Sebuah upaya membangun kesadaran lingkungan melalui kaidah literasi, di tengah Kalabendu Ekologi.
Sudah jamak diketahui bahwa saat ini, manusia telah memasuki zaman Antroposene, era di mana aktivitas manusia memiliki pengaruh global terhadap kerusakan ekosistem Bumi. Atas nama kepentingan jangka pendek, masyarakat kian jauh dari keberpihakan terhadap lingkungan alam. Hal ini, tentu berdampak pada bermacam kekacauan lingkungan. Termasuk di antaranya, peningkatan suhu panas.
Menghadapi epoh (era) Antroposene tersebut, bermacam langkah antisipatif mulai dilakukan berbagai macam pihak. Baik lembaga internasional maupun nasional. Dari menggelar kampanye lingkungan hidup, melakukan aksi-aksi pro lingkungan, hingga tentu saja membangun agit-propaganda terkait keberpihakan pada lingkungan.
Di antara aktivisme tersebut, adalah mengkampanyekan kaidah Ekoliterasi, langkah edukatif — provokatif— sebagai daya dorong membangun kesadaran lingkungan berbasis literasi. Langkah ini, ditujukan untuk mengakomodir keberpihakan masyarakat pada isu-isu lingkungan.
Dengan mengusung semangat Keep And HeAl World of the Antroposcene, pusat kajian lingkungan Kandhawa Institute menghelat diskusi bertema peran literasi terhadap kesadaran lingkungan. Acara digelar di Lembah Kandhawa, Ledok Kulon, Bojonegoro, pada (30/11) itu, fokus membahas peran literasi terhadap tumbuhnya kesadaran masyarakat akan keselarasan lingkungan sekitar.
Para pegiat Kandhawa berkeyakinan, zaman selalu mengalami perubahan. Di mana, literasi sudah tak lagi dipandang sekadar giat-giat kognitif berbasis teori. Meski, pandangan itu juga wajib dipertahankan. Namun di saat sama, literasi juga harus mengalami pengembangan makna lebih luas, sebuah makna yang berorientasi pada giat afektif-motorik berbasis aksi.
Kandhawa memandang konsep Ekoliterasi sebagai bagian dari upaya penting dalam menghadapi Epoh Antroposene. Karena itu, konsep Ekoliterasi tak boleh berhenti pada ranah kognitif. Namun juga pada dimensi yang lebih luas, yakni ranah afektif dan motorik sekaligus. Ini alasan Kandhawa Institute mulai memperbesar gema konsep Ekoliterasi tersebut.
Memaknai Ekoliterasi
Kata Ekoliterasi atau Ecoliteracy, di berbagai kalangan, mulai kerap diperbincangkan selama satu dekade terakhir. Ecoliteracy terbangun dari kata eco dan literacy. Eco berasal dari Oikos (Bahasa Yunani) yang artinya rumah tangga, atau alam semesta. Istilah Eco, secara umum dipahami sebagai kata ganti dari lingkungan hidup.
Sementara Literasi, berasal dari kata Literacy (Bahasa Inggris) yang berarti melek huruf. Istilah literasi ini, secara luas, kemudian dimaknai sebagai pemahaman akan sesuatu. Literasi menjadi istilah yang melekat pada pemahaman akan sesuatu. Seperti Literasi Financial (pemahaman tentang keuangan) hingga Literasi Digital (pemahaman tentang teknologi informasi).
Dalam pemahaman mutakhir, Ekoliterasi atau Literasi Ekologi merupakan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya lingkungan hidup. Ekoliterasi, secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan menjaga dan melestarikan alam melalui pengetahuan, sikap, watak, dan keterampilan yang terbentuk. Konsep Ekoliterasi, tentu butuh dimulai. Sehingga menjadikannya sebagai sebuah tradisi.
Kandhawa Institute memandang, konsep Ekoliterasi sangat berkaitan erat dengan dunia pendidikan. Bahkan ia harus dikembangkan melalui proses pembelajaran sepanjang hayat. Dalam konteks pendidikan, Ekoliterasi dapat meningkatkan karakter peduli lingkungan terhadap para peserta didik.
Tentu, hal ini dapat dilakukan melalui bermacam cara yang positif-provokatif. Mulai dari menyusun cerita-cerita yang menarik minat anak, menggunakan konsep story-telling, hingga dialog interaktif berbasis kebijaksanaan lingkungan antara peserta didik dan para pengajarnya.
Empat Rekomendasi Kandhawa
Meski belum mampu mempengaruhi kebijakan, Kandhawa Institute rutin mengadakan kajian dan riset etnografis-partisipatif kecil-kecilan bertema keselarasan lingkungan. Kegiatan itu dilakukan dalam rangka melatih dan mempertajam kesadaran diri, akan pentingnya alam dan lingkungan sebagai penopang kehidupan.
Dalam diskusi sederhana dihelat di Lembah Kandhawa pada 30 Oktober tersebut, Kandhawa Institute merumuskan sekaligus merekomendasikan 4 hal penting berhubungan dengan advokasi lingkungan hidup berbasis konsep Ekoliterasi. Di antaranya:
1. Kampanye Sastra Lingkungan
Di dunia kiwari, Sastra Lingkungan (Literasi Hijau) mulai digemakan secara masif sejak Cheryll Glotfelty menulis buku The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology (1996), sebuah buku yang melahirkan konsep Ecocriticism — studi tentang bagaimana sastra memengaruhi interaksi manusia dengan alam sekitarnya.
Sastra Lingkungan, secara sederhana dapat dimaknai sebagai proses mengakomodir tema-tema lingkungan ke dalam bermacam karya sastra. Karya sastra berbasis lingkungan, tentu amat tepat untuk dikumandangkan pada anak-anak usia sekolah dasar.
2. Kampanye Mitigatif
Mitigatif adalah tindak penanganan. Serupa kebencanaan, mitigasi merupakan upaya untuk mengenali resiko dan merencanakan penanggulangannya. Mitigasi lingkungan, bisa dimaknai sebagai upaya pencegahan sebelum sebuah kerusakan besar benar-benar terjadi.
Mitigasi lingkungan, secara sederhana bisa dilakukan dengan memperkenalkan masyarakat pada potensi kerusakan alam. Mitigasi lingkungan dilakukan dengan menceritakan betapa bahayanya Galian C dan penebangan pohon. Sehingga, untuk melakukan dua hal itu, masyarakat lebih taat pada aturan. Artinya, meski kerusakan sudah terjadi, minimal tak menambah kuantitas pada kerusakan yang lebih besar.
3. Kampanye Praksis
Praksis merupakan konsep yang diwujudkan dalam tindakan langsung. Kampanye Praksis bisa dimaknai sebagai giat-giat lingkungan berbasis praktik langsung. Terlebih, untuk menarik minat masyarakat, giat praktik itu bisa memicu bertambahnya pendapatan (keuntungan) bagi masyarakat.
Kampanye Praksis, secara sederhana bisa dilakukan dengan memperkenalkan masyarakat pada metode tanaman bernilai ekonomi tinggi, seperti menanam pohon indigofera yang daunnya amat diminati dunia peternakan. Meski pada akhirnya daun-daunnya dijual, minimal mereka memiliki spirit ekologi-konservasi untuk mau terus menanam kembali.
4. Kampanye Edukatif
Edukatif yang secara harfiah dimaknai sebagai proses mendidik (mengasuh), menjadi poin yang tak kalah penting dari poin-poin sebelumnya. Sebab, semua poin di atas, bisa dilakukan secara terukur hanya dengan menggunakan pendekatan edukatif.
Kampanye edukatif, secara sederhana bisa dilakukan dengan berupaya secara konstan, melalui berbagai macam cara — kampanye sastra lingkungan, mitigatif, praksis — untuk terus mengingatkan bahaya dari kerusakan lingkungan. Sehingga, masyarakat mampu menanamkan kesadaran kolektif berbasis laku antisipatif.