedanya, suwuk menggunakan wasilah air dan doa. Sementara hipnoterapi sekadar mengandalkan sugesti si penghipnosis itu sendiri.
Dalam konteks ini, suwuk justru lebih ilmiah karena berwasilah air. Sehingga mediumnya benar-benar tampak. Sementara hipnosis tanpa medium, harusnya hipnosis lebih ghaib dan lebih mudah dibidahkan daripada suwuk.
Suwuk Kontemporer
Saya percaya jika siapapun yang pernah nyantri (ngaji pada kiai), pasti pernah diajari suwuk. Tentu suwuk berbasis pembacaan ayat-ayat Al Qur’an. Terlepas suwuk itu mujarab atau tidak, itu murni bakat-bakatan. Tapi setidaknya, suwuk ada dalam peradaban dunia Islam.
Santri milenial atau generasi milenial pada umumnya, harus tahu bahwa suwuk adalah tradisi ilahiah. Asal, dalam praktiknya, tetap melibatkan Allah dan Kalamullah sebagai wasilah.
Santri milenial dan generasi milenial juga harus tahu bahwa suwuk merupakan tradisi ilmiah. Sebab, ia bagian dari sugesti ilmiah serupa hipnoterapi. Bedanya, suwuk menggunakan medium air dan doa. Sementara hipnoterapi tidak.
Suwuk merupakan khazanah budaya Islam. Ketika ada oknum yang mengkafir-kafirkan, membidah-bidahkan, dan mengkampung-kampungankan suwuk, harus dilawan dengan argumentasi yang ilahiah sekaligus ilmiah.
Memahami suwuk juga sangat penting bagi generasi muda di era disrupsi teknologi seperti saat ini. Setidaknya, saat patah hati bisa nyuwuk diri sendiri, bukan malah update story. Terlepas suwuknya mandhi atau tidak itu bukan urusan. Minimal, membuat kita berdoa dan mengingat Tuhan.