Mungkin benar, cinta membuat semua indra jadi lebih peka.
DI RAK kafe dan toko buku Braggadocio, ada beberapa buku Steinbeck terjemahan. Dengan sudut mata, dilihatnya wanita itu mengambil dua jilid paling tebal, Sebelah Timur Eden. Seperti Kawindra, wanita itu pengunjung tetap. Mereka cuma beda jam terbang.
Kawindra sudah rutin berkunjung sejak Braggadocio buka dua tahun silam, wanita itu baru satu bulan terakhir ini dan ia datang tiap malam minggu. Ia selalu pilih meja pojok di luar, sisi berlawanan meja yang biasa ditempati Kawindra.
Ada tercium wangi vanila saat wanita itu melintas. Dengan sudut matanya Kawindra mengamati wanita itu membuka plastik bungkus buku, meletakkan tas kanvas di kursi samping dia, lalu mulai membaca. Satu lagi ornamen wajib nanti pasti akan ada di mejanya, segelas cokelat.
Kawindra berpikir-pikir kenapa wanita itu menarik hatinya. Parasnya manis memang, tubuhnya mungil, rambutnya sebahu. Ia memakai hem putih sedikit kembang-kembang merah dan biru, sweter biru, rok sedikit di bawah lutut.
Kawindra selalu suka wanita berbaju putih, kesannya elit, rapi, dewasa. Oke, mungkin itu alasannya. Atau mungkin wangi vanila itu? Atau Steinbeck?
Tidak, tidak, yang terakhir itu tak mungkin. Kawindra baru baca dua karya Steinbeck: Of Mice and Men dan The Pearl. Oh, ia ingat pernah juga buka-buka terjemahan Cannery Row. Ia juga ingat ada puisi di akhir novela itu.
Coba dia hafal puisi itu, lalu membacakannya di depan si wanita, lalu wanita itu akan tersenyum menatapnya. Wanita mungil berhem putih wangi vanila yang…
Lamunannya terganggu Mas Adi si pemilik merangkap barista Braggadocio yang mengantarkan segelas cokelat ke meja wanita itu. Saat itu kucing hitam melintas depan kafe. Kawindra menatapnya. Aneh, kucing itu tampaknya rutin pula tiap malam minggu pulang pergi lewat depan kafe.
Biasanya ia tak pernah peduli, tetapi malam itu di matanya langkah kaki si kucing terlihat belagu. Pantatnya yang putih seperti bergoyang mengejek memamerkan dua biji maskulin. Kenapa dari sekujur tubuhnya yang hitam itu harus pantatnya yang putih?
Ditimang-timangnya The Golden House yang baru dia baca separuh. Karya novelis favoritnya itu tak lagi menarik. Dia merokok sambil asyik melamun, sesekali direguknya kopi, sesekali diliriknya wanita itu diam-diam, mengamatinya saat merenung, membuka buku sambil membenahi posisi duduknya, meminum cokelatnya tanpa mengalihkan mata dari bukunya.
Kenapa semua hal kecil dan biasa itu jadi menarik? Sudah lewat beberapa tahun lalu dia terakhir kali jatuh cinta. Kenapa kini dia mendadak tertarik pada wanita yang kenal saja belum?
Ada yang seksi pada sosok wanita yang tenggelam dalam buku.
Tapi wanita semacam itu banyak. Kawan-kawan wanitanya juga rata-rata pembaca buku. Kebanyakan kaum wanita juga sudah sadar soal keseksian itu jadi bisa saja banyak di antara mereka cuma pura-pura. Pergilah ke kafe-kafe di Yogya dan pemandangan semacam itu lumrah.
Nah, nah, itu dia. Wanita ini tampak natural. Lihat tubuhnya yang mungil, itu pasti gara-gara dia terlalu sering membawa tas penuh buku-buku tebal. Artinya, dia pembaca sungguhan…
Lama kemudian, sebagaimana terjadi di malam-malam minggu sebelumnya, ketika pikiran Kawindra makin pepat 1001 solilokui, wanita itu menutup bukunya. Refleks Kawindra melihat jam di tangan kanannya meski ia tahu ini pertanda hampir pukul 10.
Dia tahu adegan-adegan selanjutnya: wanita itu akan memasukkan bukunya ke dalam tas, menghabiskan cokelatnya, setelah itu dia akan membuka hpnya, lalu akan datang gojek, lalu dia pergi.
Tepat saat itu biasanya kucing hitam juga melangkah pulang. Gagah. Dia akan menoleh sejenak ke Kawindra ketika lewat, pandangan yang terasa mengejek seperti dua biji di pantatnya yang tampak lebih besar.
*
Kawindra gelisah dan ia jengkel karena tak bisa mengatasi rasa gelisahnya. Ini sudah malam minggu ke-3 wanita itu tak datang ke kafe.
“Kenapa tak ada lagi yang nerbitin terjemahan Steinbeck ya,” begitu dia keceplosan mengeluh. Kafe sepi, hanya ada dia dan Mas Adi yang duduk di depan dia setelah mengantarkan pesanannya.
“Bukannya kamu biasa baca versi Inggris, Mas?”
“Penasaran saja,” Kawindra menjawab pendek. “Lho, kenapa aku dikasih cokelat?” Kawindra menatap bolak-balik gelasnya dan Mas Adi dengan heran.
“Tadi kan pesannya cokelat, Mas.” Mas Adi menjawab lebih heran.
Hening. Kawindra mengelus-elus gelas minumannya. Mas Adi asyik dengan hp-nya. Keduanya seperti dua siluet canggung di panggung kursi dan meja. Kawindra sebenarnya ingin bertanya siapa tahu Mas Adi kenal cewek itu, tetapi bagaimana kalau habis itu dia balik ditanya macam-macam? Ia selalu malu bicara soal perasaan.
Lama-lama gelisahnya mengalahkan malu, tak tahan juga dia lantas bertanya: “Cewek yang biasa duduk di sana itu lama gak kelihatan, ya mas?”
“Cewek…?” Mas Adi menatapnya heran, lalu dia menoleh ke meja pojok yang dimaksud Kawindra. “Ooh.” Senyumnya tampak jahil. Jarang-jarang jomblo gengsian ini bicara soal cewek.
Wajah Kawindra memerah.
“Yang biasa pake hem putih itu ya?”
Kawindra mengangguk.
“Dan biasanya pesan cokelat, bubuknya sedikit? Kalau ke sini dianter gojek?” Mas Adi melirik gelas cokelat Kawindra penuh arti.
Kawindra memandang jengkel. Percakapan bertele-tele inilah yang dia khawatirkan tadi. Mana tahu dia detail kalau wanita itu tiap pesan cokelat minta bubuknya sedikit?
“Paling sibuk.” Begitu komentar Mas Adi tanpa tampak merasa bersalah. “Lagian belum ada terjemahan baru Steinbeck. Tiap habis kuiklanin Steinbeck di Instagram, dia pasti datang. Udah ada lima dia beli di sini.” Dia berhenti, menatap Kawindra, seperti mendadak terpikir sesuatu.
Kawindra menggumam tak jelas.
Mas Adi membuka-buka akun Instagram kafe dan toko bukunya. Dikliknya salah satu akun follower dan diamat-amatinya beberapa postingan sketsa dengan serius. Setelah agak lama, dia tampak berpikir, mengabaikan Kawindra yang menatap jengkel kucing hitam yang lewat.
Mas Adi meletakkan hp-nya. “Kamu lah nerjemahin, Mas.”
Kawindra menangkap pesan tersirat: kalau ada terjemahan baru Steinbeck, cewek itu pasti datang nongkrong.
“Aku? Siapa pula yang mau nerbitin.”
“Nah, gini mas, aku ada ide bagus…” Mas Adi mencondongkan tubuhnya ke depan, penuh semangat.
**
Malam minggu sebulan kemudian, Kawindra nongkrong di Braggadocio dengan kepala penuh rencana. Dia sudah di sana dari sore, melihat-lihat rak, senyum-senyum senang melihat satu judul baru di sana: Lakon-lakon Raja Arthur dan Para Ksatrianya yang Mulia. Steinbeck. Ilustrasi kovernya bagus, begitu pikir dia.
Magrib. Hujan deras. Kawindra mulai gelisah. Kira-kira datang tidak ya dia? Bagaimana kalau dia tak melihat iklan di Instagram Braggadocio? Bagaimana kalau dia melihat, tetapi tak ke sini karena hujan?
Isya. Hujan tinggal gerimis. Mas Adi senyum-senyum sendiri di balik meja baristanya, tangannya sibuk di layar hp. Dialah otak di balik terbitnya buku Steinbeck terjemahan Kawindra itu, terbitan perdana penerbit yang baru dia dirikan.
Dipandangnya sekilas Kawindra yang duduk gelisah di luar, setelah itu dibalasnya salah satu pesan masuk di hp-nya: sudah jadi kok bukunya, mbak, Seratus Tahun Kesunyian juga sudah ada stok…
Agak lama setelahnya, saat hampir putus asa dan kopi tubruk di depannya sudah tinggal sepersepuluh, Kawindra tergeragap ketika hidungnya mencium wangi vanila. Ajaib memang, saat itu gojek yang membawa wanita itu baru sampai belokan 20 meter dari kafe.
Mungkin benar, cinta membuat semua indra jadi lebih peka.
Wanita itu datang saat gerimis sudah tak mampu pantulkan cahaya lampu jalan. Rambutnya agak lebih panjang, aroma vanila, hem putih, rok sedikit di bawah lutut, tas kanvas tampak setengah kosong. Sambil duduk membelakangi dinding di tempat biasa, Kawindra membayangkan peristiwa lanjutannya: dia memesan cokelat, lalu duduk di kursi meja pojok…
Oh, tidak, tidak, Kawindra senyum-senyum sendiri. Seolah didengarnya Mas Adi menyebut Steinbeck. Kenapa dia tak bilang siapa penerjemahnya? Oh, jangan, itu harus dia bilang sendiri. Dibayangkannya wanita itu dengan wajah berseri pergi ke rak, mengambil Raja Arthur, ya, ya, buku Steinbeck yang dia terjemahkan…
Harus berkenalan, pikir Kawindra. Harus malam ini, supaya misi menerjemahkan Steinbeck itu sukses. Mengenalkan diri sebagai penerjemah, lalu obrolan makin akrab bahas Steinbeck, syukurlah ilustrasi kovernya bagus, ia bisa tambahkan beberapa obrolan soal lukisan…
Tunggu, masa hanya begitu. Perkenalan harus dramatis seperti di novel-novel atau dongeng penyair. Apa harus minta Mas Adi memutarkan lagu-lagu romantis? Sialan, kenapa dia kini malah nyetel Jason Ranti?
Kawindra gugup sendiri, otaknya mabuk aroma vanila. Kopi tubruknya diteguknya habis. Sialan, dalam hati dia memaki kegugupannya yang tak dia mengerti. Disulutnya rokok sebelum dia sadar bahwa rokoknya di asbak masih setengah…
Akhirnya tekad dia bulat. Sekarang atau tidak, begitu pikirnya. Saat bangkit segagah mungkin, kakinya malah tersangkut pijakan kursi, menimbulkan bunyi gaduh kursi terseret yang membuat Mas Adi menoleh dari mejanya lalu menunduk kembali pura-pura sibuk sambil menahan tawa. Beberapa pengunjung lain hanya melirik sekilas.
Kawindra mendadak merasa meriang. Dengan canggung dia melangkah ke meja wanita itu lalu duduk di kursi di depannya. Bahkan sebelum pantatnya menyentuh kursi, kata-kata sudah meloncat keluar dari mulutnya:
“Jadi itu menurutmu bagaimana Raja Arthur?”
Kenapa kata-kata ambigu itu yang meloncat keluar? Kalau di novel, adegan dia duduk harusnya keren, lalu rentetan kalimat pembuka puitis…
Wanita itu mengangkat kepalanya lalu memandang dia sambil tersenyum. Diletakkannya buku di meja, Seratus Tahun Kesunyian, di samping gelas cokelat yang masih penuh. Kawindra nanar menatap Raja Arthur di kursi sebelah wanita itu, masih utuh dalam bungkus plastiknya…
Kucing hitam melintas, menatapnya dengan pandangan mengejek lalu pergi sambil menggoyangkan dua bijinya. Sekilas Kawindra seperti mendengar tawa tertahan Mas Adi saat wanita di depannya menyodorkan tangan dan berkata: Mas Kawin yang nerjemahin Steinbeck ini ya? Saya Khoirotun Nihayah yang bikin ilustrasi kovernya. Salam kenal.
Lalu nyanyian Jason Ranti terdengar nyaring di telinganya:
Ku takbisa nulis yang indah
Yang berbunga-bunga
Yang kuingin langsung saja menikam di hati.
Yogyakarta, 14 Februari 2020