Hari buruh sedunia diperingati pada 1 Mei. Satu hari setelahnya, di negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945 ini, diperingati sebagai hari pendidikan nasional (hardiknas). Kira-kira, apa korelasi antar keduanya?
Hari pendidikan nasional dirayakan secara berkesinambungan dengan hari buruh internasional.
Jika hari buruh dirayakan setiap tanggal 1 Mei yang diidentikkan dengan perayaan Mayday, maka di Indonesia sehari setelah perayaan hari buruh juga diadakan perayaan hari pendidikan nasional yang dirayakan setiap tanggal 2 Mei.
Menilik latar belakang sejarahnya, tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh dikarenakan untuk mengenang tragedi Haymarket Riot atau Kerusuhan Haymarket yang terjadi di Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1886.
Di Indonesia sendiri, perjalanan perayaan hari buruh juga tidak selamanya berjalan secara baik, mengingat pada era orde baru, ada kecenderungan perayaan hari buruh diidentikkan dengan ideologi komunisme yang dianggap sebagai paham terlarang.
Pada akhirnya, harapan akan adanya jaminan perayaan hari buruh di Indonesia akhirnya terlaksana pada tahun 2013 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan hari buruh 1 Mei sebagai hari libur nasional.
Senada dengan latar belakang sejarah hari buruh tersebut, hari pendidikan nasional juga memiliki landasan dan perjalanan sejarah tersendiri. Hari pendidikan nasional Indonesia yang dirayakan setiap tanggal 2 Mei sejatinya didasarkan pada hari kelahiran Ki Hajar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat) yaitu 2 Mei 1889.
Ki Hajar Dewantara merupakan Menteri Pengajaran (Pendidikan) pertama Republik Indonesia sekaligus juga merupakan tokoh penting berdirinya Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta.
Perguruan Taman Siswa didirikan sebagai upaya untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia yang saat itu masih dibawah cengkeraman kolonialisme Belanda.
Dilihat dari sejarah perayaan hari buruh dan hari pendidikan nasional tersebut setidaknya terdapat persamaan semangat antara perayaan hari buruh pada 1 Mei dengan perayaan hari pendidikan nasional pada 2 Mei.
Persamaan semangat tersebut yaitu adanya ‘semangat pembebasan’ (spirit of liberation) baik pada perayaan hari buruh maupun perayaan hari pendidikan nasional.
Semangat pembebasan dalam hal ini dapat dimaknai bahwa masyarakat pekerja/buruh di Indonesia haruslah mendapatkan jaminan hak-hak serta mendapatkan perlakuan yang layak dalam hubungan ketenagakerjaan.
Hal ini termasuk pula dalam lingkup pendidikan yang mana pendidikan menjadi hak konstitusional bagi setiap warga negara.
Sebagai hak konstitusional, tentunya negara harus mengusahakan supaya seluruh warga negara Indonesia dapat mengenyam pendidikan setidak-tidaknya pendidikan dasar dan menengah sehingga dapat meningkatkan mutu, daya saing, serta berbagai inovasi bagi bangsa ke depannya.
Dengan demikian, maka ‘semangat pembebasan’ (spirit of liberation) selain dalam aspek ketenagakerjaan/perburuhan juga terdapat dalam lingkup pendidikan.
Spirit of liberation dalam bidang ketenagakerjaan dan pendidikan sejatinya mendapatkan momentum emas pada gerakan reformasi tahun 1998 yang salah satu outputnya berupa adanya amandemen konstitusi.
Salah satu hasil amandemen konstitusi adalah adanya penjaminan serta politik hukum yang komprehensif dalam bidang ketenagakerjaan dan pendidikan terutama dengan adanya redaksi Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 31 UUD NRI 1945.
Pasal 28D ayat (2) sebagai hasil amandemen kedua konstitusi pada tahun 2000 menegaskan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pasca reformasi perubahan konstitusi mengamanatkan bahwa ‘pekerjaan’ merupakan hak konstitusional bagi seluruh warga negara sehingga negara diharapkan untuk memberikan jaminan perlindungan, jaminan kepastian hukum, serta kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong dan memfasilitasi setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan.
Hal ini tentunya juga diperlukan adanya affirmative action and policy sebagai upaya pemberdayaan kepada masyarakat miskin dan terpencil serta kepada penyandang disabilitas untuk dapat menikmati hak atas pekerjaan sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945.
Dengan demikian, maka hak atas pekerjaan sebagaimana amanat konstitusi tersebut tidak boleh tunduk pada mekanisme pasar yang hanya memfasilitasi para tenaga terampil dan masyarakat yang nota bene sudah mendapatkan akses yang luas akan hak pekerjaan.
Akan tetapi, juga terhadap masyarakat miskin dan terpencil serta kepada penyandang disabilitas perlu adanya affirmative action and policy untuk menjamin bahwa jaminan hak atas pekerjaan juga berlaku bagi seluruh warga negara.
Selain pada jaminan hak atas pekerjaan, Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 juga mengamatkan adanya imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Dalam hal ini, jaminan akan adanya imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja merupakan salah satu implementasi dari gagasan constitutional welfare state atau gagasan negara kesejahteraan yang dijamin dan berdasarkan atas konstitusi.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Greg Weiner bahwa salah satu orientasi dari gagasan constitutional welfare state adalah, “….fulfill the national government’s responsibility for the material well-being of the populace, but not about whether it bore that responsibility in the first place…”.
Dari pendapat Greg Weiner tersebut, dapat disimpulkan bahwa gagasan constitutional welfare state berupaya menghadirkan negara sebagai pengurus, pelindung, penjamin, serta penegak hak konstitusional warga negara.
Dalam hal ini, adanya jaminan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 adalah sebagai respon terhadap kedudukan buruh/pekerja yang dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pengusaha.
Oleh karena itu, dalam mengimplementasikan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 negara menjamin serta memfasilitasi buruh/pekerja akan jaminan upah yang pasti serta layak (salah satunya berupa kebijakan upah minimum provinsi/kabupaten/kota/UMP dan UMK sebagai jaring pengaman bagi para buruh/pekerja), adanya Pengadilan Hubungan Industrial, Jaminan sosial ketenagakerjaan, hingga berbagai payung hukum berupa UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian disempurnakan dengan adanya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tentunya, meski masih menimbulkan perdebatan di masyarakat terkait UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, namun semangat untuk melindungi dan menyejahterakan buruh/pekerja dari pemerintah haruslah mendapatkan apresiasi bersama.
Selain berupa jaminan melalui payung hukum oleh pemerintah, jaminan perlindungan hukum terhadap buruh/pekerja juga dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian and the final interpreter of constitution melalui berbagai putusannya seperti pada Putusan MK No. 7/PUU-XII/2014 dan Putusan MK No. 72/PUU-XIII/2015 serta berbagai putusan lainnya.
Adanya fenomena berbagai Putusan MK yang berupaya meluruskan amanat konstitusi tersebut sejatinya merupakan salah satu perwujudan dari UUD NRI 1945 sebagai liberating constitution yaitu konstitusi yang membebaskan sekaligus menjamin hak bagi para pekerja atau buruh sebagaimana amanat dari Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945.
Di bidang pendidikan, paradigma liberating constitution juga berupaya dioptimalkan terutama dengan adanya rumusan Pasal 31 UUD NRI 1945 sebagai hasil amandemen keempat konstitusi pada tahun 2002 sejatinya menegaskan beberapa aspek seperti: pendidikan sebagai hak konstitusional warga negara, adanya prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, serta orientasi pendidikan sebagai sarana inovasi bangsa sekaligus upaya pengembangan karakter yang selaras dengan kemajuan peradaban, nilai-nilai agama dan budi pekerti, sekaligus pemeliharaan dan pengembangan budaya bangsa.
Tentunya, amanat Pasal 31 UUD NRI 1945 tersebut juga memerlukan implementasi berupa payung hukum seperti Undang-Undang dan peraturan pelaksananya serta perlu adanya Peraturan Daerah (Perda) di masing-masing daerah dalam menyukseskan amanat Pasal 31 UUD NRI 1945.
Selain itu, kebijakan publik yang berorientasi memperluas akses pendidikan juga diperlukan terutama bagi masyarakat miskin, terbelakang, serta pada masyarakat Indonesia Timur yang nota bene sering dianaktirikan sehingga memerlukan adanya affirmative policy dalam mendapatkan akses terhadap hak atas pendidikan.
Selain itu, peran lembaga yudisial dalam hal ini Mahkamah Konstitusi juga penting dalam menjaga amanat Pasal 31 UUD NRI 1945.
Salah satu Putusan Mahkamah Konstitusi yang berupaya menegakkan amanat Pasal 31 UUD NRI 1945 adalah Putusan MK No. 13/PUU-VI/2008 terkait dengan inkonstitusionalitas anggaran pendidikan yang secara jumlah tidak menetapkan minimal 20% dari APBN dan APBD sebagaimana amanat dalam Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945.
Bahkan, berdasarkan hasil penelitian dari Fajar Laksono Suroso dalam buku yang berjudul Potret Relasi Mahkamah Konstitusi-Legislator: Konfrontatif atau Kooperatif? bahwa dalam Putusan MK No. 13/PUU-VI/2008 tersebut, MK sampai mengeluarkan mandat konstitusional bahwa jika UU APBN ke depan tidak memberikan jaminan minimal 20% sebagai anggaran untuk pendidikan sebagaimana amanat dalam Pasal 31 UUD NRI 1945, maka dengan sendirinya UU APBN tersebut adalah inkonstitutional.
Adanya mandat konstitusional dalam Putusan MK No. 13/PUU-VI/2008 yang berkaitan dengan minimal anggaran pendidikan sebagaimana amanat dalam Pasal 31 UUD NRI 1945 tersebut sejatinya merupakan bentuk dari implementasi doktrin judicial activism oleh Mahkamah Konstitusi supaya jaminan hak konstitusional berupa hak pendidikan dapat ditaati oleh Pemerintah dan DPR dalam membentuk UU APBN.
Hal ini sejatinya diperkuat oleh argumentasi dari John Marshall bahwa, “It is emphatically the province and duty of the judiciary to say what the law is”.
Argumentasi John Marshall tersebut sejatinya menegaskan bahwa sebagai penjaga konstitusi sekaligus pelindung hak konstitusional warga negara, maka Mahkamah Konstitusi perlu melakukan berbagai upaya untuk menjaga supaya majority rule dapat selaras dengan minority rights.
Dalam hal inilah maka Mahkamah Konstitusi mengimplementasikan paradigma liberating constitution.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa paradigma liberating constitution dalam UUD NRI 1945 sejatinya juga diterapkan dalam politik hukum bidang ketenagakerjaan dan pendidikan. Pradigma liberating constitution atau paradigma bahwa UUD NRI 1945 sebagai konstitusi Indonesia merupakan konstitusi yang membebaskan terutama dalam kaitannya dengan penjaminan akan hak konstitusional warga negara terutama dalam bidang ketenagakerjaan dan pendidikan.
Penerapan paradigma liberating constitution dalam bidang ketenagakerjaan dan pendidikan perlu mendapat dukungan semua pihak, terutama pemerintah sebagai lembaga yang melaksanakan kekuasaan untuk menetapkan kebijakan publik.
Pada akhirnya, beriringannya perayaan hari buruh internasional pada 1 Mei dengan hari pendidikan nasional Indonesia pada 2 Mei sejatinya mengisyaratkan pesan bagi bangsa Indonesia, bahwa segala permasalahan buruh/pekerja, solusinya adalah kualitas pendidikan yang baik, karena dengan kualitas pendidikan yang baik dapat diharapkan akan terciptanya tenaga kerja terampil serta calon pemimpin masa depan bangsa yang akan menjalankan amanat konstitusi secara konsisten ke depannya.