Dari Dzawin Nur, saya tahu bahwa luka paling sulit disembuhkan dan paling tak bertanggung jawab bagi seorang anak, adalah perceraian kedua orang tua.
Dzawin Nur Ikram atau akrab dipanggil Dzawin Nur. Namanya mulai dikenal banyak orang, pasca mengikuti kompetisi Stand Up Comedy Indonesia season 4 (SUCI 4) pada 2014, dan berhasil meraih juara 3.
Tidak sampai di situ saja, setelah berhasil meraih juara 3 di SUCI 4, Dzawin mengikuti kompetisi Maha Raja Lawak, sebuah kompetisi paling besar yang ada di Malaysia, dan ia juga berhasil meraih juara 3.
Pemuda lulusan pesantren ini, waktu di pondok, sering mengeluh karena dia hanya makan nasi dengan krupuk dan sambal, ya seperti itulah kehidupan di pesantren. Sementara dia mengira, di rumah ibunya sedang makan dengan lauk yang enak.
Setiap ibunya mengunjunginya ke pesantren, yang dibawa oleh ibunya pasti hanya nasi, kerupuk dan sambal, yang dimasukkan plastik tentengan warna hitam. Dzawin selalu membatin “itu mah sama saja dengan lauk di pesantren”.
Sampai terkadang bukan merasa senang karena ibunya datang, justru Dzawin merasa malu dengan teman-temannya. Karena biasanya teman-temannya dijenguk menggunakan mobil sedangkan ibunya hanya naik ojek.
Sampai akhirnya, setelah lulus, Dzawin baru menyadari, semenjak bercerai dengan bapaknya, ibunya tidak pernah beli baju dan lain-lain, bahkan ibunya hanya makan nasi yang dicampur air putih dan garam karena uangnya habis untuk menyekolahkannya.
Dzawin yang kuliah di UIN Jakarta Ciputat, dari semester satu harus susah payah bekerja, karena uang kiriman yang pas-pasan.
Dengan kehidupan yang seperti itu, sehari-hari ia selalu mengutuk bapaknya, saat ia lulus dari pesantren, bapaknya terkena stroke dan Dzawin masih benci dan tidak mau merawat.
Ada yang bilang padanya: Win, berbakti sama orang tua, dari pada nyesel, mumpung masih hidup. Namun Dzawin menganggap itu pesan klise. Hingga suatu hari ada yang menelponnya: Win, pulang. Bapak jatuh dari kamar mandi, sekarang lagi di ICU.
Padahal, siang itu, Dzawin harus tampil di salah satu stasiun televisi, dan tidak bisa langsung pulang, karena malamnya harus tampil lagi. Meski keadaan bapaknya lagi di dalam ICU, Dzawin harus tetap profesional.
“Karena penonton tidak mau tahu, sesedih apapun kita, yang mereka inginkan hanyalah lucu dan bisa menghibur” kata Dzawin di salah satu chanel YouTube.
Setelah sempat menjenguk bapaknya di ICU dengan tubuh penuh lilitan kabel, dua hari setelah itu, Dzawin dapat kontrak di Makasar. Dan ketika pulang dari Makasar, bapaknya sudah wafat. Nahasnya, dua hari kemudian, Dzawin dapat kontrak stand up lagi, dan harus membuat orang tertawa, sementara ia sedang berduka.
Dzawin sempat ingin berhenti menjadi stand up comedian. Karena merasa hina. Sebab dia harus membuat orang tertawa, sementara ia sedang menangis. Namun, niat tersebut ia urungkan. Karena menyadari harus ngapain lagi selain stand up, ia khawatir tidak bisa makan dan justru malah menyusul bapaknya ~
Alasan dia tetap bertahan adalah ibunya. Karena ia ingin mengajak ibunya berangkat umroh. Dzawin ingin menemani ibunya. Dzawin ingin membahagiakan ibunya. Dari Dzawin, saya belajar banyak.
Saya belajar bahwa luka paling sulit disembuhkan dan paling tak bertanggung jawab bagi seorang anak adalah perceraian orang tua. Dengan keadaan tak tahu menahu, si anak harus menjadi korban dan menanggung banyak beban.








