Dua jam sebelum kapal tenggelam, beberapa saat sebelum samudra berubah kelam.
Nabila bangun dari tempat tidur dalam keadaan keringat membasahi tubuh. Dia baru saja ditemui lelaki bercahaya dengan wajah tidak begitu jelas, namun memberi kabar tentang kapal besar tenggelam yang ditempati Ayah tersayang, bekerja puluhan tahun menyangga nasi dan minum keluarga.
Matahari yang sedang tidak baik-baik saja pagi itu, mendung tebal menutup sudut pandang pada burung-burung liar yang benyanyi menghiasi pagi pun tidak berkicau sama sekali, tidak ada angin segar, situasi terasa panas dalam rumah, hingga pikiran dan hati Nabila tidak lagi seperti biasanya.
Nabila segera menemui ibunya sembari membawa buah telepone genggam untuk mendapatkan kabar informasi tentang ayah tercinta.
“Ibu, ayah tidak mengangkat teleponeku dari tadi, ayah kemana Ibu,” tanya Nabila kepada Ibunya yang sedang menanak nasi di dapur.
“Mungkin sedang perjalanan, atau mulai bekerja nak,” jawab ibu.
“Tapi, kenapa ayah tidak pamit kepadaku, kalau mau berangkat berlayar,” Nabila bertanya lagi dengan keadaan kuwatir dan kebingungan tentang mimpinya.
“Ayah, buru-buru berangkat bil, tapi, Ayah tadi sempat titip salam kepadamu,” sahut Ibu lagi, sembari menyampaikan salam kepada Nabila yang tengah kuwatir menggigil ketakutan.
“Memangnya, kenapa bil,” tanya ibu lagi kepada Nabila yang sedang duduk di kursi meja makan dapur menundukkan kepala, menghilangkan mimpi yang mencoba menyatu dengan pikirannya.
Aku bermimpi, Ibu. Tadi aku bangun tidur, karena Kapal Besar Ayah tenggelam dan seluruh awak kapal tidak terselamatkan, belum lagi langit yang kelihatan mendung hitam, pulau-pulau yang indah nampak hidung mancungnya tidak cantik lagi dilihat ayah, tidak ada setitik cahaya yang mampu menolong ayah dikala musibah besar terjadi.
Angin mendayung desir ombak yang begitu tinggi, Ayah terbawa arus hingga ke datar laut sekisar ratusan meter, suara tangis memilukan, jeritan minta tolong bersahutan di kamar-kamar kapal, musala, dan ujung bibir kapal, satu-persatu terhempaskan ke dalam lautan, dan hanya dengan hitungan detik Kapal tidak kelihatan di permukaan laut.
“Apa bil,” sontak ibu tergesa-gesa mengambil telepone genggam yang ia tempatkan di lemari kamar, dan sesegera mungkin menghubungi suaminya yang baru saja berangkat dua jam belakangan dari rumah.
Kemudian, Nabila pergi ke ruang tamu, ingin menyalakan televisi, siapa tahu ada informasi berita terkini terkait dengan Tenggelamnya kapal hari ini yang diperoleh dari mimpi selesai tidur dua jam menjelang pagi menghapus seluruh suara-suara bahagia nam gelora.
Derasnya angin pagi mendadak norobos pagar besi hingga memasuki jendela rumah, koran-koran berserakan—berterbangan, selambu jendela mengayunkan ke kanan-kiri memantik Nabila si gadis kecil manis dan imut yang sedang melototi beberapa chanel televisi, dengan wajah yang bingung merah merona, kekuwatiran begitu dahsyat memusatkan pikiran kepada ayah satu-satunya yang ia sayang. Apakah masih baik-baik saja, atau sudah tidak ada kabar lagi yang didapat. Bahkan sejak pertama kali ia lahir melihat ketampanan dan kebaikan seorang lelaki satu-satunya.
“Bil… Bil.. Bil”
Ibu memanggil Nabila yang sedang duduk tersungkur di depan televisi, sedih dan menangis melihat informasi berita terbaru, bahwa Kapal Besar yang ditumpangi ayahnya tenggelam beneran dan tidak terselamatkan satu pun awak kapal di dalamnya.
“Kita harus bersabar, bil,” ketabahan Ibu untuk menerima segala cobaan yang diterimanya pagi itu, mau bagaimana pun, kalau semua sudah terjadi. Kita tidak bisa berbuat apa-apa, selain berdo’a kepada Tuhan.
Ia masih saja belum bisa berbicara, apalagi melihat wajah Ibunya yang sedih dua kali lipat, karena tidak mendapat jawaban dari telepone genggam yang ia pegang. Dan ibunya juga mengira bahwa suami tercinta sudah tidak ada lagi.
Tubuh lemas, pikiran kacau, hati begitu pedih, keluarga yang ditinggalkan seorang ayah sebagai tulang punggung satu-satunya harus meninggalkan Fatimah (istri) dan Nabila (anak perempuan) yang disayang sepanjang masa, bagaikan domba yang kehilangan pengembala, tidak sedikit pun bahagia, kala pengembala kehilangan rumput dan domba-domba mati kehilangan nyawa pengembala.
“Tok… Tok, Tok”.
“Permisi.! Assalamu’alaikum”
Bunyi seseorang yang sedang mengetuk pintu Rumah di gang cemara jalan aksara kepatin digdaya (kediaman Ibu Fatimah dan Nabila pagi menuju tengah siang).
“Apakah, ada orang di rumah ini,” panggilan kedua kali seseorang yang akan bertamu, berbadan kurus lancir dan tinggi.
Ibu Fatimah, segera membuka pintu untuk seseorang itu, berdiri pelan, dalam keadaan kaki yang masih bergetaran dan belum sadar sepenuhnya, pintu dibuka lahan perlahan, kelihatan dua mobil polisi berbaris di depan rumahnya.
“Siapa ya,” tanya Fatimah kepada penamu itu.
“Apa benar, ini Kediaman Bapak Hamdun yang gugur berlayar pagi hari, kami dari pihak keamanan bu, ingin memberikan informasi tentang kejadikan tenggelamnya, Kapal Besar dini hari,” jawab bapak polisi berambut lurus berkumis tipis, sambil membawa daftar nama korban awak kapal.
“Iya, benar Pak,” jawab Fatimah yang kian gemetar tangan hingga ujung kaki, ketika mendapatkan informasi akurat dari pihak keamanan, bahwa suaminya benar-benar sudah tidak ada lagi.
“Ibuk, Ibuk tidak apa-apa,” Sahut Bapak, sembari menggendong dan dibawa masuk ke dalam rumah untuk beristirahat.
“Tenang, Ibuk, setiap manusia akan dihadapkan ujian dan cobaan, dan setiap manusia pasti akan menghadap Tuhan. Kita cukup bisa mendo’akan sesama manusia, semoga orang-orang yang mendahului kita ditempatkan di surga Tuhan dengan puluhan pahala yang dikerjakan selama di dunia.” Nasihat Bapak Polisi.
Nabila pun duduk merenung di kursi belakang Rumah, sambil mengayun-ayunkan kakinya, meratapi kesedihan yang begitu nyata, walaupun terkadang mimpi belum tentu terbukti kebenarannya. Setiap seseorang berhak bermimpi, mimpi yang jatuh ketika tidur dan terbangun ketika orang-orang sama sekali pun tidak pernah bermimpi.