Demokrasi tanpa nomokrasi itu anarki, sedang nomokrasi tanpa demokrasi adalah tirani.
Dunia penuh dengan tipu-tipu. Begitupun dengan demokrasi. Telah terjadi di Amerika Serikat, Myanmar, dan beberapa negara lain.
Pada tanggal 6 Januari 2021 lalu, pendukung Donald Trump yang nota bene kalah dalam kontestasi pemilu di Amerika Serikat melakukan pendudukan dan tindakan anarkis di Capitol Hill.
Di Capitol Hill inilah sejatinya Congress bersama dengan Lembaga Pemilihan Umum Amerika Serikat akan mengesahkan kemenangan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat yang memenangkan kontestasi pemilu di Amerika Serikat.
Penyerbuan pendukung Donald Trump di Capitol Hill tersebut berdasarkan laporan Kompas, selain merusak berbagai fasilitas umum juga adanya upaya penghinaan dan pelecehan terhadap martabat gedung Capitol Hill.
Pasalnya, sejumlah massa diduga juga mengotori gedung tersebut dengan urine dan kotoran manusia sebagai bentuk penghinaan dan kekecewaan karena kekalahan Donald Trump yang sangat mereka dukung dan agung-agungkan.
Massa juga mendalilkan bahwa pemilu di Amerika Serikat penuh dengan kecurangan, rekayasa, serta manipulasi untuk mengalahkan Donald Trump yang mereka yakini seharusnya memenangkan kontestasi pemilu di Amerika Serikat, Nabs.
Meski begitu, dugaan kecurangan dari sejumlah massa pendukung Donald Trump justru ditolak oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan salah satu dalilnya berupa tidak terdapat bukti yang cukup untuk mengamini dugaan kecurangan, rekayasa, serta manipulasi dalam pemilihan umum di Amerika Serikat.
Karena ditolaknya gugatan pendukung Donald Trump di Mahkamah Agung Amerika Serikat itulah sebagian pendukung Donald Trump melakukan penyerangan di Capitol Hill.
Senada dengan kasus penyerangan di gedung Capitol Hill tersebut, terdapat fenomena lain yang secara substantif memiliki persamaan berupa ‘the death of democracy’ yang terjadi di Myanmar.
Persitiwa ini berupa kudeta militer Myanmar pada tanggal 1 Februari 2020 yang berhasil menangkap beberapa pemimpin sipil Myanmar seperti: Aung San Suu Kyi, Win Myin, serta berbagai tokoh sipil lainnya.
Kudeta militer dilakukan dengan dalih bahwa terdapat berbagai kecurangan yang terjadi dalam pemilu di Myanmar yang memenangkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dengan kemenangan 83% kursi di parlemen.
Meski begitu, dalih kecurangan yang dilakukan oleh pihak oposisi dengan dukungan militer Myanmar ditolak oleh Mahkamah Agung Myanmar dengan alasan hanya sedikit bukti dan bukti tersebut tidak secara expressive verbis menunjukkan adanya kecurangan sebagaimana yang didalilkan oleh pihak oposisi yang didukung oleh militer Myanmar.
Dua potret ‘matinya demokrasi’ tersebut sejatinya dapat disimpulkan oleh dua aspek, Nabs, yaitu: pertama, fanatisme politik yang tidak didukung oleh kesadaran dan budaya hukum yang baik.
Hasilnya, polemik politik diselesaikan melalui jalur ‘brutal’ dengan konflik senjata, kekerasan, dan adanya anarkisme di mana-mana.
Pada dimensi ini, politik dilihat hanya sebagai tujuan dan hukum dikebiri hanya sebatas aksesoris politik yang mana masyarakat tidak mempercayai hukum sebagai institusi yang netral, kredibel, serta profesional dalam menyelesaikan berbagai sengketa politik yang terjadi.
Kedua, kurangnya jiwa progresivitas pengadilan yang diharapkan menjadi the last resort of the constitutionally election.
Namun, terkadang pengadilan justru bertindak ‘over-restrain’ yang gagal mengkonstruksi keadilan substantif. In casu a quo, pengadilan terkadang hanya menjadi ‘penghitung ulang’ dan paling jauh hanya sebatas ‘konfirmasi numerikal’ tanpa menggali sedalam-dalamnya aspek keadilan substansial.
Tulisan ini akan mencoba menganalisis mengenai potret demokrasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Myanmar serta dihubungkan dengan praktik di Indonesia yang sama-sama masih berjuang dalam mewujudkan demokrasi yang substantif
Interaksi antara Politik dan Hukum.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Robert Dahl bahwa demokrasi juga lazim disebut sebagai poliarki yang menegaskan bahwa adanya berbagai kekuatan sosial-personal yang berpengaruh terhadap proses pemilihan pemimpin yang melibatkan partisipasi rakyat.
Secara singkat, poliarki yang dikemukakan oleh Robert Dahl menunjukkan bahwa dalam demokrasi sejatinya tidak ada ‘pemimpin tunggal’ karena pemimpin sesungguhnya adalah rakyat yang biasanya diwakili oleh wakil rakyat di parlemen.
Meski begitu, demokrasi dalam praktiknya perlu dilihat dalam dua aspek sekaligus, yakni aspek politik dan aspek hukum.
Demokrasi dalam aspek politik menekankan pada adannya partisipasi masyarakat dalam memilih maupun mengawasi jalannya pemerintahan dari pemimpin yang terpilih.
Demokrasi dalam aspek politik juga menegaskan bahwa segala jenis kecurangan, rekayasa, maupun kesalahan teknis harus dihindari dalam proses politik karena dapat mereduksi hak pilih dari masyarakat, termasuk juga pemberlakukan yang setara (similia similibus) terhadap setiap warga negara yang memenuhi syarat tertentu untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin.
Selain secara aspek politik, demokrasi juga perlu dilihat dalam aspek hukum yang menekankan pada adanya validitas, kebenaran, keadilan, serta menjamin terselenggaranya demokrasi yang fair, serta sesuai dengan prinsip dan aturan hukum yang berlaku.
Dalam hal inilah, maka interaksi antara politik dan hukum digambarkan oleh Sri Soemantri Martosoewignjo yang mengibaratkan bahwa ‘jika politik adalah kereta api maka hukum adalah rel yang menuntun kereta api berjalan secara teratur ke tempat tujuan’.
Berdasarkan hal tersebut maka wajar jika proses demokrasi haruslah selalu diimbangi dengan ketaatan terhadap prinsip nomokrasi.
Hal ini dikarenakan, ‘demokrasi tanpa nomokrasi itu anarki, sedangkan nomokrasi tanpa demokrasi adalah tirani’.
Upaya untuk menjamin supaya demokrasi dan nomokrasi berjalan beriringan haruslah terus dilakukan, hal ini dikarenakan terkadang ada suatu spannungsverhältnis antara demokrasi dan nomokrasi.
Lebih lanjut, Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya yang berjudul Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (1978) menegaskan bahwa karakter politik yang demokratis membuat produk hukum berkarakter responsif.
Hal ini diperkuat oleh argumentasi Moh. Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia (2014) yang merinci indikator konfigurasi politik demokratis yaitu: pers bebas tanpa sensor dan pembredelan, partai politik kuat dan parlemen juga kuat yang menentukan haluan kebijakan negara, serta pemerintah/lembaga eksekutifnya netral.
Lebih lanjut, menurut Moh. Mahfud MD karakter produk hukum yang dibuat dengan mekanisme politik demokratis mmemiliki tiga kriteria, yaitu: substansinya limitatif, pembuatannya aspiratif, serta pembuatannya sangat partisipatif/populistik.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick serta Moh. Mahfud MD tersebut maka interaksi antara politik dan hukum adalah erat dan saling berhubungan dan karena itu interaksi antara politik dan hukum haruslah dijaga dengan mengedepankan aspek demokrasi dan nomokrasi secara bersamaan.
Demokrasi Tipu-Tipu: Ketika Demokrasi Determinan atas Nomokrasi. Fenomena ‘demokrasi tipu-tipu’ sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat dan Myanmar setidaknya dapat dilihat dalam dua aspek, pertama, terkait budaya dan kesadaran hukum masyarakat Amerika Serikat dan Myanmar dalam menyikapi kontestasi politik berupa pemilu, serta kedua, peran lembaga pengadilan dalam menjaga konstitusionalitas pemilihan umum.
Dalam aspek pertama, sebenarnya fenomena penyerangan gedung Capitol Hill dan kudeta militer Myanmar seharusnya tidak terjadi apabila budaya dan kesadaran hukum masyarakat Amerika Serikat dan Myanmar tergolong tinggi.
Namun, perlu diketahui pula bahwa budaya dan kesadaran hukum juga dipengaruhi oleh tindakan dari elite politik serta aktor politik di negara yang bersangkutan.
Jika elite serta aktor politik gagal memberikan contoh berhukum secara baik, maka dapat dimungkinkan bahwa gerakan massa yang bersifat destruktif sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat maupun kudeta militer yang terjadi di Myanmar menjadi hal yang ‘dianggap lumrah’ untuk terjadi.
Dalam hal ini, berlakulah suatu istilah latin yang menyatakan bahwa ‘Per malum exemplum magis periculo quam est peccatum’ yang berarti bahwa suatu teladan yang buruk sejatinya lebih berbahaya daripada dosa.
Oleh karena itu, upaya untuk menjaga supaya demokrasi sejalan dengan nomokrasi dapat dilakukan dengan pemberian teladan dari para elite serta aktor untuk memberikan contoh dalam meningkatkan budaya dan kesadaran hukum pasca kontestasi demokrasi, termasuk tidak melakukan provokasi dan tindakan yang bertendensi anarkis.
Dalam aspek kedua, sejatinya fenomena ‘demokrasi tipu-tipu’ yang terjadi di Amerika Serikat dan Myanmar memiliki pola yang sama yaitu adanya ketidakpuasan dari pihak oposisi terhadap putusan pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Agung Amerika Serikat dan Myanmar) yang menolak gugatan dugaan kecurangan baik yang terjadi di Amerika Serikat dan Myanmar.
Dalam hal ini, putusan pengadilan menjadi penting dalam menyelesaikan kasus sengketa hasil pemilihan umum.
Terutama, bagaimana ratio decidendi putusan pengadilan yang secara presisi dan proporsional mampu menggali aspek substantif dalam perselisihan hasil pemilihan umum.
Salah satu contoh putusan pengadilan yang cukup menarik membahas mengenai penyelenggaraan demokrasi terjadi di Indonesia berupa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Jawa Timur tahun 2008 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 41/PHPU.D-VI/2008 yang menegaskan adanya kejahatan TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif).
Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Jawa Timur tersebut menjadi fenomenal karena lembaga pengadilan berani keluar dari kredo ‘rule and logic’ karena jika melihat secara original intend dibentuknya Mahkamah Konstitusi Indonesia hanya menangani perselisihan hasil pemilu dan pilkada secara hitung-hitungan saja dan tidak sampai pada sesuatu yang lebih luas dari itu.
Meski begitu, Mahkamah Konstitusi Indonesia berhasil melakukan rechtsvinding dengan tidak hanya tunduk pada bangunan ‘pasal dan undang-undang’ semata, melainkan melakukan constitutional compassion dalam meneguhkan prinsip nomokrasi dalam perhelatan demokrasi.
Seyogianya, ada langkah progresif yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dan Myanmar dalam menyikapi indikasi kecurangan dalam pemilihan umum sehingga dapat mencegah ekspresi kekecewaan yang dilakukan secara represif.
Selain itu, diharapkan pula Mahkamah Agung Amerika Serikat dan Myanmar mampu melakukan rechtsvinding sehingga mampu menghadirkan persidangan yang terbuka, fair, netral, dan imparsial sehingga mencegah sesuatu yang bersifat destruktif dan represif.
Berdasarkan uraian di atas dan terkait dengan fenomena politik yang terjadi di Amerika Serikat dan Myanmar maka penulis menyimpulkan telah terjadinya suatu fenomena ‘demokrasi tipu-tipu’ yaitu suatu fenomena demokrasi yang tidak diimbangi dengan spirit dan jaminan atas nomokrasi.
Semoga saja, fenomena ‘demokrasi tipu-tipu’ yang terjadi di Amerika Serikat dan Myanmar menjadi bahan pembelajaran kita bersama, bahwa demokrasi haruslah dilaksanakan sejalan dengan prinsip nomokrasi untuk menghindari anarki serta tindakan-tindakan ‘brutal’ lainnya yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.