Di mata dan otak konservatif kita, para penggenggam gawai tak ubahnya generasi pemalas yang hanya suka rebahan. Padahal; serupa pisau, gunting atau gergaji, baik-buruk penggunaan gawai tergantung pemakainya.
Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang berarti: waktu luang atau waktu senggang. Bersekolah, sesungguhnya kegiatan waktu luang bagi anak-anak di tengah kegiatan utama mereka, apalagi kalau bukan bermain dan menghabiskan waktu.
Tapi dalam perkembangannya, makna sekolah berubah menjadi lembaga tempat berprosesnya belajar antara murid dan guru. Yang tak hanya mengisi waktu luang, tapi juga memerlukan tempat dan berbagai alat bantu pembelajaran dalam suasana resmi.
Dengan pergeseran suasana yang semena-mena itu, saya amat percaya jika kelak, entah kapan, seorang siswa juga bisa semena-mena dapat belajar di mana saja dan guru bisa jadi fasilitator sekaligus moderator pembelajaran tanpa terikat ruang fisik.
Saat ini, sejumlah les-lesan berbasis aplikasi android sudah menunjukkan sedikit gambaran tentang bagaimana angan-angan itu dapat terlaksana. Terutama melalui layanan spesialis perusahaan start-up di bidang digital.
Memang, sih, bersekolah dan belajar lebih afdol jika ketemu guru. Berbasis komunikasi langsung face to face dan hadir secara fisik dalam sebuah ruang kelas. Terlebih jika belajar ilmu agama.
Tapi dengan kian maraknya jumlah kendaraan di jalan-jalan yang sebelumnya tidak terlalu banyak dilintasi kendaraan, yang tentu saja membahayakan jiwa — baik karena polusi udara maupun kian sempitnya jalan raya — tak ada salahnya para siswa bersekolah via ponsel.
Meski untuk mengawalinya, cukup les-lesan dulu aja. Bukan sekolah formal. Niatnya satu, mengurangi jumlah pengendara yang melintas di jalan yang kian hari kian ramai saja.
Dalam satu esainya, Syaikhu Usman, peneliti SMERU Research Institute menjelaskan, Pemerintah kini memfasilitasi Gerakan Nasional 1000 Startup Digital untuk mendorong pengembangan dan penggunaan teknologi dalam menyediakan berbagai solusi inovatif.
Nah, itu tentu bisa direspon dengan banyaknya ruang belajar berbasis aplikasi android. Sehingga untuk bisa ikut belajar, para siswa tak perlu ke luar rumah. Alih-alih kian mempersumpek jalan raya.
Namun, kata Syaikhu, yang tak kalah penting dari berkembangnya startup digital adalah pemerataan pembangunan infrastruktur digital di seluruh pelosok negeri.
Sehingga masyarakat mampu memanfaatkan perkembangan teknologi era digital, serta dukungan internet berkapasitas besar dan supercepat di semua desa dan sekolahan. Dengan begitu, ramai-ramai bersekolah via gawai tetap berpotensi terjadi.
Hidup bergawai punya dampak Negatif atau Positif?
Layaknya makhluk konservatif pada umumnya, melihat anak kecil berlama-lama main gawai tentu menyesakkan dada. Meski sesungguhnya, yang mereka lakukan tak sekadar main game atau nonton film belaka.
Tapi kita perlu sadar jika lebih dari 93 juta penduduk Indonesia adalah pengguna internet dan sekitar 71 juta memiliki telepon seluler (ponsel). Mereka cenderung terhubung dengan media digital.
Para penggenggam gawai itu, sebagian terdiri dari anak muda yang senang terhubung (connected) dan berkomunikasi (communicate), serta menggandrungi perubahan (change).
Sebagian lagi generasi baru yang menghadapi pergeseran kebiasaan lama ke tradisi baru.
Sialnya, perkembangan dunia digital begitu dinamis dan lambat laun tak lagi sekadar mempengaruhi, tapi mengubah gaya hidup masyarakat tanpa dapat dihindari oleh siapa pun.
Meminjam kalimat Syaikhu, dunia tak perlu menunggu waktu satu abad untuk mengalami perubahan era digital. Anak sekolah sekarang ketika dewasa kelak akan berhadapan dengan digitalisasi kehidupan.
Diperkirakan, 65% ragam pekerjaan saat ini akan tergantikan jenis pekerjaan baru yang kini belum terbayangkan. Sebut saja, misalnya, ketika perangkat proyektor diaplikasikan pada komputer dan HP, maka berbagai pabrik proyektor dan bahkan televisi akan segera tutup, pengunjung bioskop pun menghilang.
Banyak pemangku kepentingan pendidikan; baik birokrat, tokoh masyarakat, maupun orang tua murid yang mengkhawatirkan dampak negatif penggunaan telepon seluler oleh anak. Banyak pula sekolah yang melarang murid membawa ponsel.
Padahal; serupa pisau atau gunting atau gergaji, baik-buruk penggunaan gawai tentu bergantung pada si penggenggamnya. Atau, sebagai alat komunikasi, baik atau buruknya penggunaan gawai tergantung kepada pemakai.
Karena itu, dukungan dari semua pihak yang relevan terkait upaya meminimalkan dampak negatif media digital amat sangat diperlukan. Namun, penggunaan gawai untuk tujuan positif harus diberi ruang seluas-luasnya.
Di mata dan otak konservatif kita, para penggenggam gawai tak ubahnya generasi pemalas yang hanya suka rebahan. Padahal; serupa pisau, gunting atau gergaji, baik-buruk penggunaan gawai tergantung pemakainya. Tugas pemerintah cukup meminimalisir dampak negatifnya, tak perlu sampai harus melarang apalagi mengharamkannya.