Beberapa bulan lalu, aku pernah menepi, memberikan sedikit ruang bebas polusi untuk bernapas sembari merasakan udara di kawasan sungai Bengawan Solo tanpa limbah di Kota Ledre, dengan segala lanskap aktivitas kebudayaan lahir dari perahu penyebrang yang wira-wiri membawa anak-anak berangkat sekolah ke pusat Kota.
Maklum Laut tidak pernah singgah, hanya sesekali sungguh di musim hujan (kota kecil tenggelam selutut orang).
Hari tidak pernah mendung di Kota Industri selama tiga hari bobok manis di Hotel Bahagia, jadwal pagi hari pertama kami bermigrasi ke laut. Ketika aku sampai di muka pantai, teringat lirik lagu berjudul ‘Laut Tanpa Pantai’ karya Mas Okky Dwi Cahyo salah satu seniman multitalenta lulusan Komunitas Sayap Jendela Bojonegoro.
Dalam lirik “Kembali menunggu jejak itu/Meluap rinduku tak tertahan/Gemuruh ombak memecah sunyi/Tiada laut tanpa pantai/ Begitulah lirik intro pertama.
Dalam tulisan sebelum ini, aku menceritakan sedikit tentang Kota yang tidak pernah bersinggungan dengan air asin dan bau amis sepanjang pesisir, bahkan aktivitas mencari ikan menggunakan transportasi perahu dan jala tidak disebut sebagai nelayan.
Walaupun Bojonegoro tidak memiliki laut, namun sungai bengawan solo menjadi saksi bisu bahwa Kota-kota tua pernah menyandarkan hidup di bibir sungai, bahkan peradaban dan kebudayaan masa lampau dimulai dari situ yang masih menjadi misteri sepanjang kehidupan manusia.
Berlanjut ke tutur laut, setelah memotret beberapa Balai yang memperindah suasana semakin teduh, aku kembali menyusuri Geladak Gede, suatu jembatan kayu titian yang menjorok ke laut pesisir yang berdekatan dengan Pelabuhan Gresik di pusat kota Desa Lumpur, Kabupaten Gresik.
Dalam tutur salah satu warga jembatan yang membentang sepanjang kurang lebih 300 meter itu dengan sebutan Geladak Gede. Geladak itu sendiri telah menjadi jalur utama bagi para nelayan yang hendak mencari ikan di laut lepas selama bertahun-tahun usianya.
Geladak Gede terbuat dari rangkaian kayu ulin yang memiliki warna coklat yang khas, sama persis dengan balai-balai di sekitar. Aku menemukan beberapa catatan ketika sampai di ujung jembatan, kapal-kapal besar silih berganti setiap hari.
Siang itu, lumayan berkeringat, gemuruh ombak tak terdengar riang memukul batu-batu karang, perahu-perahu berbaring sangat tenang, dan sebagian nelayan pergi dan pulang dari tengah lautan.
Aku selalu rutin mendokumentasikan situasi, barangkali angin tak lagi kemarau, hujan tak lagi basah, namun jalan ke laut peristiwa yang menantang maut; seperti laut yang pelan-pelan beranjak pergi menyusut meninggalkan halaman kampung lumpur.
Walaupun udara cukup panas, aku kembali lagi ke balai menikmati kuliner khas Gresik yaitu Bubur Roomo bersama teman-teman lain, konon nama kuliner khas tersebut diambil dari salah satu Desa yang ada di Gresik. Sejak puluhan tahun warga setempat menkosumsi bubur tinggalan leluhur.
Foto bersama tak pernah bisa dihindarkan, memang waktu selalu berulang, namun pertemuan tak selamanya bisa digandakan. Setelah itu kami menyusuri jalan gang yang berjarak, berjalan kaki menyusuri gang dari gang, melihat lompong-lompong rumah, jalan-jalan kecil, anak-anak sekolah, dan sisa jemuran warga lokal di terasnya.
Kami berjalan berkelompok, walaupun panitia tidak pernah membentuk kelompok sebelumnya. Begitulah ketika delapan belas karakter berangkat dari kota yang berbeda di pertemukan di Hotel Bahagia, pasti bakal menemukan bestinya masing-masing, kenyamannanya masing-masing, dan persamaan persepsinya masing-masing.
Aku sengaja memilih berjalan sendiri paling belakang, sesekali memotret perjalanan teman-teman baru yang agak lelah, merekam percakapan-percakapan ngalor ngidul, menyimpan beberapa dugaan temuan ngetan-ngulon, dari yang ingin mencari tukang pijat hingga mencari tokoh adat.
Perjalanan itu cukup menarik, akhirnya kami sampai di Warung Awi di Jl. Sindujoyo Gang 6 Kelurahan Kroman Kabupaten Gresik. Satu persatu di antara kami sedang mencari tempat duduk, ada juga yang langsung ke bar untuk melihat proses pembuatan kopi, ada juga yang sibuk merekam dan memotret percakapan lelah siang itu.
Warung Awi merupakan salah satu warung kopi paling legend di Kawasan Kroman dan sekitarnya, terkenal akan minuman khasnya yaitu Kopi Kasar yang cukup unik dan segar bagiku.
Aku teringat hasil jepretan bu Nurul salah satu peserta dari Banyuwangi, ia mengabadikan perjalanan dengan memotret foto/lukisan yang menempel di dinding, ada salah satu yang bikin aku terngiang. Sebuah seketsa bergambar seorang perempuan yang sedang melamun, ditambah dengan kutipan berbunyi”Jangan mengeluh kopimu dingin, dia pernah hangat tapi kau diamkan”.
Hampir dari setiap kampung pasti terdapat warung-warung kecil, namun tidak sedikit pula yang mampu bertahan puluhan tahun, seperti yang diceritakan oleh Mbak Ida seorang perempuan yang memilih meneruskan usaha kopi peninggalan keluarganya hingga seperempat abad di gubuk kecil tepi jalan.
Ia bergelut dengan Kopi dari pukul 05.00 (selesai subuh) sampai 21.00 malam. Berangkat dari penikmat kopi dengan latar belakang yang berbeda menjadikannya kaya akan pengetahuan bertajuk rubik-rubik terbaru setiap harinya, dari rubik gagal panen ikan di tambak, harga ikan turun, nelayan kesepian, dan catur politik tidak pernah selesai.
Kopi Kasar, pernah ada di kotaku, namun Kopi yang satu ini jauh berbeda. Ia menceritakan sedikit proses pembuatan kopi, biji kopi yang sudah ditumbuk kasar ditempatkan pada gelas atau cangkir kemudian menuangkan rebusan air mendidih secara melingkar dan rata supaya ampas kopi mengapung dengan sempurna.
Satu jam kurang kebih kami menikmati kopi kasar, ada pula yang kopi susu, ada pula yang es gula merah. Kami sempat gagal paham, pada umumnya gula merah berwarna coklat, kalau orang jawa menyebutnya gula abang. Ketika minuman yang dipesan temanku datang, ia sedikit tercengang dan tersenyum dingin, mungkin ia mengira minumannya tidak berwarna merah muda, tapi merah coklat. Wkwkwk
Gelak tawa tak terhindarkan, gara-gara minuman es gula merah yang segar dan nikmat, menjadi renyah dalam jagongan ringan, karena kami memiliki bahasa penyebutan masing-masing. Siang itu masih terbilang ramai sekali, ditambah dengan kedatangan kami menjadikan jalan gang lumpuh ringan.
Dirasa sudah cukup, kami pun diajak bermigrasi lagi oleh panitia menuju rumah kembar.