Dan waktu berlalu begitu cepat, menit demi menit habis, jam demi jam merubah angka. Tapi percayalah, Corona tak akan merampas cinta kita.
Dalam satu waktu, saya bisa memakai kacamata berbeda untuk memandang dunia : pertama, dunia ini indah, karena itu sedikit memabukan. Kedua, dunia ini kacau, carut-marut dan memang begitu adanya.
Terlepas dari segala informasi tentang Covid-19 yang menguasai pemberitaan di media. Kenyataan yang beredar di lapangan : itu semua belum cukup meningkatkan kewaspadaan saya atau mungkin juga Anda, sense of alert yang diharapkan timbul dalam situasi hari ini, justru belum sepenuhnya menjejak dalam tindak laku.
Dalam situasi begini, setiap menyaksikan entah langsung atau lewat berita– perkumpulan yang meski hanya berjumlah ratusan, jujur ada semacam rasa khawatir, tetapi kekhawatiran itu seperti hanya melayang di depan kepala saya, namun tak pernah benar-benar bisa saya genggam dan rasakan seutuhnya.
Situasi yang saya lihat dan rasakan hari ini, mengingatkan saya pada bait sajak Chairil Anwar, sayangnya tak cukup tepat untuk menggambarkan realitas “Kita terapit.” Kalaupun bisa bergerak, tak lebih dari ” mengisar setapak.”
Lebih dari setapak, bahkan orang-orang yang saya singgung di atas, terkesan lupa kalau sedang dalam kondisi on the way gawat. Atau mungkin mereka tidak sadar bahwa dunia pernah punya riwayat pandemi lain : HIV/AIDS, Ebola, Kolera, virus Influenza A (H3N2), dan SARS.
Dan semua pandemi tak satupun berakhir baik. Kalimat diatas, secara tidak langsung menandakan bahwa pandemi bisa saja muncul sewaktu-waktu, dengan rupa yang berbeda, tapi seolah manusia tak pernah mau belajar.
Kita tidak tahu pasti, kapan ini semua akan berakhir. Beragam kecemasan seperti selalu datang dan lahir dan bermula dan, sialnya, tak tahu kapan berakhirnya.
Kita tentu ingin marah pada pemerintah, menyalahkan diri sendiri, sama saja. Efek lainnya, merasa getir hingga batuk-batuk, pilek, sakit kepala, bahkan hampir mual (semoga bukan gejala suspect Covid-19).
Kondisi berubah, ketika saya memutuskan me-log out semua akun sosial media, juga menekan tombol of pada televisi, dan memastikan diri untuk tidak sering-sering bolak-balik layar peramban.
Ketika aktivitas di kampus harus dialihkan, saya menghabiskan hari-hari di kamar kos, dan seketika dunia hanya terasa sebesar ruangan 4 kali 4, namun sisi positif nya saya bisa mengasah ketrampilan lama yang terbengkalai, yakni membaca.
Selain membaca buku, lebih sering saya menghibur diri dengan berleha-leha sambil stalking kemewahan hidup artis, yang terakhir ini, jelas akan membuat kesehatan mental saya bermasalah.
Seringkali dilanda kebosanan, menjelang sore biasanya saya menyengaja keluar kos, kondisi dimana Mentari teduh dan Langit tak merah benar, menengok roda kehidupan masih terasa berjalan seperti biasa, saya senang ternyata dunia tidak sempit dan buram sebagaimana yang saya pikirkan.
Hanya saja, jalanan sedikit lebih sepi, tetapi warung burjo favorit saya tetap buka, mini dan supermarket masih tetap ramai, mas dan bapak-bapak angkringan dekat kos-kosan saya, tetap beroperasi saban pukul 5 sore. Begitu juga dengan tukang Bakso keliling langganan, masih sibuk berlalu lalang.
Dan lagi, masih banyak juga orang yang nongkrong di kafe, entah untuk keperluan pekerjaan, menuntaskan tugas kuliah, belajar, atau mungkin sekadar bercengkerama.
** **
Akhir pekan kemarin, saya memasang niat untuk pergi ke sebuah kedai yang masih tetap buka 24 Jam. Sengaja berangkat pukul 2 dinihari, setibanya disana, ternyata suasana belum terlalu sepi. Saya mengambil duduk agak diujung, menepi dari suara-suara yang tak perlu.
Setelah sebelumnya memesan segelas es jeruk dan memasangkannya dengan semangkuk Indomie goreng plus telur. Saya tahu, itu kurang bagus untuk sistem imun. Tapi saat tengah malam dan dalam keadaan lapar, siapa mampu menahan godaan Indomie? Covid-19 sekalipun tak kan sanggup.
Es jeruk tiba lebih dulu, sekira 10 menit semerbak wangi Indomie datang, meminta saya untuk cepat-cepat menandaskannya.
Posisi kedai yang berjarak hanya 30 Meter dari jalan. Masih memungkinkan bagi saya untuk memandangi aspal jalanan, tiga-empat kendaraan melintas, dan satu diantaranya mampir, memarkir kendaraan. Mereka masuk, dan sialnya memilih tempat duduk tepat dua nomor di sebelah kiri saya.
Apa boleh buat, niat awal untuk meminimalisir suara batal. Tidak mau rugi. Iseng-iseng saya menguping pembicaraan mereka, posisi antar meja hanya berkisar 3 meter.
Saya juga sempat melirik ke arah sepasang kekasih itu, dari perawakan luar, saya perkirakan, umur mereka berada pada kisaran angka 25 tahun. Usia yang cocok untuk seseorang melanjutkan pada tahap yang lebih serius.
Dugaan saya benar. Dari gerak-gerik, mereka pastilah sepasang kekasih. Di sela-sela obrolan, perempuan itu beringsut dan mendudukan wajah ketika mendengar laki-lakinya berucap, sebetulnya suara mereka tidak begitu jelas terdengar, dan akhirnya saya membayangkan sebuah percakapan:
“Gimana kalau kita batalin aja dulu.”
“Ga bisa, Mas. Dari tahun lalu kamu udah janji.” Balas perempuan dengan nada kesal, wajahnya sudah terangkat.
“Tapi sekarang kondisi nya beda, dek. “ Ucap laki-laki itu, seolah mengingatkan situasi yang tidak memihak pada mereka.
“Percayalah hati lebih dari ini, pernah kita lalui.” Kita sering menyanyikan lagu itu Mas. “ Aku mau kita segera menikah.” Kini suara perempuan itu berubah seperti sedih.
“ Tapi kita akan menikah, di waktu yang tidak tepat…”
Kata laki-laki itu, belum sempat menyelesaikan kalimatnya, si perempuan memotong dan berujar,
“Ini mungkin bukan situasi terbaik, tapi harapan selalu ada.” Perempuan itu berhenti sebentar, kemudian menyambung ucapannya dengan melempar pertanyaan,
“Corona tak akan merampas cinta kita bukan?”
“ Tidak akan pernah, tapi kamu harusnya ngertiin aku dong. Aku bakal lamar kamu segera.”
“ Kapan Mas, aku sudah banyak di janji-janji kan.”
“ Setelah ini semua berakhir.”
“ Tapi ini nggak adil. Kenapa ini harus terjadi pada kita.?” Emosi perempuan itu benar-benar sedang tidak bagus.
Suaranya tercekat, dia hampir saja menangis.
“Bukannya kamu tahu, semua menjadi adil dalam cinta dan peperangan.”
Laki-laki itu menarik dengan halus tangan kekasihnya, meletakkan tangannya di atas tangan si perempuan. Lalu berkata,“ Aku mencintaimu, tapi dunia sedang berperang melawan Corona. Kita tunda dulu pernikahan kita, kamu mau kan?.”
“Tapi janji dulu, kamu nggak akan ninggalin, aku sudah kenyang dijanjikan menikah, setelah kita LDR 4 tahun. “
“Aku janji, ini demi kebaikan kita.”
Percakapan itu hampir berakhir, tentu dengan kemenangan si laki-laki, ciuman mendarat di punggung tangan perempuan.
Dari saku baju, kotak kecil berbentuk merah hati dikeluarkan, Cincin berwarna silver diselipkan ke jari manis perempuan. Seperti adegan-adegan romantis pada film umumnya, kata-kata itu meluncur dengan perasaan yang paling mendalam:
“Will You Marry Me…?”
Tanpa harus diteruskan, sebetulnya kita sudah tau adegan berikutnya : si perempuan tersipu malu, bahagia, hampir tidak percaya sambil setengah haru. Dan diam waktu itu berarti adalah bahasa persetujuan.
** **
Lamunan saya buyar, ketika menyadari pesanan sepasang kekasih itu sudah sampai di meja mereka. Potongan adegan yang barusan saya bayangkan, mendorong saya untuk mengingat sebuah nama. Saya mengambil gawai yang belum sempat keluar dari saku celana.
Membuka aplikasi WhatsApp, lalu mencari-cari nama, setelah dapat. Sebentar kemudian saya mengetik pesan cukup panjang, “Assalamualaikum. Apa kabar Viola? Jangan lupa sholat Subuh. Oh ya, sehat-sehat jangan ada Corona diantara kita. Palembang-Jogja dekat kok. Cuma terpisah oleh tanda strip (-).”
Kalimat itu selesai saya ketik, masih menggantung di layar. Pada mulanya, agak sedikit ragu, selain pemalas saya adalah laki-laki pemalu untuk urusan mendahului perempuan, sekalipun hanya lewat pesan daring. Tetapi kali ini saya gagal, begitulah rindu, ia bisa mengalahkan segala jenis perasaan.
Sambil menunggu balasan masuk. Gawai kembali bersarang di saku celana saya.
Dan waktu berlalu begitu cepat, menit demi menit habis, jam demi jam merubah angka. Dan deretan kursi mulai kosong, hingga jalanan benar-benar lenggang, dan hanya ada suara adzan yang menggema dan mata sayu penjaga kedai.
Saya beranjak, lalu membayar pesanan ke penjaga kedai, kemudian bergegas pulang ke kos, yang jarak nya tidak begitu jauh, kendaraan saya pacu dengan kecepatan stabil, di atas sepeda motor Vario butut.
Diantara udara dingin Subuh, sambil mengingat-ingat seorang perempuan, beberapa pertanyaan tiba-tiba muncul dan menggelayuti pikiran saya, misalnya saja : Akankah Covid-19 dapat menghentikan kebucinan kita?