Karakter masyarakat Bojonegoro tergambar dari luwes dan fleksibelnya kelokan Bengawan yang melintas di sekujur wilayahnya.
Dalam kaidah Determinisme Lingkungan, kecenderungan sikap masyarakat sangat dipengaruhi kondisi fisik alam di mana ia tinggal. Bahkan, letak wilayah dan keberadaan sumber daya alam, menjadi faktor utama yang membentuk sikap budaya maupun karakter sosial masyarakat.
Friedrich Ratzel, geografer Jerman menyebut, lingkungan beserta SDA di sebuah wilayah, akan melahirkan sistem aturan (norma) yang mengatur hubungan antar manusia di dalamnya. Norma ini, pada akhirnya menyublim menjadi nilai budaya yang membentuk karakter masyarakatnya.
Sungai Bengawan, yang semula bernama sungai Wulayu itu, merupakan sumber daya alam identik Bojonegoro. Sungai terpanjang di Pulau Jawa itu, di Bojonegoro, dikenal dengan istilah Nggawan — sebuah istilah yang tentu, muncul karena kedekatan emosi antara masyarakat dan alamnya.
Sungai Bengawan sepanjang 600 KM itu, secara panjang dan prosentase, memang didominasi Bojonegoro. Data Balai PSDA Bengawan Solo menasbihkan Kabupaten Bojonegoro sebagai wilayah paling panjang dilintasi Bengawan, dibanding wilayah-wilayah lain. Bojonegoro terbukti mendominasi Sungai Bengawan.
Dominasi Bojonegoro atas lajur Sungai Bengawan sebesar (2,307.06 km2 / 10,84 %). Jumlah prosentase itu, tentu saja berada di atas wilayah lain seperti; Wonogiri (1, 822.37 km2 / 8,58%), Surakarta (44,03 km2 / 0,21 %), Madiun (1, 10.86 km2 / 4,75 %), Ngawi (1, 295. 98 km2 / 6,09 %), Lamongan (1,669.56 km2 / 7,85 %), Tuban (1,839.94 km2 / 8,65 %), dan Gresik (1, 191.19 km2 / 5,60 %).
Karakter Masyarakat Nggawan
Posisi Sungai Bengawan yang sangat dominan di Bojonegoro, tentu memiliki peran sangat kuat bagi masyarakat. Baik dalam membangun ekosistem budaya, maupun dalam rangka membentuk karakter psikologis masyarakatnya. Terutama dalam insting adaptatif; kemampuan seseorang menyesuaikan diri dengan norma atau standar yang berlaku di lingkungannya.
Menggunakan konsep Semiotika, sebuah pendekatan pencarian makna tersembunyi di balik sebuah tanda, (gambar, teks, kondisi alam/kauliyah maupun kauniyah), yang menghubungkan tanda-tanda dan interpretasi data, tentu mampu menggambarkan karakter psikologis masyarakat Bojonegoro secara umum.
Bukan sebuah kebetulan jika masyarakat Bojonegoro masyhur berkarakter luwes dan lentur (fleksibel) terhadap bermacam perubahan. Sebab, mereka mewarisi karakter Bengawan yang tak mudah dihentikan. Setiap tembok penghalang mampu dilewati secara elegan. Serupa kelokan Bengawan yang meliuk-liuk melintasi daratan.
Masyarakat Bojonegoro, secara umum, dikenal sebagai masyarakat maritim-agraris yang mampu menerima dan beradaptasi pada perubahan. Bisa menguasai dua ruang (maritim dan agraris) sekaligus. Mereka mampu mengendalikan ombak banjir dan bisa mengelola lahan. Selalu meliuk-liuk dan mencari jalan, pada tiap tantangan dan perubahan zaman.
Fenomena perubahan yang terpatri abadi dalam ingatan kolektif masyarakat Bojonegoro, adalah saat para penjajah Belanda menghilangkan nama besar “Jipang” dan menggantinya menjadi “Bojonegoro” pada 1828 M silam, dengan tujuan menghilangkan kebesarannya. Toh tak dihadapi secara radikal dengan menolaknya. Tapi diterima dengan lapang dada, untuk kembali meliuk-liuk mencari kebesaran yang lainnya.
Karakter masyarakat Bojonegoro tergambar dari luwes dan fleksibelnya bentuk kelokan sungai Bengawan (Nggawan) yang melintas di wilayahnya. Tekad dan keberanian masyarakat Bojonegoro, tak bisa dihentikan oleh tembok-tembok zaman. Mereka mampu menghadapi, untuk kemudian melintasinya dengan kelokan yang sungguh sangat elegan.