Optimisme Enin Supriyanto dalam Istanbul Bienal 2021 dan potensi perubahan peta seni rupa dunia yang seharusnya patut membuat kita merasa bangga.
Diundangnya Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) ke Istanbul Bienali 2021 beberapa bulan mendatang, memang sangat spesial. Sebab, sangat jarang ada undangan yang melibatkan diundangnya ribuan orang.
Selain itu, undangan tersebut juga memicu banyak harapan, terutama potensi dikenalnya budaya Indonesia oleh masyarakat dunia. Bahkan, berpotensi mengubah peta seni rupa dunia.
Bermacam ide, spekulasi hingga detail persiapan pun mulai ditata satu per satu demi apa yang akan ditampilkan Indonesia ke perhelatan skala internasional di Turki tersebut.
Beberapa pekan lalu, saya mendapat kesempatan mewawancarai salah seorang kurator seni rupa berpengaruh di Indonesia, Enin Supriyanto, melalui email.
Selain punya peran besar di awal pendirian PBI, Bung Enin juga ikut andil dalam persiapan keberangkatan PBI ke Istanbul Turki November mendatang, yang menurutnya harus jadi momen pengubah peta seni rupa dunia.
Enin menyatakan, sejauh yang dia ketahui, memang tidak pernah ada acara Biennale yang mengundang satu pihak atau kelompok yang punya jaringan sampai ribuan titik simpul dan orang, kecuali PBI.
Dia mengingat, acara Documenta XII, di Kassel, Jerman, pada 2007, seniman asal China, dengan konsep karya yang melibatkan publik, sengaja mengundang khusus 1001 orang dari China untuk datang ke Kassel, dan jadi “bagian”dari karyanya.
Karena masalah logistik dan transportasi, dari berita yang dia dengar, para relawan ini datang dalam beberapa kelompok dan waktu yang berbeda, “Tapi, tentunya, jika keterlibatan banyak orang tersebut kita bayangkan sekarang terjadi dalam bentuk interkoneksi virtual, sangat mungkin terjadi.” Katanya.
Enin menjelaskan, Ketika PBI belum lahir, dia pernah mengundang Nirwan Arsuka untuk jadi pembicara yang menceritakan pengalaman “ekspedisi berkuda” yang sudah dilakukan Nirwan di wilayah Jawa Barat, dalam acara Simposium Khatulistiwa, Yogyakarta Tepatnya pada 2014.
Acara tersebut, menurut Enin, memang sengaja mengundang, menghadirkan, mempertemukan orang atau kelompok warga yang dengan caranya sendiri melakukan kegiatan yang secara umum disebut sebagai pemberdayaan warga secara mandiri.
“Acara itu memang hendak menelusuri dan membangun keyakinan kita bersama bahwa berbagai perbaikan dalam kehidupan bersama dapat sepenuhnya bertumpu pada prakarsa dan kerja warga sendiri.” Imbuhnya.
Hal itu, kata dia, penting untuk menegaskan pemikiran sekaligus bukti tentang warga yang merdeka dan penuh prakarsa. Bahwa perkembangan dan perbaikan sendi-sendi kehidupan sosial tidak semata-mata tergantung pada otoritas kekuasaan yang seringkali mengkooptasi cara pikir dan perilaku masyarakat dalam berbagai bentuk pelembagaan kekuasaan.
Nah, dalam kaitan kehadiran PBI di Istanbul Biennale nanti, ucapnya, bakal ada pembahasan tentang “sejarah seni rupa dunia”. Sebab, rekan-rekan PBI ingin menyiarkan penemuan seni rupa purba yang ada di dinding gua di Maros (Sulawesi Selatan) ke khalayak global.
Itu terjadi karena selama ini, dalam teks-teks utama “seni rupa dunia”, kita disodori pandangan dan narasi yang sepenuhnya “Eropa-sentris”, dengan bukti-bukti berupa “karya seni rupa tertua” yang ditemukan di wilayah Eropa.
Dalam alur narasi demikian, kata dia, maka dinyatakan bahwa bahwa otak dan peradaban manusia Eropa lah yang paling matang atau paling tinggi sekaligus pemula.
“Sekarang, dengan penemuan gambar-gambar di perbukitan Maros, yang usianya jelas lebih tua dari bukti-bukti penemuan Eropa, bukankah kita punya dasar kuat untuk menyanggah narasi atau diskursus yang serba Eropa-sentris itu?” Tegas Enin.
Sejauh yang dia ketahui, Pustaka Bergerak, dalam waktu yang relative singkat, mampu mengembangkan jaringan pustaka sampai mencakup 3.000-an titik simpul pustaka. Ini bukan saja banyak, tapi juga luas, tersebar di sejumlah wilayah yang terpisah-pisah di negeri kepulauan Nusantara.
Menurut Enin, ini jelas pencapaian penting dan menarik untuk disiarkan dan dibagikan pada masyarakat di negara lain. Sebuah bukti bahwa kerja warga bisa jadi titik tolak membahas gagasan kerjasama warga se-dunia, jejaring warga yang saling mengenal dan bekerjasama berlandas semangat kosmopolitanisme.
“Menurut saya, sangat penting untuk mengupayakan agar Kawasan gua karst Maros yang menyimpan gambar-gambar purba itu untuk segera dapat terdaftar dalam UNESCO World Heritage Site.” Tegas Enin.
Indonesia, kata dia, sebenarnya sudah mendaftarkan sejumlah kawasan, dari hutan lindung Ujung Kulon, candi Prambanan dan Borobudur, Taman Nasional Komodo, dan lain-lain. Dalam hal usia, jelas sudah terbukti bahwa gambar purba di Maros adalah yang tertua di dunia (sampai saat ini).
Untuk diketahui, gua seni purba itu sebenarnya bukan hanya ada di kawasan Maros-Pangkajene, Sulawesi Selatan, tapi juga di Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur.
Sementara gambar purba sejenis, di Altamira, Spanyol, yang lebih muda usianya saja sudah terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site sejak tahun 1985. Karena itu, Enin berharap agar PBI perlu mengupayakan ini secara sungguh-sungguh.
“Pemerintah dan para akademisi perlu aktif terlibat dalam upaya ini. Dan perlu diupayakan segera.” Tuturnya.
Karena, menurutnya, dengan watak pemerintah yang sering “kebablasan” melakukan apa saja dengan alasan investasi dan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang ini, kawasan perbukitan karst Maros yang sangat penting secara ekologis dan historis ini bisa jadi korban.
Terlebih kalau ada oknum-oknum yang mulai punya ide gila untuk memanfaatkan dan menggerusnya semata-mata demi keuntungan bisnis. Sehingga PBI dan masyarakat Indonesia harus bertindak untuk melindungi sekaligus menunjukan pada dunia penemuan besar tersebut.