Gerakan Literasi Parlemen, entah kini atau nanti, pasti akan mencuat keluar dan menjadi populer. Atau akan banyak dibicarakan. Terlepas niatnya bersyiar literasi beneran atau sekadar pencitraan, bagi saya, itu amat bagus.
Saya pertama kali dengar frasa Literasi Parlemen sekitar sebulan lalu, saat pendiri Pustaka Bergerak, Mas Nirwan Arsuka, mengirimi saya poin hasil diskusi bertajuk: PISA, Literasi dan Urgensi Road Map Bonus Demografi di Jakarta Pusat (11/12/2019).
Dalam diskusi yang dihadiri Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, Peneliti Universitas Paramadina, Totok A Soefijanto dan pendiri Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka tersebut, fokus membahas hasil buruk PISA dan hubungannya dengan literasi.
Mas Nirwan mengirimi saya 5 poin hasil diskusi tersebut. Di antara 5 poin itu, saya amat tertarik pada poin pertama. Yakni, gerakan literasi harus jadi gerakan total yang melibatkan semua elemen masyarakat. Tak terkecuali pihak parlemen.
Gerakan literasi parlemen tentu istilah yang amat seksi. Sekaligus mudah diingat para politisi. Selain itu, kalaupun benar-benar mampu direalisasikan, setidaknya dampaknya pun cukup besar. Terutama dampak kuantitas ketersebaran buku.
Kata Mas Nirwan, Syaiful Huda sebagai ketua Komisi X bakal mendorong gerakan literasi parlemen ini. Bentuknya, pengumpulan donasi buku dari semua anggota DPR yang bakal dikirim ke para relawan di berbagai penjuru. Para anggota DPR pun, didorong ikut membina simpul-simpul pustaka di daerah pemilihan masing-masing.
Meski belum tahu bentuk secara riil dan benar-benar mampu direalisasikan beneran atau tidak, saya sudah mampu membayangkan banyak hal yang keluar dari istilah gerakan literasi parlemen tersebut. Sebuah bayangan optimistis, pesimistis, sekaligus lucu.
Karena hingga tulisan ini ditulis belum ada anggota DPR — atau siapapun — yang memasukkan data terbaru jumlah anggota DPR RI periode 2019 – 2024 di Wikipedia, saya akan mengunakan data lama, yakni formasi anggota DPR RI Periode 2014 – 2019.
Dari data jumlah anggota DPR RI Periode 2014 – 2019, terdapat sebanyak 560 anggota DPR RI. Tentu saja, itu jumlah yang tak sedikit untuk sekadar mau ngurusi urusan literasi di masing-masing daerah pemilihan (dapil).
Coba bayangkan jika satu orang anggota DPR, mampu dan mau mengurusi simpul-simpul pustaka yang terdapat di daerah masing-masing. Saya kira, itu amat spektakuler dan bisa dibilang sebagai gebrakan peradaban.
Jika satu orang anggota dewan mampu merawat satu simpul pustaka, niscaya di Indonesia tak ada satupun daerah yang kurang bacaan buku. Sebab di daerah mereka ada anggota dewannya.
Kalau sampai ada satu daerah saja yang tak ada ketersediaan bacaan buku, masyarakat patut mempertanyakan keberadaan anggota dewan yang ada di daerah tersebut. Anggota dewan itu benar-benar ada atau jangan-jangan makhluk ghaib.
Bagaimana iya, seorang anggota DPR yang konon punya kesibukan di atas rata-rata manusia lainnya, mau menjenguk dan bertanya-tanya tentang kondisi simpul literasi di daerah masing-masing. Setelah tahu kondisi, lalu mau membantu meringankannya.
Itu, saya kira, amat keren dan berperadaban. Saya yakin, para anggota dewan, yang mau ngurusi simpul pustaka, jelas punya banyak benefit secara personal. Selain urusan branding, juga urusan kontribusi bagi warga sekitar.
Mereka yang mau dan mampu menyediakan buku bacaan, adalah orang yang mulia. Sebab ia membawakan investasi jangka panjang berupa ilmu kepada orang lain. Sejarah akan mencatat jasa-jasanya, sebagai orang baik yang peduli pada peradaban.
Memberi buku kepada mereka yang membutuhkan, saya kira, jauh lebih elegan dibanding berdebat soal undang-undang di parlemen. Bukan apa-apa, yang pertama alasannya jelas: demi kemajuan SDM. Sedang yang kedua, meski konon niatnya baik, ya kalau pas didebat menang, kalau kalah? Kan niat baiknya ga kesampaian.
Terlebih, tak hanya menyediakan dan memberikan buku saja. Tapi juga mau membacanya. Tentu kita semua rindu dengan sosok politisi macam Bung Karno ataupun Bung Hatta. Politisi yang identik suka baca buku.
Bung Karno dan Bung Hatta, tuan-puan tahu, bisa tampak keren dan amat berkarisma karena mereka berdua suka membaca. Seharusnya, sebagai seorang politisi era digital, perihal semacam itu patut jadi contoh.
Sebab mereka yang membaca, bakal punya kemampuan berbicara dan beretorika yang tidak biasa. Ingat, politisi yang jarang baca, amat mudah dilihat dari cara ia berbicara. Bukankah kelihaian berbicara merupakan kemampuan dasar politisi? Hayo!
Saya optimistis jika gerakan literasi parlemen jadi benar-benar dilakukan, SDM Indonesia bakal mengalami kemajuan sekaligus perubahan positif. Sebab persediaan buku yang selama ini kerap jadi masalah, bisa teratasi.
Saya yakin, membelikan buku bagi mereka yang berada di pelosok daerah dan kebetulan amat kurang buku bacaan, harusnya tidak susah bagi para anggota dewan yang andai mau gonta-ganti mobil tiap bulan pun sanggup. Bukan begitu?
Tapi, saya juga pesimistis dan khawatir jika gerakan literasi parlemen hanya jadi gerakan foto selfie belaka. Buku-buku yang disumbangkan tak seberapa, tapi foto-foto selfienya diedarkan ke seluruh penjuru dunia.
Tentu potensi itu amat mungkin terjadi. Pembangunan SDM, tuan-puan tahu, isu yang amat seksi dan kece dan sekaligus dagangan yang bakal mudah dilirik banyak orang. Amat dikhawatirkan jika para anggota dewan yang menyumbangkan buku justru berorientasi pada foto-foto, bukan lagi peradaban dan ilmu pengetahuan.
Terlepas dari optimisme ataupun pesimisme gerakan literasi parlemen, ada perihal menarik yang amat saya rindukan. Yakni, melihat anggota DPR kemana-mana membaca atau setidaknya sedang membawa buku bacaan. Ini momen amat langka dan pasti amat lucuu sekali, karena jarang terjadi.
Buktinya, hingga kini saya belum pernah melihat ada foto caleg yang saat berkampanye tampak sedang membaca buku. Padahal, itu pose yang amat keren tapi jadi lucu jika tidak terbiasa. Makanya, yang mulia, ayo dibiasakan baca. Biar saat berpose pegang buku nggak wagu dan jadi bahan kelucuan.
Saya amat berharap agar gerakan literasi parlemen yang digagas salah seorang anggota DPR RI ini segera terealisasi. Dengan begitu, anggota DPRD di daerah kabupaten juga bakal mengikuti. Lha wong pusatnya aja nglakuin, masak cabangnya nggak? Organisasi macam apa itu~
Membelikan buku bagi orang lain atau gerakan literasi parlemen — terlepas niatnya sekadar pencitraan atau murni demi kemajuan SDM dan ilmu pengetahuan — saya kira amat penting dilakukan. Setidaknya lebih penting daripada main kesana-kemari tanpa tujuan.