Merenungi dua senjata magis yang menjadi pelindung dan penunjuk arah, sekaligus ruh kelahiran Jurnaba di muka bumi.
Jurnaba.co sudah berusia setahun. Seperti seorang manusia balita, ruang kreatif yang kecil-saja-belum ini, sedang belajar berdiri dan berjalan. Sesekali terjatuh dan sakit demam, tapi tetap hidup dan akan terus berjalan.
Di usia ini, Jurnaba benar-benar serupa anak kecil. Masih sering berbuat ngawur dan salah. Tapi kengawuran dan kesalahan itu, berorientasi pada proses belajar. Sebab kami percaya, kebenaran dibangun dari kesalahan-kesalahan.
Sulit menemui kebenaran jika tak pernah melakukan salah. Sebab bisa jadi, kesalahan tercipta bukan sebagai tujuan, tapi sekadar tahap menuju kebenaran. Asal, kesalahan tak membuat kita berhenti mencari.
Sebagai rumah kreatif yang terus berupaya memberi kabar baik melalui bermacam media (teks, suara dan gambar gerak), Jurnaba terus mengembangkan diri untuk belajar dari bermacam fenomena.
Mengabarkan kebahagiaan dari fenomena baik yang terjadi, sekaligus berupaya mengambil kebaikan (hikmah) dari fenomena buruk yang telah terlewati. Dari sana, pondasi Jurnaba lahir dan berdiri.
Anak-anak Koridor Perak — sebutan kru Jurnaba — pun masih terus belajar mengembangkan kemampuan diri. Belajar dari perkara baik dan belajar dari perkara buruk. Belajar dari apa yang ada di depan mata, sekaligus belajar dari apa yang terjadi nun jauh di sana.
Dan dari proses belajar itu, ada dua kultur lelaku yang wajib dipegang para kru Jurnaba. Dua buah senjata magis pelindung dan penunjuk arah. Semacam gembolan yang tak bisa dilepaskan dari para punggawa Jurnaba.
Dua senjata itu adalah ketelatenan membaca dan kemauan untuk menuliskannya. Dua buah senjata yang menjadi ruh, substansi sekaligus esensi Jurnaba lahir ke dunia.
Tanpa telaten membaca, kami menyadari Jurnaba hanya akan menjadi cita-cita yang tak mungkin terwujud. Sedang tanpa menuliskannya, Jurnaba jelas tak akan pernah terlahir di dunia. Jurnaba adalah makhluk yang lahir dari embrio membaca dan menggurat cerita.
Kami meyakini, giat membaca dan menulis sebagai pembeda antara manusia dan hewan. Pembeda antara manusia dan benda. Sekaligus penanda bahwa manusia adalah subjek vital peradaban.
Nama My Chemical Romance (MCR), misalnya, lahir setelah adik sang vokalis Gerard Way, Mikey Way, membaca sebuah buku berjudul Ecstasy: Three Tales of Chemical Romance karangan Irvine Welsh. Itu menunjukkan bahwa mereka suka membaca.
MCR menjadi salah satu band alternatif rock ikonik yang selalu bisa membawa kesan berbeda, saat lagu-lagunya didengar. Baik secara penulisan lirik maupun aransemen nada. Karakternya sulit ditiru. Sebab mereka punya tradisi membaca.
System of a Down (SOAD) juga tak jauh-jauh dari perkara literasi. Nama kelompok musik itu terinspirasi dari puisi karya sang gitaris, Daron Malakian yang berjudul Victims of a Down. Ini menunjukkan bahwa mereka tak hanya suka membaca, tapi juga menulis.
Tak heran jika SOAD menjadi salah satu band rock alternatif paling menarik dan berbeda. Baik dari lirik hingga aransemen nada yang memberi kesan sebagai band rock yang tak pernah meninggalkan muatan lokal. Karakternya sangat sulit ditiru.
Kecintaan membaca (dan menulis?) mampu membentuk eksklusivitas nilai. Ia menjadi pembeda. Ia juga menjadi alasan segala sesuatu terlihat menjadi alternatif yang elegan dibanding lainnya. Sebab mampu membentuk karakter. Baik secara personal maupun sosial. Sekaligus membuat sesuatu menjadi sangat sulit ditiru.
Pemahaman tentang membaca amat luas. Tak hanya membaca teks, tapi juga membaca kondisi dan fenomena. Pemahaman tentang menulis juga amat luas. Tak hanya menulis teks, tapi menulis melalui permenungan dan kesadaran.
George R.R. Martin, penulis cerita Game of Thrones pernah menulis: Orang-orang yang suka membaca akan mengalami seribu kehidupan sebelum mereka mati, orang-orang yang tidak membaca hanya mengalami satu kehidupan.
Dari “beberapa kali” kehidupan itulah, barangkali, membuat mereka yang membaca, bisa tahu apa yang belum diketahui orang yang belum membaca. Sekaligus bisa paham apa yang belum dipahami mereka yang belum membaca.
Yang pada level berikutnya: memiliki kepekaan psikologis untuk memahami psikologi orang lain. Sehingga punya kemampuan adaptif pada bermacam kondisi dan suasana hidup. Tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, dalam kondisi tertentu.
Itu alasan kenapa punggawa Jurnaba harus punya ketelatenan membaca dan kemauan (ingat: kemauan, bukan kemampuan!) menulis. Tanpa memegang dua senjata itu, kami pastikan, mereka tidak akan kuat. Mereka akan porak-poranda ditelan kenyataan.