Gunung Pandan Bojonegoro sudah masyhur sebagai jalur pendakian populer sejak masa Hindia Belanda. Tepatnya pada 1939 M. Berikut ini catatan literaturnya.
Bojonegoro, sebuah kabupaten di Jawa Timur yang lebih dikenal dengan kekayaan sumber daya minyak dan gasnya, ternyata menyimpan sebuah permata tersembunyi berupa gunung yang jarang diketahui oleh banyak orang. Minimnya publikasi dan perhatian membuat Gunung Pandan, dengan ketinggian 897 meter di atas permukaan laut (mdpl), nyaris tenggelam dalam ingatan sejarah.
Baca Juga: Gunung Pandan, Mitos vs Fakta Literatur Sejarah
Gunung Pandan, yang merupakan gunung berapi non-aktif, terletak di bagian selatan Kabupaten Bojonegoro dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Madiun dan Nganjuk. Posisinya yang strategis sebagai titik temu tiga wilayah menjadikannya bagian penting dari rangkaian Pegunungan Kendeng. Terlebih, Gunung Pandan adalah puncak dari semua baris Pegunungan Kendeng.
Namun, di balik kesunyian dan keterbatasan akses informasi masa kini, Gunung Pandan pernah menjadi destinasi yang cukup populer pada masa Hindia Belanda. Catatan sejarah dari surat kabar Hindia Belanda tahun 1939 mengungkapkan sebuah study tour yang dilakukan oleh Nature Historical Society dari Departemen Cepu ke puncak Gunung Pandan, yang kala itu lebih dikenal dengan sebutan Gunung Gede (Pandgroe).
Sekitar 30 anggota berpartisipasi dalam ekspedisi tersebut, menggunakan tujuh mobil yang berangkat dari perkumpulan B.P.M (Bataafsche Petroleum Maatschappij) di Cepu. Perjalanan menuju puncak bukanlah hal yang mudah. Rombongan harus melewati jalanan curam di Saradan dengan kemiringan mencapai 25%. Beberapa mobil bahkan harus berhenti di tengah tanjakan, memaksa para penumpangnya turun untuk membantu mendorong kendaraan agar dapat melanjutkan perjalanan.
Akhirnya, kendaraan-kendaraan tersebut diparkir di sebuah pasanggrahan di Klino, yang terletak di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Dari titik itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju puncak Gunung Pandan. Dalam waktu sekitar dua jam, puncak tertinggi akhirnya berhasil dicapai pada pukul setengah dua belas siang.

Udara pegunungan yang segar, panorama yang terbuka tanpa halangan pepohonan, serta pemandangan spektakuler yang membentang luas di depan mata, menjadi hadiah tak ternilai bagi para pendaki. Dari ketinggian, Waduk Patcal di selatan Bojonegoro terlihat jelas, menghadirkan pesona tersendiri di antara lanskap yang memukau.
Baca Juga: Gunung Pandan, Tradisi Berbasis Literatur yang Jarang Diketahui
Dalam suasana penuh kekaguman itu, Ir. S.G. Traket, seorang ahli geologi dari B.P.M., memberikan penjelasan singkat tentang lanskap geologis di sekitar mereka. Penjelasan ini dilengkapi oleh Mr. W.G.J. Zwart, Kepala Kehutanan Cepu, yang menambahkan informasi tentang pertumbuhan flora di kawasan tersebut. Bahkan, nama besar Junghuhn, seorang naturalis Jerman, disebut-sebut pernah menulis tentang Gunung Pandan dalam bukunya Java yang diterbitkan pada tahun 1854.
Perjalanan Study Tour ini bukan sekadar catatan perjalanan biasa, tetapi juga merefleksikan pentingnya Gunung Pandan dalam konteks sejarah geologi dan ekologi Jawa Timur. Keberadaan gunung ini menjadi saksi bisu dari aktivitas ilmiah dan petualangan di masa lampau yang kini mulai terlupakan.

Sayangnya, meski memiliki sejarah panjang dan keindahan alam yang memikat, Gunung Pandan belum mendapatkan perhatian yang layak sebagai destinasi wisata maupun penelitian ilmiah. Potensi besar yang dimilikinya masih menunggu untuk dieksplorasi dan dipublikasikan kembali.
Mengingat jejak sejarah yang begitu kaya, Gunung Pandan seharusnya bukan hanya sekadar titik di peta, melainkan bagian dari narasi besar sejarah dan budaya Bojonegoro yang patut dilestarikan. Sudah saatnya gunung ini kembali dihidupkan dalam ingatan kolektif masyarakat, sebagai bagian dari warisan sejarah dan alam yang tak ternilai harganya.