Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Fiksi Akhir Pekan

Deklarasi Cinta di Negeri Kincir Angin

Yogi Abdul Gofur by Yogi Abdul Gofur
May 17, 2020
in Fiksi Akhir Pekan
Deklarasi Cinta di Negeri Kincir Angin
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Tentang negara agraris dan cinta utopis-surealis nan manis-manis. 

Bojonegoro, 1998. Gio, merupakan aktivis pergerakan yang bisa bergerak dalam beberapa lini entah itu kanan, kiri, dan tengah. Dikenal kawan-kawannya sebagai anak yang rajin dan tekun, tinggal di sebuah desa yang berada di Bojonegoro.

Gio yang merupakan anak kiai di kampung, kebetulan juga suka berorganisasi dan track record organisasinya lebih kelihatan ketika berada di perguruan tinggi.

Syarifah Putri (Ifah), gadis desa anak penujual sayur yang rumahnya sebrang desa dengan Gio. Jadi mereka satu organisasi. Sering berkirim surat dan berdiskusi kondisi terkini tanah air.

Mereka bertemu ketika hanya ada acara organisasi, selain itu mungkin hanya saling mengagumi dalam diam. Gio juga aktif dalam pergerakan dari ranah lokal hingga nasional. Bahkan ketika Mei 1998, Gio juga ikut di Jakarta dalam upaya merunthkan rezim yang terkesan otoriter dan diktator.

Mereka mencintai dengan sederhana. Bertemu di sebuah warung kopi dan berdiskusi, bagi dua hati itu merupakan kemewahan tak bertepi.

Di sebuah warung kopi, menjadi saksi bisu pertemuan dan perpisahan. Sebab Gio berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda tentunya setelah melewati beragam dinamika jatuh dan bangun dalam kehidupan.

Gio dan Syarifah, sesekali bersahut menyambung syair-syair dari penyair Indonesia ketika bertemu atau ketika berkirim pesan. Mereka sangat suka dengan penyair Si Binatang Jalang (Chairil Anwar) khususnya dalam karya yang berjudul “Aku”.

Hubungan mereka ketika sekitar 98-an, terbilang biasa-biasa saja. Namun benih-benih asmara di dua anak turunan Adam dan Hawa tersebut mulai muncul. Kemunculanya ketika Gio memberikan materi dalam sebuah mentoring buruh. Kebetulan Ifah merupakan buruh pada usaha percetakan.

Dari pertemuan pertama tersebut, keduanya saling mengagumi dalam diam. Sesekali kawan-kawanya menggojloki untuk meluluh lantahkan hati Ifah agar takluk pada pelukan Gio.

Ifah merupakan gadis lulusan pesantren. Dari kecil hingga remaja digembleng di sebuah pesantren. Dan ketika menginjak perguruan tinggi baru keluar dan bergelut di bidang aktivisme terutama mengorganisir buruh percetakan dimana ia berkerja.

Sedangkan Gio, anak kiai kampung yang gemar membaca, beberapa karya Marx, Engels, Derrida, dan beberapa tokoh-tokoh lain sudah terbaca olehnya. Enggan untuk masuk pesantren. Menyelesaikan studi di madrasah. Dari kecil suka berkelana, hal tersebut terbawa hingga Gio dewasa.

Momen pertemuan selain organisasi, mereka sering bertemu dan berdiskusi di warung kopi tepi sawah yang berada di desa. Sembari menikmati angin sepoi-sepoi. Keduanya berdialog, sembari menunggu kawan yang lain datang.

Kemudian datanglah kawan-kawan yang lain. Sugus Wijdatmoko (Moko), terkenal dengan kegemarannya memainkan hati wanita, terkenal play boy kelas kakap di antara kawan-kawannya. Moko sudah bekerja di sebuah perusahaan dan terbilang cukup mapan di tambah juga bapaknya merupakan tuan tanah di sebuah desa. Namun salah satu sahabat dari Gio, bernama Ita Khoiriyah (Ita) pernah menjadi korban bujuk rayu manis Moko.

Hal tersebut diketahui Gio, setelah Ita menyerahkan buku catatan hariannya yang berisi keluh kesah hatinya dalam hubungan percintaan kepada Moko. Namun entah apa yang terjadi, hubungan mereka kandas di tengah jalan. Gio sebagai sahabat baik Ita, kerap memberikan semangat dan keduanya juga sering berbalas puisi. Kebetulan mereka sama-sama gemar menulis puisi.

Buku catatan yang diberikan, sebagai bentuk terima kasih kepada Gio, karena mengajarinya menulis dalam beragam bentuk, baik itu puisi, opini, artikel, dan lain-lain. Juga Gio pernah menjemput Ita di sebuah kota sebrang dan keduanya larut dalam balutan hujan. Ita yang lebih tua dari Gio, selalu berpesan jangan sampai jatuh cinta padanya. Dan Gio menganggap hubungan mereka hanya sebatas kawan.

Kemudian datang kawan-kawan lain seperti Ita, Bunga, Alis, Kokom, dan lainnya. Mereka dalam satu organisasi pergerakan. Terjebak dalam asmara yang penuh tanda tanya.
Gio sebelumnya pernah menempuh studi di perguruan tinggi negeri yang ada di sebuah Kota Metropolitan.

Namun karena tulisannya yang mengkritik aparat keamanan (ABRI), terpaksa pihak kampus melayangkan surat DO. Sebelumnya, kawan-kawan Gio juga telah berupaya melakukan demonstrasi di kampus untuk mencabut surat itu. Namun apa boleh buat, di rezim yang diktator itu, Gio terpaksa harus wisuda sebelum waktunya. Namun Gio sebagai pembelajar sejati tidak pantang menyerah kemudian pulang ke kampung halaman dan melanjutkan studi di beberapa perguruan tinggi yang ada di kota kecil, Bojonegoro.

Walau tidak lulus dari kampus di metropolitan. Berbekal gemarnya beragam pelatihan yang ia ikuti, keterampilan mengorganisir, menulis, berorasi, menjadikan ia sebagai aktivis idola dari beragam kalangan baik mahasiswa, pelajar sekolah, santri, buruh dan tenaga kerja, petani, dan lain-lain. Ketika berhasil lulus di beberapa kampus di kota kecil.

Tidak lupa Gio mendirikan Lembaga Bantuan Hukum untuk rakyat kecil dan gratis. Juga berani mengungkap kasus-kasus yang dilakukan oleh oknum ABRI. Gio kerap kali mendapat ancaman, berbekal ilmu pencak silat yang dipelajari dari bapaknya, Gio berhasil mematahkan rintangan yang menghadang. Tidak lupa ia membantu Ifah dalam menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Kebetulan Ifah juga tertarik pada isu buruh dan tani di Bojonegoro, Jawa Timur. Juga Gio bisa membantunya, sebab disanalah dunia Gio tumbuh dan berkembang salah satunya.

**
Bojonegoro, 1999. Ifah telah menyelesaikan masa studi di perguruan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. Moko yang merupakan anak tuan tanah di desanya berupaya untuk mempersunting Ifah. Namun apa boleh buat, Ifah telah jatuh hati pada Gio sejak pertama kali jumpa, namun keduanya tidak pernah melakukan deklarasi rasa cinta secara nyata. Mereka hanya mengagumi dan memendam rasa cinta secara laten (tersembunyi).

Jembatan yang berada di sekitar sawah menjadi saksi bisu, ditolaknya deklarasi cinta dari Moko anak Sang Tuan Tanah itu kepada Ifah. Pada tahun itu, Gio kembali berkelana dengan melakukan advokasi di beberapa derah di tanah air. Tak jarang ke luar negeri untuk mengikuti beberapa kegiatan.

Angin yang berhembus sontak berhenti. Sesak di hati Moko karena cintanya ditolak oleh gadis pujaannya kemudian, Ifah berlari menuju ke rumah dengan menangis dan langsung masuk kamar sebab merasa shock dengan tawaran Moko untuk menjadi sayap hidup dan mengarungi Benua dan Samudera secara bersama-sama.

Kemudian Bu Likah penjual sayur, yang merupakan Ibunda Ifah bertanya dan mencoba untuk membuka pintu kamar anaknya. Namun terkunci. Bu Likah tetap berfikiran positif kalau anak kesayangannya itu tidak apa-apa dan mengingatkan sebuah paket kiriman dari Pak Pos dengan atas nama pengirim Gio barusan mendarat di rumah.

Ketika kondisi rumah sepi, Ifah bergegas menuju meja. Membuka paketan dari Gio yang berisi buku dan sepucuk surat yang berisi mengenai keberangkatannya menuju Negeri Kincir Angin untuk melanjutkan studi ke sana.

Di sisi lain Ifah bahagia namun di sisi lain menyimpan kesedihan yang mendalam tidak bisa berjumpa dengan laki-laki yang dicintainya dalam diam itu dan belum secara nyata mendeklarasikan gejolak cinta yang bermukim di hatinya kepada Gio.

Serasa ling-lung, diterpa angin yang berhembus. Ifah jika pagi atau hari libur masih membantu ibunya menyiapkan jualan syur di rumah. Siangnya bekerja di percetakan hingga sore. Kemudian malamnya masih mengajar ngaji di sebuah langgar yang ada di desanya.

Dari sanalah Gus Az mencoba merayu-rayu Ifah namun tetap tidak berhasil. Mulai dari membacakan puisi Chairil Anwar, Nizzar Qabbani, dan syair-syair dari Umi Khultum. Tidak membuat hati Syariah alias Ifah berpaling pada pria yang pertama kali di temuinya dan berhasil memikat hati dengan kesederhanaannya, siapa lagi kalau bukan Gio.

**
Leiden, 2000. Gio menempuh studi di sebuah universitas yang ada di Negeri Kincir Angin Belanda. Sebuah cita-cita sejak duduk di banku Aliyah sudah diimpikan. Di Leiden Gio menjalani perkuliahan seperti biasa. Dan mencoba fokus dengan hal-hal akademik.

Sembari menjadi kuli tinta di sebuah media massa di kota yang terkenal dengan keindahan kanalnya itu.
Ketika tidak ada perkuliahan. Gio biasanya menjumpai dan ikut diskusi-diskusi yang ada di warung kopi. Tidak lupa untuk bertemu kawan-kawan dari Indonesia juga Van Jolein. Gadis Belanda yang bertemu Gio ketika sebuah acara seminar di Indonesia.

Van Jolein yang menekuni kajian buruh dan tani di Indonesia. Membuat Jolein akrab dengan bahasa Indonesia. Dan mereka sering bercengkrama di taman kota. Membahas agama, filsafat, karya sastra dari Johan Wofgang Von Goethe, Fydor Dostoyevsky, dan lainnya.

Kanal, lampu kota, udara yang berhembus, lalu-lalang orang yang beraktivitas, dan air menjadi saksi bisu perbincangan mereka.

Tiba-tiba obrolan mereka berhenti. Hembusan angin di musim dingin menjadi saksi bisu dua insan yang berbeda itu dan sebuah deklarasi atas ditolaknya cinta dari Van Jolein.

Sebelumnya, Gio mengenalkan pada dia tentang agama Islam. Namun apa daya, Jolein tetep kukuh dengan pendapatnya sebab dalam pandangan Jolein, Islam identik dengan terorisme.

Selain itu, Jolein memiliki kenangan buruk, sebab salah satu keluarganya yaitu ayahnya meninggal dunia karena menjadi relawan kemanusiaan dari Belanda yang sedang bertugas di daerah konflik, katanya tewas dalam tragedi bom bunuh diri yang dilakukan seorang oknum tentara Islam.

Kenangan itu, membekas dalam benak dan fikiran Jolein. Perlahan Gio yang luas akan ilmu dan pengetahuan memberikan penjelasan yang lain tentang Islam. Bahwa Islam merupakan agama yang cinta damai, menghargai perbedaan, dan memuliakan semua insan. Namun Jolein tetep kekeh dan tidak mau berpindah kepercayaan. Aliran air dan kanal, menjadi saksi bisu perpisahan dua hati malam itu.

**
Leiden, 2002. Gio berhasil menyelesaikan program magister. Lanjut ke program doktoral. Suatu malam pintu rumah Gio berbunyi. Dalam hati Gio bergumam, wah..musim dingin, malam…malam..lagi siapa yang datang ya?

Gio meminum kopi untuk berdamai dengan cuaca dingin Leiden dan meletakkan buku yang sedang dibacanya. Bergegas membuka pintu.
Entah apa yang terngiang dalam fikiran Gio, ternyata yang datang Noto Utomo (Noto) dan Sekar Saraswati (Sekar). Sobat karib Gio dari Ibtidaiyah hingga Aliyah.

Sekar merupakan gadis satu desa dengan Noto yang menjalin cinta secara resmi ketika berkuliah di luar kota. Mereka sudah menikah. Setelah menikah kemudian melanjutkan studi ke Negeri Kincir Angin. Obrolan mereka begitu hangat, dari nostalgia masa sekolah, cinta monyet, dan kondisi terkini desa dan tanah air (Indonesia). Tidak terasa menunjukkan dini hari, Noto dan Sekar pamit pulang. Kemudian Gio berupaya memejamkan mata dalam dekapan dinginnya Kota Leiden.

Pagi-pagi, pintu kamar Gio berbunyi lagi, Goedemorgen. Gio kira yang datang Noto dan Sekar, ternyata Jolein yang datang. Jolein datang dengan tampilan yang berbeda. Jolein bak ratu di negeri Benua Biru yang anggun menggunakan gaun, sontak membuat hati Gio berdebar.

Maksud kedatangan Jolein ialah ingin menyatukan dua hati bersama Gio, serasa tidak puas dengan jawaban Gio beberapa waktu yang lalu dan ingin menikah walau dalam kondisi yang berbeda. Pokoknya harus menikah begitu dalam pikiran Jolein, namun Gio masih tetap kekeh dengan pendapatnya, apabila mau menjadi belahan jiwaku ikuti aku, kalau tidak mau silahkan pilih pria yang lain. Sontak, Jolein marah dan putus asa untuk menaklukan hati Gio, Jolein keluar asrama dan menutup pintu dengan keras.

Gio semacam di hantam badai, linglung diterpa angin yang berhembus. Larut dalam kesepian, dan hal tersebut membuat program doktoralnya tidak selelasi tepat waktu.

Gio sering merenung. Untuk mengusir kesepian, dia menulis saban hari di buku catatan sembari ngopi di kamar entah itu puisi, artikel, dan lain-lain. Selain itu melihat Leiden dari balik kaca jendela. Menyaksikan semburat cahaya, biasanya pelangi ketika hujan reda, berjalan menuju perpustakaan untuk mencari sumber-sumber bahan untuk membuat disertasi, coffee shop, da lain-lain.

**
Leiden, 2003. Ketika di perpustakaan mencari sumber-sumber buku untuk menyelesaikan program doktoral. Gio menunduk ke bawah sembari fokus pada bacaan. Dan tiba-tiba ada suara perempuan berhijab dari belakang menyebut namanya. Dan ternyata itu adalah Ifah.

Gadis desa dan teman organisasi Gio. Sontak Gio kaget bukan kepalang dan buku terjatuh ke bawah. Melihat wajah Ifah, dan dua hati yang awalnya mengagumi dalam diam memilih untuk keluar perpustakaan sembari nostalgia dan bercerita tentang perjalanan Ifah dalam melangkahkan kaki ke Negeri Van Oranje.

Aliran air di kanal Leiden menjadi saksi bisu pertemuan mereka. Ifah menceritakan kalau dia berhasil memperoleh beasiswa untuk melanjutkan sutudi di Negeri Kincir Angin. Kemudian dari pertama bertemu di Indonesia hingga di Leiden 2003, baru kali ini Gio dan Ifah mendeklarasikan perasaan mereka yang saling mengagumi satu sama lain.

Cinta mereka bersemi di Negeri Kincir Angin. Gio menjadi bersemangat dalam menyelesaikan program doktoral begitupun dengan Ifah sangat bersemangat dalam membuat tesis.

Setahun setelahnya, pada 2004, mereka secara bersamaan menyelesaikan studi di Negeri Kincir Angin. Kampus di Negeri Van Oranje menjadi saksi bisu dua insan tersebut diganjar gelar magister dan doktoral. Tidak lupa hadir Noto dan Sekar untuk memberikan semangat.

Juga kawan-kawan dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) turut serta meramaikan kelulusan mereka. Kemudian mereka memutuskan untuk menyempurnakan separuh agama dan mengarungi benua dan samudera bersama-sama. Menjadi sayap penyempurna dan terbang bersama-sama menjalani kehidupan yang fana dan penuh tanda tanya.

**
Bojonegoro, 2005. Mereka menginjakkan kaki di tanah air. Menggelar pesta pernikahan yang sederhana dengan adat Jawa dan diiringi musik rebana. Tidak lupa mengundang beberapa kawan organisasi satu desa dan kabupaten seperti Ita, Moko, Alis, Kokom, dan Kawan-kawan.

Setelah resmi menikah, keduanya merintis membuat pesantren Agroekologi di Bojonegoro sebab mereka sadar bahwasanya arah pembangunan jangan sampai meninggalkan pertanian.

Mereka juga sadar,bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, dimana pertanian harus dimajukan dan dikelola secara berkelanjutan. Selaras dengan apa yang pernah dikatakan oleh beberapa founding parents Indonesia seperti Mbah Hasyim Asyari dan Bung Hatta tentang petani dan pertanian.

Mereka berkomitmen membangunnya bersama-sama. Serta mencoba mengejawantahkan pemikiran founding parents Indonesia dalam hal pendidikan. Dan tidak mengkomersialisasikan pendidikan.

Mereka mengenang masa-masa ketika masih mencintai dalam diam sembari duduk di tepi sawah. Gemericik air dan hembusan angin menjadi saksi bisu dari keromantisan pasangan yang cintanya bersemi kembali dan dideklarasikan di Negeri Kincir Angin itu.

 

Campurejo, 14 Mei 2020

Tags: Fiksi Akhir Pekan

BERITA MENARIK LAINNYA

Menerbangkan Kupu-kupu
Fiksi Akhir Pekan

Menerbangkan Kupu-kupu

April 10, 2021
Mengabadikan Kepergian di Kala Subuh
Fiksi Akhir Pekan

Mengabadikan Kepergian di Kala Subuh

March 21, 2021
Tragedi Gerbong Kereta dan Kamu yang Abadi Dalam Terjemahan
Fiksi Akhir Pekan

Tragedi Gerbong Kereta dan Kamu yang Abadi Dalam Terjemahan

March 20, 2021

REKOMENDASI

Al-Khabiburosul dan Kegigihan Mempertahankan Budaya Sholawat (4)

Al-Khabiburosul dan Kegigihan Mempertahankan Budaya Sholawat (4)

April 16, 2021
Syifa’ul Qolbi dan Pengenalan Sholawat Sejak Dini (3)

Syifa’ul Qolbi dan Pengenalan Sholawat Sejak Dini (3)

April 15, 2021
Hadrah Al-Isro’, dari Santri Ngaji hingga Perjuangan Syiar Sholawat (2)

Hadrah Al-Isro’, dari Santri Ngaji hingga Perjuangan Syiar Sholawat (2)

April 14, 2021
Asy-Syabab Nusantara dan Perkembangan Sholawat Kontemporer di Bojonegoro (1)

Asy-Syabab Nusantara dan Perkembangan Sholawat Kontemporer di Bojonegoro (1)

April 13, 2021
Larangan Mudik, Cara Pemerintah Menyelamatkan Para Jomblo

Larangan Mudik, Cara Pemerintah Menyelamatkan Para Jomblo

April 12, 2021
Bupati Bojonegoro Gelar Pasar Murah Menjelang Ramadhan, Semoga Tidak Jadi Pasal Kerumunan

Bupati Bojonegoro Gelar Pasar Murah Menjelang Ramadhan, Semoga Tidak Jadi Pasal Kerumunan

April 11, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved