Antroposene sebagai bagian dari masalah lingkungan internasional, sedang diantisipasi dengan bermacam cara. Satu di antara cara itu adalah mulai berpikir dengan Skala Bumi, seperti diuraikan Psikolog Lingkungan Unpad, Noer Fauzi Rachman.
Saat ini, sedang terbentuk sebuah pemahaman dan perilaku, hingga sebuah kebijakan yang berakibat pada kesehatan bumi. Saat ini, Bumi kita memasuki era The Anthropocene — sebuah babak sejarah bumi secara geologis.
Dalam paparan berjudul Epoh Baru The Anthroposcene, Psikolog dan Environmentalist Universitas Padjajaran Bandung, Noer Fauzi Rachman menyajikan sebuah sajian pemaparan menarik tentang Kalabendu Antroposene (epoh Antroposene). Ia mengajak pembaca untuk berpikir dalam skala global yang merupakan hasil dari refleksivitas ekologis.
Epoh Antroposcene atau Kalabendu Antroposene merupakan sebuah era yang ditandai dampak manusia merusak bumi dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Istilah Antroposene, merujuk pada era di mana manusia memiliki pengaruh global terhadap ekosistem Bumi.
Sementara apa yang disebut refleksivitas ekologis (ecological reflexivity) adalah kapasitas dari suatu agensi, struktur, atau proses untuk mengubah diri dalam hubungannya dengan refleksi mengantisipasi dampak dari sistem sosial-ekologi, dan mendengarkan umpan balik dari sistem tersebut (Pickering, J., 2018).
Om Oji, begitu biasa kami menyapa Noer Fauzi Rachman menjelaskan, banyak masalah terbentuk dari cara berperilaku dari masyarakat, ormas, korporasi, birokrasi pemerintah, hingga lembaga-lembaga internasional yang secara dominan, terus-menerus mengabaikan kondisi ekologi pada berbagai skala, dan mengutamakan kepentingan ekonomi yang sempit dan berjangka pendek.
Terabaikannya kondisi ekologis atas kepentingan bisnis, berdampak pada berubahnya konsep lingkungan beserta ekosistem alam. Bermacam bencana berbasis perubahan iklim pun terjadi. Karena itu, potensi kerusakan yang lebih besar harus segera ditawarkan. Diselamatkan.
Sebagai obat penawarnya, dibutuhkan proses menumbuhkan ecological reflexivity, kapasitas dari suatu agensi, struktur, atau proses untuk mengubah diri dalam hubungannya dengan refleksi mengantisipasi dampak dari kerusakan sistem sosial-ekologi tersebut.
Menurut Om Oji, Ecological reflexivity terdiri dari tiga komponen utama perilaku, yakni; mengakui, memikirkan kembali, dan menanggapi (recognition, rethinking and response) bermacam kerusakan ekologis yang disebabkan kepentingan manusia tersebut.
Secara etis, Om Oji bilang, kita butuh pemikiran ulang yang mampu menjelajahi bagaimana keadilan, keberlanjutan dan demokrasi perlu dipikirkan dan diaktualkan kembali dalam kondisi rusaknya layanan-layanan alam skala bumi di jaman Anthropocene dewasa ini.
Epoh Antroposene secara Sederhana
Anthroposene adalah istilah untuk zaman geologi saat ini, di mana aktivitas manusia memiliki pengaruh global terhadap ekosistem Bumi. Dalam keseharian, Anthroposene terwujud melalui; eksploitasi alam yang berlebihan, modifikasi penggunaan lahan, dan degradasi petak habitat.
Selain itu, Antroposene juga terjadi karena perubahan iklim, yang berpengaruh besar terhadap ekosistem alam dan polusi yang melibatkan zat kimia baru sehingga kemampuan beradaptasi yang sudah ada sebelumnya tidak memungkinkan.
Penawar Antroposene
Hasil diskusi dan kajian rutin dilakukan Kandhawa Institute pada 26 November 2024 mengambil kesimpulan sementara bahwa: Antroposene memang tak bisa dihindari. Namun, Antroposene juga bukan berarti tak bisa dikendalikan.
Untuk mengantisipasi, mengendalikan, dan mengurangi daya buruk Antroposene, bisa dilakukan dengan cara: menggunakan kekuatan sosial, ekonomi, dan teknologi untuk membuat hidup lebih baik bagi sesama manusia; menstabilkan iklim dan melindungi alam, dan meningkatkan aktivitas manusia agar memanfaatkan alam secara bijaksana.
*
Ditulis dalam agenda diskusi rutin Kandhawa Institute, 27/11/2024.