Sebelum menangis, gadis itu mencari pohon pinggir jalan yang terdapat namanya dan nama kekasihnya. Tapi sial, pohon itu telah digergaji oleh kekasihnya sendiri.
Jalan Nggajah pagi itu masih lengang, beberapa orang sarapan sego kucing dan mengeja koran ‘Medan Priyayi’. Koran cetakan para priyagung itu sesungguhnya mencekoki para pengejanya berita yang tak kredibel.
Koran yang setiap hari mewartakan berita emak-emak, gosip perselingkuhan, kecelakaan terbaru dan tempat wisata ngehits bagi para orang miskin yang pusing memikirkan utang-piutang.
“Yul, kamu nggak pengen lihat berita di koran ini?” ucap Dewi menawari Yulia supaya mau membaca koran ekonomi.
“Nggak ah, Wi. Aku baca berita ini aja.” Jawab Yulia sambil membaca rubrik wisata.
“Nanti kalo mas Rizal sudah kerja aku pengen diajak ke wisata ini, Wi. Negeri Atas Angan.”
“Memang kapan mas Rizal mu itu kerja Yul?” Ledek Dewi dengan cengengesan.
Yuli terdiam, sesaat kemudian ia kembali menata koran dan majalah yang berserakan. Koh Ahot memelototi mereka berdua, itu tandanya mereka harus kembali bekerja.
** **
Lengking motor RX King Rizal membelah aspal jalan Nggajah pukul 14.00 WIB. Kemajuan dari Rizal, biasanya ia telat menjemput Yulia sepulang kerja. Yulia pulang dari toko koran Koh Ahot pukul 16.00 WIB.
Masih ada dua jam menunggu bagi Rizal. Ia belokkan motornya ke warkop sego kucing, ia makan dua bungkus sego dan ia tutup dengan pencuci mulut sebatang rokok eceran.
Sehabis makan ia baca koran kucel di sampingnya. Ada sebuah rubrik lowongan pekerjaan pasukan oranye. Ia toleh ke kanan dan ke kiri tak ada orang yang melihatnya. Kemudian ia sobek koran itu dan ia lipat.
Yulia memanggil namanya dari seberang jalan. Rizal melambai, Yulia melambai, dua tangan saling melambai. Kemudian keduanya duduk di bawah pohon di tepi jalan Nggajah. Yulia mengeluarkan sekotak bekal dan sebotol air minum.
“Ayo kita makan, Mas.”
“Aku masih kenyang, Dek. Tadi habis dua bungkus sego kucing. Sini aku suapin kamu.”
Tangan Rizal menggapai sendok, menyendok nasi dan sambal kemudian menyuapkannya ke mulut Yulia.
Setelah makan mereka kembali ngobrol. Ada sepasang burung Emprit hinggap di ranting pohon.
“Mas….” Ucap Yulia manja.
“Iya, Dek…”
“Kamu lihat di atas pohon itu! ada sepasang burung. Mereka seperti kita yang sedang jatuh cinta.”
“Aku tidak mau seperti burung, Dek. Burung selalu ditembak meskipun tak salah apa-apa.”
“Apakah kita sepasang kupu-kupu, Mas?”
“Bunga-bunga di tepi jalan kini layu. Apa yang akan kita hisap?.”
“Apakah kita jadi sepasang ikan di bengawan saja, Mas?”
“Ikan-ikan kini teracuni limbah-limbah pembuangan pabrik, Dek.”
“Lalu, jadi apakah kita, Mas?”
“Kita ya kita. Sepasang manusia yang saling jatuh cinta.”
Gelegak tawa keduanya pecah di sore yang cerah. Yulia menghabiskan makanannya yang tinggal sesendok. Rizal telah berdiri di sampingnya membawa dua ikat kacang godok yang ia beli dari nenek paruh baya bernama Sri.
Keduanya memandang nenek itu dan saling tersenyum. Nenek itu akan sampai malam berjualan jika dagangannya belum juga habis. Rizal dan Yulia biasanya akan pulang sebelum nenek itu pulang.
Angin sore sesekali menggugurkan daun dari pohon. Beberapa daun jatuh menaburi Rizal dan Yulia. Di kulit pohon itu mereka mengabadikan nama dan tanda ‘love’ bukti bahwa cinta mereka akan abadi.
Di bawah pohon itu juga nenek tua berlindung dari cuaca panas jahanam jalan Nggajah. Tubuhnya yang kisut duduk menekuk lutut beralaskan sandal jepit warna kuning.
Kain gendongnya ia buat menutupi dagangannya yang ia simpan di wadah mirip bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Ia dagangkan kacang godok, kedelai godok, pisang ulin, dan kerupuk sandariyah.
** **
Pagi yang seperti biasa. Yulia turun dari angkutan umum. Ia mengusap keningnya yang berkeringat. Matanya terbelalak mendapati seluruh pohon di jalan Nggajah depan toko Koh Ahot telah rubuh dan terpotong-potong.
Ia mencari pohon yang terdapat namanya dan Rizal tapi juga sudah rubuh. Ia lihat nenek itu telah duduk menekuk lututnya tapi tak di bawah pohon, ia duduk tepat di bawah sinar matahari.
Hati Yulia semakin merintih. Ia menangisi pohon-pohon yang telah tumbang itu. pohon yang memayungi ia dan Rizal ketika bercinta. Sehabis air matanya jatuh di akar mati itu, ia masuk ke toko dengan wajah sendu. Air matanya kembali menetes pada lembaran koran, jatuh kepada kata-kata, kata ‘koran’ luntur huruf ‘k’nya jadi ‘oran’.
Sebuah berita utama ia baca di Medan Priyayi ‘Pohon-pohon Tabebuya Segera Berbunga’. Hatinya mendidih, pohon yang telah lama memayungi seluruh pejalan kaki itu sungguh tak indah di mata priyayi.
Kemudian hatinya makin teriris ketika di koran itu ada potret Rizal sedang menebang pohon yang terdapat namanya dan nama Rizal. Ya, itu jelas sekali pohon yang ia maksud, ia hafal letak dan tanda keberadaan pohon itu. Jadi semalam rupanya Rizal sibuk bekerja dengan pasukan oranye untuk menebang pohon itu.
** **
Ia berlari keluar. Kemudian matahari telah tiba di tengah bumi. Berpayung cahaya matahari ia menangis menghadap kosong jalan Nggajah. Dari belakang tubuhnya, nenek itu bergumam lirih dan luruh:
“Di bawah pohon itu kamu menanti. Rambutmu goyah tapi tidak yakinmu. Lelaki itu akan datang. Hendak kau ajak duduk di tepi jalan aspal. Memakan kacang. Ia datang, setelah tak sebentar kamu menunggu. Bukan memelukmu malah ia bawa gergaji mesin. Dipotong pohon itu hendak ditanami tabebuya. Sedang engkau berlari memeluk pohon yang telah hafal hari-hari pertemuanmu. Lelaki itu tetap yakin akan memotongnya, seperti keyakinanmu bahwa ia akan tetap datang meskipun membawa sakit hati buatmu.”